Gemerincing lonceng terdengar begitu pintu terbuka, memberi tahu pemilik kafe bahwa ada pembeli yang datang. Hanya berselang beberapa detik, Jeong Hoon Hyung langsung menyambutku dengan senyum lebar. Seperti bertahun-tahun yang lalu, lelaki berkacamata itu tak pernah lepas dari celemek dan berbagai peralatan untuk meracik kopi. Dan masih seperti dulu, Jeong Hoon Hyung akan langsung menghentikan kesibukannya demi menyambutku. Di antara sekian banyak hal yang berubah, Jebi Dabang dan segala isinya memberiku sentuhan keakraban yang tak lekang oleh waktu.
"Akhirnya, setelah satu abad lamanya," kata Jeong Hoon Hyung seraya memelukku hangat.
Aku terkekeh. "Masih saja hiperbolis," kataku.
"Old habit dies hard, my friend," balasnya seraya melepas pelukan. Lagi-lagi masih seperti dulu, hyung yang satu ini suka memamerkan peningkatan pelafalan bahasa Inggris-nya. "Omong-omong, kau harus makan lebih banyak. Kau ini sudah seperti tulang yang dibungkus kulit saja. Kurus sekali. Pokoknya hari ini kau harus makan banyak di sini."
Lagi-lagi aku terkekeh. Kalau aku dibilang hanya tulang yang dibungkus kulit, bagaimana dengan Namjoon dan Jungkook?
"Kau mau minum apa? Aku sudah punya hmmm..., 11 racikan baru sejak terakhir kali kau ke sini. Kau pasti suka," ujar Jeong Hoon Hyung seraya kembali ke balik meja bar, bersiap meracik kopi.
"Tidak untuk kali ini. Aku pesan yang seperti biasanya saja."
Jeong Hoon Hyung tampak berpikir sejenak lalu menatapku dengan tatapan menyelidik. Dia sudah membuka mulutnya tapi urung. Sepertinya dia tahu kalau aku sedang tak tertarik untuk membahas lebih jauh tentang pesananku. Sementara Jeong Hoon Hyung meracik pesananku, aku memperhatikan setiap detail ruangan di Jebi Dabang. Nyaris tak ada perubahan kecuali tambahan sketsa wajahku dan keenam teman satu grupku yang terpasang di dinding dekat tangga.
Aku beranjak dari kursi, mendekati sketsa yang menarik perhatianku tadi. Kutarik napas dalam-dalam. Tepat seperti dugaanku. Tanda tangan di pojok kanan bawah sketsa ini...
"Kau pasti sedang merindukannya."
Aku tersenyum getir. Sangat.
"Sudah hampir dua tahun, ya?"
"Dua tahun empat belas hari, lebih tepatnya," jawabku.
Jeong Hoon Hyung memiringkan kepalanya. "Kau memang menyedihkan."
Aku berbalik, mendekat ke meja bar, lalu meraih secangkir cokelat hangat. Kuhirup dalam-dalam aromanya. Ah, aroma ini. Aroma yang tepat untuk menggambarkan sosok Chaerin. Sebenarnya aku bukan penggemar cokelat. Aku hanya meminum secangkir cokelat panas jika merindukan Chaerin. Dan saat rindu itu semakin menjadi, aku akan ke sini, memesan secangkir cokelat panas, lalu duduk di pojok ruangan sambil membiarkan ingatan-ingatan di masa lalu berdatangan. Kadang aku akan turun ke basement, memainkan piano yang ada di sudut ruangan yang telah disulap menjadi panggung kecil.
"Aku? Kukira bukan hanya aku menyedihkan."
"Percaya diri sekali." Jeong Hoon Hyung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kapan terakhir kali dia ke sini?"
Jeong Hoon Hyung tampak berpikir. Omong kosong. Dia tak pernah lupa kapan terakhir kali aku datang ke sini. Apalagi melupakan kunjungan Chaerin.
"Ah, lupakan. Sejak dulu kau memang selalu lebih memilih berada di pihak Chaerin. Ralat, kau lebih menyayangi Chaerin daripada aku."
"Yoongi-ah..."
"Hmmm..."
"Kau tak ingin ke Sejong?"
Alih-alih langsung menjawab, aku lebih memilih untuk menyesap cokelat panasku. Omong kosong kalau aku tak ingin ke Sejong. Beberapa kali aku mencuri-curi kesempatan untuk bisa ke sana, menjadikan rasa suntuk dan butuh suntikan inspirasi sebagai dalih untuk bisa menghilang seharian dari dorm.
"Untuk apa?" Sama halnya dengan Jeong Hoon Hyung, aku pun memilih untuk menyembunyikan beberapa hal yang berhubungan dengan Chaerin. Cukup aku dan Namjoon saja yang tahu tentang perjalananku ke Sejong.
Jeong Hoon Hyung mendesah, matanya bergerak-gerak gelisah. Gelagat ini hanya ia tunjukkan ketika sedang menyimpan rahasia maha penting dan ingin menyampaikannya tapi tak bisa. "Persetan dengan janji sialan itu. Ini," katanya seraya mengulurkan ponsel.
"Ini apa?"
"Tonton saja."
Kuterima ponsel Jeong Hoon Hyung. Ada video dalam mode pause. Lidahku tercekat. Ada Chaerin di sana, mengenakan jeans biru dan sweater putih. Manis.
"Sebenarnya aku tak tahu harus membawakan lagu apa karena belakangan ini aku sedang tak punya banyak inspirasi. Tapi karena Jeong Hoon Oppa mengancam tak akan memberiku makan lagi di sini jika tak menampilkan sesuatu, jadi aku akan berpuisi sambil diiringi petikan gitar. Puisi ini adalah karya John Clare. Kuharap kalian menyukainya."Ciri khas Chaerin—membuka penampilan dengan pengantar yang meminta penonton untuk tak berekspektasi tinggi. Namun, siapa pun yang mengenal Chaerin pasti tahu penampilan Chaerin tak akan pernah mengecewakan.
Jemari panjang-kurusnya mulai memainkan nada-nada yang sendu, disusul suara serak yang menjadi ciri khas Chaerin...
I loved thee, though I told thee not,
Right earlily and long,
Thou wert my joy in every spot,
My theme in every song.
And when I saw a stranger face
Where beauty held the claim,
I gave it like a secret grace
The being of thy name.
And all the charms of face or voice
Which I in others see
Are but the recollected choice
Of what I felt for thee.
Bersamaan dengan berakhirnya puisi itu, air mata Chaerin menetes. Begitu pula denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Yourself: Autumn Leaves
FanfictionOver there, the autumn leaves that look like they're at stake, seem like they're looking at us. If our hands touch, even if it's all at once, it only seems like it's going to be crumbs... --Min Yoongi-- *** 365 puzzle berserakan. Tak selamanya yang...