Hari ini Ana memasuki sekolahnya, sekolah barunya SMP Kenanga Banten. Sebelumnya ia menghabiskan waktu liburannya bersama Rais, bunda, dan ayahnya. Sedangkan Rasyid begitu sibuk, tidak ada hari libur baginya. Baginya waktu adalah belajar, belajar, dan belajar.
Ana berjalan riang, namun berbeda ketika sekolah dasar. Kali ini sosok Farzana lebih dewasa, dengan hijab panjangnya. Ia memasuki kelas barunya, ia juga menempati tempat duduk terdepan. Terlihat wanita di sebelahnya teraenyum ke arahnya, "Farzana, panggil Ana." Ana langsung mengulurkan tangan kanannya, ia tak mengucap salam terlebih dahulu karena memang wanita disebelahnya tak berjilbab, ia berpikir wanita itu non muslim, tapi ternyata ia salah. Namanya menunjukan bahwa dia muslim.
Wanita itu tersenyum, "Jumaidah, panggil aku Ida." Ia menjabat tangan Ana.
Tak lama suara riuh terdengar dari luar kelas, ganteng banget suara para wanita terdengar jelas di telinga Ana. Ana dan Ida memutar kepalanya ke arah pintu.
"Adriel?" Ana mengerutkan halisnya, sambil sedikit bergumam,
"Kamu kenal dia?" Tanya Ida, dan Ana menangguk.
"Farzana Romeesa Fariza" Sapa Adriel mendekati Ana.
"Kamu serius ngikutin aku ya? Aku kira kamu hanya main-main." Adriel tersenyum sinis ke arah Ana, lalu menduduki kursi di belakang Ana. Pria itu memang seperti itu, meskipun sudah kenal lama dengan Ana namun sikapnya tetap sama seperti bertemu orang yang belum ia kenal.
"Tinggal di mana sekarang Na?" Tanya Adriel membuat Ana menoleh ke belakang,
"Deket sini," Jawab Ana singkat, "kenalin teman baruku, Ida." Ana mengenalkan teman barunya pada Adriel, membuat Ida kali ini pun menoleh ke arah Adriel.
"Oh iya, aku Adriel." Jawabnya datar, Ida membalasnya dengan senyum canggung, Adriel terlihat tak suka pada Ida, dan begitupun pada yang lain. Namun sebenarnya ia baik hati, dan perduli pada sesama, hanya saja ia susah menyesuaikan keadaannya.
Ana, dan Ida lebih memilih tak bercakap lagi dengan Adriel. Pria itu datar, bicara seperlunya, dan yang pasti sangat irit senyum. Anak-anak perempuan, ataupun laki-laki kali ini sibuk menggerumuti Adriel. Mereka antre berkenalan dengannya, namun ya seperti itulah. Wajahnya masih tak berubah.
Selang beberapa menit seorang ibu guru berbaju cokelat muda memasuki kelas, "Pagi anak-anak?" Tanya wanita itu sambil menyimpan buku-bukunya di atas meja.
"Pagi." Ucap seisi kelas kompak,
"Perkenalkan nama ibu Hera, ibu di sini menjadi wali kelas kalian sekaligus guru Matematika. Ok ibu mau kenal kalian ya, coba perkenalkan nama, hobi, dan cita-cita kalian. Di mulai dari sebelah sana." Ibu Hera menunjuk Adriel
Adriel berdiri dari kursinya, ia memperkenalkan diri pada teman-temannya.
"Perkenalkan saya Adriel Bryan Gilanio, hobi main basket, dan cita-cita pilot." Adriel kembali duduk, pria itu bercita-cita sebagai pilot. Cocok dengan badannya yang tegap dan tinggi. Tapi coba bayangkan jika nanti seseorang menjadi istri Adriel?
Sudah cuek, dingin, datar, dan sering ditinggal-tinggal. Bisa mati berdiri punya suami Adriel.Seterusnya telah memperkenalkan namanya, kini giliran Ida yang berdiri.
"Perkenalkan saya Jumaidah panggil saya Ida, hobi melukis, cita-cita dokter." Ana tersenyum mendengar nama itu, Ida mirip artis-artis Korea. Matanya sipit, dipipinya cubby. Kulitnya putih mulus, senyumnya manis, dan ramah.
Kali ini giliran Ana, ia berdiri dari kursinya.
"Nama saya Farzana Romeesa Fariza panggil saya Ana, hobi baca Al-Qur'an, cita-cita saya menjadi sosok ibunda Aisyah binti Abu Bakar, yang bermental Ibunda Fatimmah binti Muhammad." Seisi kelas menatap Ana bingung, karena memang tak semua siswa disini beragama Islam. Namun ibu Hera tidak menatap Ana bingung, melainkan dengan tatapan bangga.Cita-citanya masih sama, ia masih berpegang teguh pada pendiriannya. Ana, masih ingat Farhan. Farhanlah yang pertama kali mendengar jawaban Ana ketika ditanya cita-cita.
***
"Ayo na, Ana bisa." Teriak Rasyid di sebrang sana membawa tas gendongnya.Ana menoleh ke arah suara tersebut "Bang Rasyid," kemudian Ana berlari memeluk Rasyid erat.
"Lagi libur bang?" Tanya Ana manja,
"Besok abang berangkat lagi ke Jakarta Na. Tante Indah mana?" Tanya Rasyid celingukan,
"Ah abang, sebentar amat. Anakan mau belajar silat sama abang, ada tuh di dalam. Tante Indah lagi masak," Ana melipat dua tangannya di depan dada, sambil menekuk mukanya.
Rasyid tersenyum, "Ya nanti kalau abang libur panjang ya, sudah kamu lanjutkan potong batanya." Rasyid mengelus kepala Ana lembut, lalu pergi ke dalam.
Kali ini Ana menyudahi aktifitasnya, ia mengusap keringatnya dengan handuk yang menempel di bahunya. Ana berjalan ke dalam menghampiri Rasyid yang sedang sibuk dengan laptopnya.
"Bang, Ana kangen sama kak Farhan." Ucap Ana jujur dengan abangnya, membuat Rasyid melirikan matanya.
"Bang, disekolah Ana gak ada teman sebaik kak Farhan." Kali ini Ana menggoyangkan bahu Rasyid, dan lagi-lagi Rasyid sibuk dengan laptopnya.
Ana mendengus kesal "Percuma kalau begitu, gak usah pulang ke rumah. Abang gak pernah ada waktu buat ngobrol sama Ana sebentar saja." Ana melipatkan kedua tangannya di depan dada, lalu beranjak menuju kamarnya.
Kali ini Rasyid yang menarik napasnya kasar, ia menutup laptopnya, lalu berjalan ke kamar Ana.
Ia membuka pintu kamar Ana, dan terlihat Ana sedang berbaring di kasurnya."Maaf Ana, jadwal kuliah abang memang padat. Ana kan tau sendiri, masuk jurusan kedokteran itu tidak mudah. Sekarang bang Rasyid dikasih Allah untuk lulus tes, bang Rasyid ingin berusaha bagaimana caranya agar bang Rasyid bisa berhasil jadi dokter." Perjelas Rasyid yang kali ini duduk di sampin kanan ranjang.
"Ana cuma mau bicara sebentar doang kok, tapi abang selalu tidak ada waktu." Ana masih tak mau menatap Rasyid.
"Mau bicara apa, kak Farhan? Ana kan tahu sendiri kalau bang Rasyid itu bukan teman dekat kak Farhan. Kamu coba tanya kak Farhan sama bang Rais, jangan sama abang."
Ana kali ini mengarahkan pandangannya pada Rasyid, tatapannya sinis penuh kekesalan "Tahu sendiri bang Rais gimana, lagi pula Ana cuma minta tanggapan abang doang. Kalau abang sibuk, ya sudah abang kerjakan lagi tugas-tugas abang. Lagi pula Ana ngantuk, Ana mau tudur." Ana kali ini menutup wajahnya dengan selimut.
Rasyid menghela napas panjang "Na, ya sudah ayo kita jalan-jalan." Rasyid menurunkan selimut di wajah Ana.
"Ana mau tidur." Jawabnya tegas.
"Benar nih?" Rayu Rasyid pada Ana
"Kalau sekiranya terpaksa, lebih baik tidak usah." Ana menutup kembali wajahnya dengan selimut.
Rasyid lagi-lagi menurunkan selimut di wajah Ana "Abang gak kepaksa," Rasyid menebar senyum paling handalnya.
"Ya sudah Ana mau." Ana beranjak dari tempat tidurnya,
"Sesudah sholat Isya, sekitar jam 20:00 WIB Ana harus sudah siap." Rasyid menarik hidung Ana yang tidak mancung, juga tidak pesek.
"Iya abang." Setelah mendengar ucapan Ana, Rasyid pergi ke luar meninggalkan Ana sendiri di kamar.
***
Kali ini kedua kakak adik itu sedang menghabiskan waktunya ditempat hiburan, mereka menaiki komedi putar, dan wahana lainnya."Kabar bang Rais gimana Na?" Tanya Rasyid yang memang jarang pulang ke Subang karena sibuk.
"Bang Rais mau lanjut kuliah ke Jakarta bang, tapi dengan syarat beasiswa." Ana menimpali pertanyaan abangnya.
Abangnya itu mengangguk-angguk paham, "Mau beli apa lagi Na? Udah malam nih. Besok abang harus pergi lagi." Ucap Farhan
Ana menggeleng, "Kita pulang."
"Marah ya?" Rasyid memegang kedua pipi Ana
"Enggak abang, ayo pulang." Ana menarik tangan Rasyid pelan.
Rasyid mengangguk, lalu mengajaknya menaiki motor, dan pergi menembus dinginnya angin malam. Di tengah-tengah keramaian.
Di tunggu nextnya ya? 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
FARZANA
SpiritualBagaimana jika seorang gadis cilik bernama Farzana Romeesa Fariza yang bercita-cita menjadi seorang Ibunda Aisyah Binti Abu bakar, menjadi ibunda Fatimah binti Muhammad, menjadi ibunda Asma binti Abu Bakar, dan wanita tangguh penjuang Islam lainnya...