Tahun 2032, Amerika Serikat dan Australia resmi mendukung kemerdekaan Papua Barat untuk bersatu dengan Papua Nugini. Hal ini jelas mengganggu kedaulatan Republik Indonesia yang segera menjadikan seluruh wilayah Papua dalam siaga satu. Terutama ketika ribuan anggota OPM yang dipersenjatai oleh Amerika dan Australia secara gencar melakukan serangan kepada TNI di wilayah Papua. Sehingga jatuh banyak korban dipihak Indonesia, baik sipil maupun militer. Akhirnya sebagian TNI yang selamat mengorganisasi kesatuan mereka pada kota-kota kecil dibantu oleh warga pribumi Papua dan warga Indonesia lainnya. Mereka terkepung dan kekurangan segala kebutuhan, mulai dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan peperangan.
Panglima TNI segera menggelar operasi besar yang bertujuan merebut kembali seluruh Papua dan menghidupkan kedaultan RI yang kini sedang terkoyak disana. Oleh sebab itu, lebih dari seratus ribu prajurit dikerahkan ke Papua dengan seluruh kekuatan yang ada, agar dapat merebut Papua sesegera mungkin sehingga persoalan ini tidak berlarut-larut dan PBB belum mengakui kedaulatan Papua Barat yang mencoba lepas dari NKRI.
Bising suara helicopter Ghost Hawk itu tak terlalu bising dibandingkan jenis helicopter lain yang dimiliki oleh TNI AL. Padahal lima helicopter terbang berdekatan menuju sebuah titik pendaratan yang dirahasiakan. Para marinir yang siap diterjunkan ke medan perang ini memang bertujuan mengamankan beberapa titik strategis yang memungkinkan pasukan darat dapat melaju tanpa hambatan. Sehingga segera dapat menguasai sebuah region dengan sukses, yang kelak akan dijadikan basis kekuatan TNI di tanah itu.
Helicopter Ghost Hawk adalah jenis helicopter yang tidak bisa dilacak oleh radar. Para marinir tersebut ditugaskan untuk mengamankan persimpangan jalan dan jembatan yang berhasil direbut oleh OPM. Hal-hal itu penting agar pasukan darat yang melakukan serangan umum tidak harus berjibaku dan bergelimang darah jika terjadi penyergapan. Dan kecepatan laju pergerakan pasukan darat tidak terganggu oleh jalan ataupun jembatan yang rusak.
Jika pergerakan para marinir ini sukses, pasukan darat yang melanjutkan serangan kemudian akan mengamankan kota-kota yang terkepung dan mengevakuasi seluruh penduduk dan TNI yang terluka disana.
Wira seorang prajurit marinir, menatap laras senjata yang ia sandarkan ke bahunya. Lalu menatap kawan-kawannya yang tegar menghadapi nasib. Ya, mereka tahu bahwa mereka akan diterjunkan di belakang garis musuh lalu akan melakukan penetrasi yang tepat hingga melumpuhkan musuh seketika dan bertahan hingga bala bantuan datang. Tugas ini harus berhasil. Tidak ada opsi untuk gagal. Gagal bukan hanya berarti para marinir ini akan mati, melainkan angkatan darat yang menyusul mereka juga berada dalam ancaman penyergapan yang mematikan. Itu berarti, keseluruhan operasi mereka akan gagal dengan banyaknya korban bergelimpangan.
"Sepuluh menit," co-pilot memberitahukan mereka bahwa sepuluh menit lagi, mereka akan tiba dilokasi.
Sersan Satu yang mengepalai pasukan per satu helicopter mulai memerintahkan, "Cek perlengkapan."
Wira mengecek perlengkapannya, memastikan tidak ada yang kurang. Setiap orang dalam sebuah regu memiliki perlengkapan dan senjata yang berbeda-beda. Setiap prajurit memiliki fungsi masing-masing yang spesifik.
"Satu, siap!"
"Dua, siap!"
"Tiga, siap!"
Dan seterusnya, setiap prajurit menyatakan kesiapannya berdasarkan kode masing-masing orang.
"Lima menit!" seru co-pilot lima menit kemudian.
Lantas terasa hanya sekejap berlalu, co-pilot segera berkata lagi.
"Dua menit!"
"Senjata siap!" perintah sersan satu agar setiap prajurit melepas pengaman senjata masing-masing.
Dan terasa sekejap kemudian, helicopter berhenti melaju, lantas mulai turun ke bawah.
Persis ketika helicopter menyentuh bumi, para prajurit itu berlompatan keluar dan langsung mengamankan perimeter. Para prajurit yang sudah turun segera membidikkan senjata mereka ke penjuru mata angin, mengamankan bila ada musuh diarah sana.
Usai seluruh para prajurit itu turun, helicopter yang membawa mereka segera terbang dan kembali ke kapal induk. Kini seluruh nasib mereka dan angkatan darat hanya bergantung pada keberhasilan mereka dalam tugas ini.
Seragam loreng gelap yang dikenakan para marinir tampak saru dengan keadaan rimba di Papua. Ada tiga helicopter yang menurunkan tiga regu disana. Sebuah regu terdiri dari 12 orang. Regu A adalah regu Wira dan teman-temannya. Lalu ada lagi regu B dan regu C. Ketiga regu itu bertugas untuk merebut sebuah jembatan yang sekarang sedang dipertahankan oleh OPM dan memastikan OPM tidak menghancurkan jembatan itu.
Ketiga regu itu segera bergerak ke dalam hutan menghindari lapangan terbuka tempat mereka diturunkan.
Di gelapnya rimba Papua, ketiga sersan itu berkumpul merancang strategi penaklukan jembatan itu tanpa memancing banyak keributan. Sementara para tamtama lainnya fokus mengamankan lokasi.
Tak lama kemudian briefing itu selesai dan Sertu Abdi yang memimpin regu A menghampiri seluruh anak buahnya. Dan memulai briefing selanjutnya.
"Ada dua pillbox yang melindungi dua ujung jembatan. Satu disebelah sini dan satu lagi disebelah sini," ujar Sertu Abdi sambil menggambar di atas tanah. "Tugas kita adalah mengamankan pillbox sebelah kanan yang selanjutnya kita sebut pillbox A. Sementara posisi kita sekarang ada disini dan kita akan mendekati lokasi melalui arah ini."
Seluruh prajurit memperhatikan dengan teliti dan fokus.
"Serangan akan dilakukan secara bersamaan. Tapi pertama-tama, kita harus membantu regu B mengamankan lokasi penyeberangan mereka terlebih dahulu. Usai regu B sudah menyeberang dan sudah siap diposisi, regu A dan regu B akan melakukan serangan frontal dengan menembakkan peledak dan memberondong peluru ke arah kedua pillbox itu. Sementara regu C akan melakukan penyerbuan dari ke pillbox A melalui arah yang berbeda dari posisi kita menembak. Jelas?"
"Jelas!" jawab para prajurit serempak.
"Ketika regu C sudah berhasil mengamankan pillbox A, kita akan segera menyusul ke posisi mereka dan kita yang akan melanjutkan serangan merebut jembatan lalu bertemu regu B pada pillbox B. Ingat, jadi kitalah yang akan menyeberangi jembatan dan menyerbu pillbox B."
"Jika regu B tidak dapat membuat pillbox B lumpuh dalam serangan mereka, maka kita akan menyeberangi jembatan dalam hujan peluru Pak?" Tanya seorang prajurit.
"Iya," jawab Sertu Abdi, teduh. "Regu C akan melakukan tembakan perlindungan sebisa mereka. Tak ada yang bisa kita lakukan selain memberikan yang terbaik teman-teman. Demikian juga regu lainnya."
Sertu Abdi menatap satu persatu pasukannya, meyakinkan mereka semua bahwa mereka bisa.
"Perhatikan ini teman-teman. Ini adalah sebuah kehormatan mengambil bagian yang paling menentukan dalam operasi ini," Sertu Abdi memberikan semangat.
"Setelah jembatan itu berhasil direbut?" Tanya Wira, memperjelas situasi mereka.
"Kita semua tahu itu. Kita harus mempertahankan jembatan tersebut sebisa kita. Tidak ada mundur dan menyerah, karena itu sama saja dengan kesia-siaan. Dan kita tahu mereka pasti akan melakukan serangan balasan sebisa mereka untuk segera merebut dan menghancurkan jembatan ini," jelas Sertu Abdi. Seluruh pasukan mengangguk paham.
Sekali lagi, Sertu Abdi memandang setiap prajuritnya dengan tatapan yang dalam. Mencoba mengerti perasaan mereka yang juga perasaannya. Ini semacam misi bunuh diri. Ketika kaki mereka sudah melangkah ke dalam helicopter tadi, mereka sudah mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh keluarga mereka. Meski hanya dalam hati.
Tak terasa, jemari tangan kiri Wira meremas laras senjatanya penuh tekanan. Ia terbayang tentang segala yang sudah ia tinggalkan dengan harapan akan kembali. Tapi kini, berharap kembali itu terlalu berlebihan.
Dijauh sana ada seorang ibu dan sebuah janji yang digantung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Merah Putih
Historical FictionSebagai putra nelayan yang meninggal diterjang badai, suatu kehormatan bisa menjadi seorang marinir. Wira baru saja menyelesaikan pendidikan marinir nya dan berencana menikahi Ajeng ketika pemberontakan besar di Papua Barat pecah. Pemberontakan yang...