Wira pernah begitu berguna untuk Ajeng. Berguna? Sebuah istilah yang terdengar begitu egois bagi Ajeng. Tapi Ajeng tidak pernah bermaksud untuk itu. Sejak zaman ayah mereka berdua, sebuah ketetapan takdir memang sudah dibuat agar entah kenapa pengorbanan ayah Wira sangat besar kepada ayah Ajeng. Tapi tidak sebaliknya. Ayah Ajeng selalu menyesal bahwa hingga akhir hayat ayah Wira, ia tidak pernah memberikan sesuatu yang terbaik.
Sekarang, ayah Ajeng ingin membalas semuanya kepada Wira. Tapi ketika Wira harus menjawab panggilan tugas dari negara seperti ini, ayah Ajeng ragu. Jangan-jangan ia akan terlambat seperti dahulu.
Kesetiaan itu identik dengan pengorbanan. Sebab siapa yang kurang berkorban kepada kekasihnya, kesetiaannya tidak bisa dipegang. Semoga itu tidak berlaku bagi mereka berdua.
Apa yang tidak pernah Wira berikan kepada Ajeng? Bahkan untuk sesuatu yang Wira tidak memiliki sekalipun, Wira mampu membantu Ajeng dalam hal itu.
Sebagai seorang nelayan, tak selamanya ayah Ajeng memiliki cukup nafkah untuk diberikan kepada istri dan anaknya. Sesekali Ajeng memang tidak memiliki uang jajan. Sesekali, uang jajannya hanya cukup untuk membeli kebutuhan sekolahnya. Hal sepele? Seharusnya tidak. Terutama sesuatu yang tidak pernah bisa Ajeng lupakan.
***
Sepeda itu berderit keras, besinya yang karatan seolah sudah tak tahan lagi dikayuh dengan sangat cepat oleh Wira menuju suatu tempat.
Peluh ia seka dengan cepat. Agar peluh tidak mengalir ke alis, turun ke mata dan mengganggu penglihatannya yang sedang fokus ke jalanan. Nafasnya yang sudah terengah-engah terus ia kendalikan sesuai ritme kakinya yang mengayuh. Wira terus mempertahankan kecepatannya agar bisa sampai pada tempat tujuan sesegera mungkin.
Sebelum berangkat ke sekolah ibunya sudah berpesan agar segera pulang ke rumah karena ada beberapa hal yang membutuhkan bantuan Wira. Wira tentu memenuhi hal itu dengan segera pulang dan membantu ibunya.
Usai membantu ibunya, Wira hendak beristirahat sejenak dengan tidur siang karena malamnya ia tidak tidur sejak dini hari karena berdagang di pasar. Tapi ibu Ajeng datang ke rumah Wira untuk meminta bantuannya mengantarkan makan siang ke Ajeng yang saat itu sedang ada kegiatan di sekolah. Sementara ayah Ajeng yang diminta mengantarkan sedang sakit usai dua hari melaut sementara saat itu sedang musim hujan.
Wira mengesampingkan kantuknya dan menuruti permintaan ibu Ajeng, yang sudah memberitahu bahwa Ajeng ingin segera makan karena uangnya tak cukup untuk membeli makan siang.
Karena itulah Wira tergesa-gesa mengayuh sepedanya menuju sekolah kembali.
Sesampainya di gerbang sekolah, Wira berhenti sejenak. Menyeka peluhnya dan mengatur nafasnya. Ia tidak ingin Ajeng terkejut dan merasa telah merepotkan Wira yang tadi izin pulang lebih dulu kepada Ajeng untuk membantu ibunya. Jika Ajeng melihat dia sudah kembali ke sekolah lagi sekarang hanya untuk mengantarkan makan siang, Ajeng pasti akan merasa sangat merepotkan.
Setelah merapikan penampilannya dan mencoba tampil segar, Wira segera mengayuh sepedanya santai ke dalam sekolah. Ia pun memarkir sepeda itu di tempat biasa lalu berjalan ke kelas Ajeng.
Ajeng sedang ada les tambahan untuk memperkuat beberapa bidang studi. Beberapa orang guru memang memberikan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan siswa-siswinya dalam bidang studi yang kurang dikuasai. Dengan biaya tambahan tentunya. Karena itulah Wira tidak bisa mengikuti program itu. Padahal menjelang ulangan umum seperti ini, hampir seluruh siswa dan siswi mengikuti program itu termasuk teman baik Wira, Bunjul.
Sebelum tiba di kelas Ajeng, les tambahan itu rupanya sudah beberapa menit yang lalu selesai. Bunjul yang sedang berjalan di lorong untuk pulang, melihat Wira yang datang menenteng makanan dalam kantong plastik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Merah Putih
Historical FictionSebagai putra nelayan yang meninggal diterjang badai, suatu kehormatan bisa menjadi seorang marinir. Wira baru saja menyelesaikan pendidikan marinir nya dan berencana menikahi Ajeng ketika pemberontakan besar di Papua Barat pecah. Pemberontakan yang...