Berita itu tersebar luas. Hampir seluruh rakyat Indonesia setia mengikuti perkembangan pertempuran di Papua. Seluruh rakyat Indonesia penasaran dengan akhir dari kisah perang ini. Tapi bagi kampung nelayan, mereka sudah tidak penasaran lagi. Apa yang tidak mereka harapkan benar-benar terjadi. Khususnya bagi keluarga Ajeng.
Satu persatu warga kampung datang menjenguk Ajeng untuk mengucapkan bela sungkawa. Tapi sejak pingsan itu, Ajeng tidak pernah lagi tertarik untuk keluar rumah. Bahkan Ajeng sudah tidak pernah lagi keluar dari kamarnya. Sudah dua hari ia habiskan di pembaringan. Menatap keluar ke arah jendelanya dengan tatapan kosong. Tidak ada lagi harapan di langit atau di antara pepohonan. Dan segala hal tentang laut adalah kenangan yang mengiris hatinya.
Tapi dihari ketiga, Ajeng keluar dari kamarnya dan bahkan rumahnya. Hanya karena dengan menangis, kedua orangtuanya menyampaikan berita duka yang tidak terperikan lagi bagi keluarga mereka.
Sebagaimana Ajeng, ibu Wira pun segera pingsan dan jatuh sakit usai mendengar berita tersebut. Dua hari ibu Wira berada di pembaringan diurus oleh warga yang berempati atas kondisinya. Tapi dihari ketiga, muncul sebuah berita lagi yang mengakhiri segalanya.
Ajeng sudah menutup telingan dari seluruh berita yang ia dengar. Ia tidak mau lagi mempercayai itu. Tapi sebagai seorang ibu, ibu Wira masih selalu berharap bahwa anaknya belum mati. Hanya hilang. Tapi diberita terbaru itu, panglima TNI memohonkan maaf bahwa ia tidak menjanjikan keselamatan prajuritnya. Bahwa korban mungkin akan tetap bertambah. Dan bahwa setiap yang hilang, kemungkinan terbesarnya sudah tiada.
Berita itu menutup hidup ibu Wira dan menjadi satu-satunya penyebab Ajeng mau keluar untuk terakhir kali melihat ibu keduanya itu. Tapi tak lama. Ajeng segera pingsan begitu melihat jasad ibu Wira yang sudah dikafani.
Kampung nelayan itu sangat berduka sejak peristiwa itu. Hingga disiang hari, tak ada anak-anak yang berisik bermain bola atau semacamnya. Tak ada pemuda pemudi yang bernyanyi di pos ronda. Tak ada tegur sapa. Seolah semua mengerti bahwa sebuah suara yang keluar terkesan tidak menghormati suasana duka yang sedang melanda seisi kampung.
Malam harinya diisi oleh gema tahlil setiap ba'da Isya. Lalu gubuk keluarga Wira kosong dan senyap. Lampu tak lagi menyala. Gubuk itu tidak ada lagi yang punya. Tak ada lagi kehidupan disana.
Dan Ajeng, kembali meringkuk di kamarnya. Depresi. Kedua orangtuanya tidak mampu berbuat apa-apa. Kondisi mereka pun nyaris sama dengan Ajeng. Hari demi hari terkesan pahit. Tak ada lagi harapan. Bahkan bagi Ajeng, ia berharap, tak perlu ada esok lagi.
Beberapa hari kemudian, simpati dari luar kampung itu segera menggema masuk. Mengetuk pintu rumah keluarga Ajeng dan mengungkapkan bela sungkawanya. Kebanyakan dari mereka adalah teman sekolah Ajeng dan Wira dahulu. Terutama mereka yang mengetahui hubungan Wira dan Ajeng.
Termasuk, ketika sebuah mobil mewah menepi di jalan kampung nelayan yang sempit. Membuat motor dan sepeda tidak bisa menggunakan jalan kecil yang hanya pas satu buah mobil itu. Bahkan para pejalan kakipun kesulitan melewatinya.
Lalu keluar dari mobil mewah itu, pak Lurah, istrinya, dan Bimo. Mengenakan pakaian hitam, hendak berbela sungkawa. Tapi tentu semua tahu itu palsu.
Parsel dan berbagai jenis makanan lainnya dibawa oleh keluarga pak Lurah masuk ke pekarangan keluarga Ajeng. Dari dalam, ayah dan ibu Ajeng sudah melihatnya. Tapi mereka hendak pura-pura tidur dan tidak mendengar apapun.
Pintu rumah keluarga Ajeng diketuk. Salam diucapkan. Tak ada suara yang membalas kata-kata mereka.
Sebaliknya, di luar rumah Ajeng justru ramai. Para pengendara motor mengklakson berkali-kali, hendak menyingkirkan mobil itu dari jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Merah Putih
Historical FictionSebagai putra nelayan yang meninggal diterjang badai, suatu kehormatan bisa menjadi seorang marinir. Wira baru saja menyelesaikan pendidikan marinir nya dan berencana menikahi Ajeng ketika pemberontakan besar di Papua Barat pecah. Pemberontakan yang...