Surabaya, November 2031
Berbalut seragam kotor dan baret ungu yang baru saja diperolehnya, Wira pulang ke rumah ibunya tanpa memperdulikan penumpang bus yang merasa terganggu oleh tubuhnya yang kotor dan bau. Ia ingin segera bertemu ibunya dan memberitahukan bahwa do'a ibunya selama ini sudah dikabul oleh Allah SWT. Dan ia ingin menunjukkan bahwa baret ungu yang selama ini ia idam-idamkan berhasil ia kenakan di kepalanya yang botak.
Rumahnya hanya tinggal dua ratus meter dari jalan ini ketika bus itu terjebak macet.
"Sialan!" gerutu Wira. Ia sangat tidak sabar hendak segera menemui ibunya. Ibunya pasti terkejut melihatnya tiba membawa pakaian loreng dan baret ungu ini.
Hanya dua ratus meter. Jarak segitu dapat ia tempuh kurang dari tiga menit.
Wira segera membayar ongkos bus itu dan segera berlari kencang ke arah rumahnya. Rumahnya terdapat pada sebuah gang kecil yang dari gang itu terdapat rumah masyarakat menengah ke bawah. Gang itupun membawa Wira ke sebuah persimpangan yang terdapat sebuah kebun kecil milik warga setempat yang hanya ditumbuhi oleh pohon pisang dan rerumputan tinggi. Tak jauh dari kebun itulah ada sebuah gubuk kecil yang merupakan huniannya sejak kecil.
Tempat ibunya membesarkan dirinya seorang diri, karena ayahnya sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan sejak Wira masih dalam kandungan. Sedari kecil Wira sudah belajar memahami apa arti seorang ibu dalam hidupnya.
Tapi setibanya di depan gubuknya senja itu, ia tak hanya melihat ibunya saja. Justru itulah yang membuatnya begitu terharu.
Seorang gadis sedang menyapu halaman rumahnya yang tak begitu luas. Gadis yang sudah sangat ia kenal sejak ia kecil. Teman ia SD, SMP, dan SMA. Bahkan lebih dari sekedar teman sejak itu.
"Ajeng?" Wira meragukan penglihatannya sendiri, meski hatinya sudah teriak dengan lantang bahwa gadis itu memang Ajeng.
Gadis itu menoleh dengan cepat, seolah tak percaya suara yang baru saja memanggilnya. Suara yang sudah sangat ia kenal dan sangat ia rindukan.
"Mas Wira?" suara Ajeng bergetar tak percaya. Sapu lidi itu terlepas dari tangannya dan Ajeng menghambur ke dalam peluka Wira.
Pelukan itu hangat dan tulus. Tapi tak lama. Baik Wira maupung Ajeng sama-sama bergegas memanggil ibu Wira.
Ajeng yang tergopoh-gopoh berlari ke dalam rumah, ke dapur menghadap ibu Wira yang sedang memasak.
"Bu... bu..." Ajeng tergagap. "Wira bu... Wira pulang."
"Wira...!" ibu Wira hendak berteriak terkejut, menyebut nama anaknya. Tapi tak ada suara terdengar. Suaranya tercekat di tenggorokkan oleh tangis yang hendak menghambur.
"Wira..." seru ibu Wira lagi, lebih seperti berbisik dengan keras.
"Ibu..." panggil Wira di ruang tamu sekaligus tempat tidur mereka. Wira memeluk ibunya, mencium kening ibunya, dan segera berlutut, mencium kaki ibunya.
Ajeng pun berlutut memeluk Wira dan kaki sang ibu. Kaki calon mertuanya. Dan mereka bertiga nangis penuh haru.
Tangis dan tangis yang terjadi di gubuk itu hingga setengah jam lamanya. Mereka bercerita, mengumandangkan rindu, dan lainnya, melepaskan segala gundah yang ada selama ini.
Hingga perlahan, tetangga yang tak jauh dari rumah mereka mulai penasaran atas apa yang terjadi. Dan dalam sekejap berita kepulangan Wira terdengar dimana-mana dan seluruh warga berdatangan mengucapkan selamat atas keberhasilannya menjadi seorang marinir.
***
Ajeng adalah seorang tetangga Wira, teman Wira, dan pada akhirnya menjadi kekasihnya. Hubungan itu sebenarnya sudah terjalin sejak mereka kecil. Sejak SD ketika mereka sering bermain bersama ke rumah masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Merah Putih
HistoryczneSebagai putra nelayan yang meninggal diterjang badai, suatu kehormatan bisa menjadi seorang marinir. Wira baru saja menyelesaikan pendidikan marinir nya dan berencana menikahi Ajeng ketika pemberontakan besar di Papua Barat pecah. Pemberontakan yang...