Yang Bermata Teduh

148 8 0
                                    

Tasnya hampir penuh, bahkan di kedua tangannya ia dekap dua buah buku yang tak akan dipelajari di sekolah hari ini. Tapi ia memang selalu begitu. Terkadang baginya, pelajaran sekolah itu tidak ada yang menarik. Dan karena itu ia selalu membawa sesuatu yang lain untuk dipelajari sekalipun itu di sekolah. Tapi meski begitu, nilai-nilainya di sekolah tetap yang terbaik.

Dari semua prestari terbaik yang selalu ia raih sejak ia SD dan SMP, ia harus berusaha lebih keras saat SMA. Bukan karena pelajaran yang lebih sulit atau apapun, tapi ada seorang siswa yang selalu menjadi pesaing beratnya setiap semester. Ia pun kagum terhadap kedahsyatan pesaingnya itu. Sebab, keadaan pesaingnya tidak seperti keadaannya.

Ma'shum sudah sejak awal kagum kepada Wira, yakni ketika mereka pernah sekelas dan Ma'shum tahu semua tentang anak itu. Seorang yang miskin, harus bekerja di pasar sejak dini hari, tidak jajan, menghidupi keluarganya, tak punya ayah, memiliki sedikit waktu untuk belajar, tapi di luar segala kekurangannya, ia mampu menyaingi Ma'shum dalam setiap mata pelajaran dan total keseluruhan nilai.

Mereka pun berteman akrab sejak mereka bertemu. Ma'shum pun sering bercerita tentang Wira kepada ayahnya, Kyai Shomad. Sehingga banyak juga bantuan yang diberikan oleh keluarga Ma'shum kepada Wira dan ibunya. Lalu, Ma'shum pun juga mengenal Ajeng.

Pertama kali mengenal Ajeng, Ma'shum segera tertarik dengan gadis itu. Lalu diam-diam menyukainya. Tapi ia juga segera tahu bahwa Ajeng dan Wira lebih dari sekedar teman. Lantas Ma'shum tahu bahwa mereka berdekatan sejak kecil, berteman sejak kecil, dan keluarga mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekedar tetangga. Hanya saja, Ma'shum tahu diri. Ia tidak pernah menampakkan rasa sukanya kepada Ajeng.

"Minggir kutu buku!!" Bimo dan kawan-kawannya mendorong Ma'shum hingga terpental ke dinding. Ma'shum hanya bisa diam tak membalas.

Usai pereman sekolah itu lewat, Ma'shum kembali berjalan ke kelasnya.

"Kamu nggak apa-apa Shum?" Wira menepuk bahu Ma'shum usai melihat apa yang Bimo lakukan kepada kawannya itu.

"Nggak apa-apa kok," jawab Ma'shum santai. "Biasalah itu. Kayak nggak tahu mereka aja."

"Apa perlu kubuat hidungnya berdarah lagi?"

"Seperti dulu, saat Bimo mencoba menggoda Ajeng? Jangan. Bukan hanya kamu yang akan kena masalah nanti. Tapi sekolah kita juga."

"Berandal seperti mereka seharusnya nggak bisa masuk sekolah ini."

"Tapi kekuasaan bisa membuatnya masuk sekolah ini."

"Iya. Ayo masuk kelas."

Di dalam kelas mereka duduk bersebelahan saat kelas 1 SMA. Di belakang mereka ada Bunjul yang sejak awal memerlukan bantuan mereka untuk menjelaskan segala hal yang Bunjul ingin tahu.

"Bimo rusuh lagi ya tadi?" Bunjul yang sudah lebih dulu duduk di bangkunya menegur Ma'shum yang baru tiba.

"Ya begitulah..."

"Hai!" tiba-tiba Ajeng masuk dan menyapa mereka semua.

Ajeng tidak sekelas dengan mereka saat itu. Tapi sudah rutinitas Ajeng untuk mampir ke kelas Wira setiap hari.

"Kamu sudah tidur belum Wir?" tanya Ajeng.

"Belum sempat. Agak kesiangan aku hari ini," jawab Wira ceria.

"Masih lama bel masuknya sudah bilang kesiangan saja," balas Ajeng.

"Begitulah Jeng, kalau orang yang jam 6 sudah ada di dalam kelas," Bunjul nimbrung dari belakang.

"Makan nih.." Ajeng menyodorkan sebungkus gorengan kepada Wira.

"Yah... keduluan deh.." ujar Ma'shum yang terburu-buru meletakkan tas dan bukunya, lalu kesulitan mengambil sekotak sarapan yang memang ia siapkan untuk Wira.

Cinta dan Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang