Tentang Merah

134 9 0
                                    


Mungkin ini adalah malam terakhir yang bisa Wira lalui bersama ibunya, Ajeng, ataupun kampung ini. Sebab besok adalah hari besar, yang ia tidak tahu nasibnya akan seperti apa di hari itu. Karena itu pula, ia tidak bisa tidur sedikitpun. Ajeng dan ibunya sudah tertidur di sebuah bale bambu dalam rumahnya. Dan Wira beranjak keluar.

Wira memperhatikan bulan yang pucat membulat indah. Memberikan arti lain kepadanya tentang kesendirian. Siapa nanti jika ia mati yang akan membahagiakan ibu dan memotivasinya disisa hari-hari senjanya? Siapa nanti jika ia mati yang akan menggantikan posisinya disisi Ajeng? Kenapa hidup harus sesulit ini diposisinya?

Wira masuk lagi ke dalam, mengambil sebuah buku yang Ajeng peluk dalam tidurnya. Lalu disitu ia menulis, sebuah pesan terakhir yang takkan sanggup ia ucapkan melalui kata-kata langsung kepada Ajeng. Pesan yang tidak sanggup didengar Ajeng langsung oleh telinga. Dan bahkan ketika menuliskannya pun, Wira meneteskan air mata.Wira mengembalikan buku itu ke pelukan Ajeng lalu ia duduk di depan rumah seorang diri. Memikirkan sesuatu yang berada persis dibatas antara ada dan tiada.Hingga tiba-tiba pintu yang ia tutup itu perlahan terbuka dan ibunya muncul menemaninya menghabisi malam itu.Mereka memulai komunikasi dalam diam. Merasakan perasaan satu sama lain yang terlalu mudah untuk ditebak.

"Kita manusia pada akhirnya akan kehilangan segalanya juga," ibunya memulai.

"Setidaknya kehilangan dengan tenang dan tidak mendadak," jawab Wira, mengeluhkan nasib.

"Siapa yang tahu soal mati. Jika dalam tidur kita sekarang ini kita mati, itu juga mendadak. Tidak peduli di medan perang atau di atas ranjang, mati selalu seperti itu.

"Wira diam, meremas-remas jarinya. Tidak pernah ia segugup dan setakut ini sebelumnya.

"Kamu jangan khawatir nak. Ibumu tidak akan kenapa-kenapa. Memang ibu akan sangat kehilangan, bahkan sudah tidak ada guna lagi ibu hidup di dunia ini jika kamu tidak kembali. Tapi apa daya jika memang itu yang harus kita jalani? Mungkin ibu akan menangis, ibu akan sakit, dan mungkin juga ibu akan segera menyusulmu. Semuanya selesai. Kamu tidak perlu memikirkan tentang ibu yang usianya sudah tidak akan lama ini.

"Wira membalik tubuhnya menatap Ajeng yang masih tertidur pulas melalui pintu yang terbuka.

"Dan tentang Ajeng, cukup bahwa kamu meninggalkannya sebagai laki-laki terbaik yang akan ia kenang selamanya di dalam hidupnya. Bahkan mungkin lebih baik dari pada suaminya sendiri, nanti.

"Semua diskusi ini terlalu menyayat hati. Tak ada keoptimisan sedikitpun. Mereka tak mau bergantung pada harapan. Entah kenapa mereka seperti tidak melihat adanya harapan sedikitpun.

Wira tahu bahwa dalam kondisi sekarang ini ia tidak disodori pilihan lagi. Ia benar-benar wayang yang dikendalikan sepenuhnya oleh keadaan. Dan ia tidak mampu melawannya. Seandainya ia diberi satu keinginan saja untuk dipenuhi, minimal ia akan meminta, agar malam ini jangan pernah berlalu. Tapi keinginan itu tidak pernah terjadi.

Pagi-pagi sekali, Wira pun berangkat. Ibunya melepasnya pergi dengan tangis yang penuh ketabahan sementara mereka berdua tak tega untuk membangunkan Ajeng yang pulas tertidur setelah sebagian besar malamnya sudah tersita.Semuanya harus dijalani. Itulah hidup. Entah seberat apa sesuatu yang berada dihadapan kita sebagai manusia, hidup kerap kali tidak memberikan pilihan kepada kita. Seperti kondisi yang dialami Wira saat ini. Ia harus tetap melangkah dalam hidupnya sekalipun itu berarti melangkah menuju akhir kehidupannya. 

Tinggal kisah hidupnya yang menggantung begitu saja.

***

Cinta dan Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang