Mengobati Luka

136 7 0
                                    

"Assalamu'alaikum mas," sapa pengendara motor itu saat ia melewati jalan kecil kampung nelayan.

"Wa'alaikumsalam," jawab orang yang diberi salam. Ia tampak sumringah karena disapa oleh pengendara motor itu. Seorang pemuda yang sudah tidak asing lagi di kampung nelayan.

Motor itu lekas berlalu dan berhenti disebuah rumah yang baru saja dirundung duka. Tapi perlahan luka itu mulai mengering. Dan seluruh penghuni rumah itu mulai meniti harapan yang baru. Mereka tahu bahwa harapan tak mesti satu. Semua tergantung kita dalam membentuknya.

"Assalamu'alaikum pak," pemuda itu memberi salam ke penghuni rumah tersebut yang sedang beristirahat siang itu di depan rumahnya.

"Wa'alaikumsalam Warrahmatullah... aduuuh... ada apa ini mas Ma'shum repot-repot?" jawab ayah Ajeng tergopoh-gopoh menyambut Ma'shum di depan rumahnya. Demikian juga istrinya, ibu Ajeng.

"Ini ada sedikit buah-buahan dari bapak," jawab Ma'shum sambil menyerahkan bingkisan yang ada ditangannya.

"Ya ampuun... kenapa repot-repot seperti ini?"

"Nggak masalah pak, bu. Sedikit saja kok. Bapak dan ibu bagaimana, sehat?"

"Alhamdulillah sehat," jawab ibu Ajeng senang.

"Alhamdulillah kalau begitu. Kalau Ajeng bagaimana kesehatannya bu?"

"Alhamdulillah Ajeng sekarang sudah baikkan. Nafsu makannya sudah mulai meningkat dan mau keluar dari kamar," ibu Ajeng menjawab penuh semangat.

"Syukurlah kalau begitu. Ya sudah, saya pamit dulu," secara mengejutkan Ma'shum langsung izin pamit.

"Loh kok gitu? Nggak mau ketemu Ajeng dulu mas Ma'shum?" tanya ibu Ajeng bingung. Demikian juga suaminya, tampak heran.

"Nggak usah dulu bu. Takut Ajengnya butuh istirahat. Saya hanya menyampaikan amanah mengantarkan bingkisan itu. Tidak lebih."

Kedua orangtua Ajeng bingung antara harus memaksa atau mempersilahkan pergi. Mereka hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

"Tapi kapan-kapan, temui Ajeng dulu ya. Ajak bicara. Dia masih agak sulit untuk mengobrol. Sama ibu saja ngomongnya masih yang perlu-perlu saja," pinta ibu Ajeng sebelum Ma'shum berlalu.

"Oh iya bu. Tentu. Nanti kalau ada waktu, saya akan mampir kesini lagi."

Ma'shum pun pamit usai memberi salam. Motor itu kembali pergi lagi dengan tenang, menyusuri jalan kecil kampung nelayan.

Ayah dan ibu Ajeng saling tatap. Masing-masing mengerti isi fikiran satu sama lain. Mereka terlihat senang.

***

"Bagaimana perasaanmu sekarang Jeng?" tanya Ma'shum. Sekarang Ajeng sudah mau keluar rumah, meski harus ditemani Ma'shum sebagai teman mengobrol. Kedua orangtuanya sangat senang melihat Ajeng yang sudah banyak kemajuannya.

Ajeng menggeleng. Enggan mengeluarkan suaranya.

"Kamu harus membiasakan diri dengan keadaan yang sekarang Jeng. Memangnya mau sampai kapan kamu begitu?"

Ajeng diam.

Mereka terus berjalan menyusuri jalan kampung nelayan itu. Sesekali warga kampung melihat mereka berdua. Tentu semuanya menjadi saling berbisik karena Ajeng sekarang sudah mau keluar, bahkan keluarnya bersama Ma'shum.

Heboh.

Tapi warga kampung memilih untuk bersembunyi daripada mengganggu perasaan Ajeng.

"Jangan ke arah sana," tiba-tiba Ajeng bersuara.

Langkah Ma'shum terhenti.

"Kenapa?"

Ajeng tak menjawab. Ia segera membalik badannya dan terus berjalan ke arah sebelumnya.

Beberapa saat kemudian Ma'shum baru sadar bahwa Ajeng tidak mau kesana karena disana ada rumah Wira. Rumah yang sekarang sepi tak berpenghuni.

Mereka terus berjalan lagi. Lama mereka tak berkata-kata. Ma'shum bingung hendak berkata apa agar tak mengganggu perasaan Ajeng sedikitpun. Sementara Ajeng hanyut oleh sejumlah memori yang pernah ia alami bersama Wira di jalan kampung ini.

"Sepertinya aku harus pergi dari sini," kata Ajeng.

"Kenapa?"

"Semua ingatan itu menggangguku."

Ma'shum mengerti kondisi Ajeng yang butuh waktu dan kondisi untuk menghilangkan segala kepahitan hidup yang baru saja ia alami.

"Kamu butuh kesibukkan Jeng."

Ajeng mengangguk pelan.

"Bagaimana dengan mengajar. Menghadapi murid-murid pasti akan membuatmu teralihkan dari masalah yang kamu hadapi sekarang ini."

"Mungkin."

"Ya, perlu kita coba."

Ajeng mengangguk pelan lagi. Mereka terus berjalan. Hingga tanpa disadari, mereka sudah mendekati pantai.

"Atau..." kata Ajeng tenang, sambil memandangi kemilau pantai yang sudah terlihat dikejauhan.

"Atau apa?"

"Atau aku harus menghadapinya dengan tegar. Menerima semuanya dengan ikhlas dan menjalani kondisiku sekarang apa adanya? Meski sesekali aku pasti menangis."

"Begitu lebih baik Jeng. Kita tidak bisa lari dari masalah. Meninggalkan luka lama begitu saja, hingga ketika suatu saat kamu teringat tentang luka itu, hidupmu hancur lagi. Lebih baik kamu beradaptasi sejak sekarang."

Ajeng mengangguk pelan lagi.

"Ayo kita ke pantai. Disana ada segudang kenanganku bersama Wira sejak kami masih kecil."

Anak-anak tampak bermain riang bersama teman-temannya di pantai sore itu. Ajeng dan Ma'shum duduk di atas pasir menikmati semuanya. Ma'shum masih tak percaya Ajeng bisa berubah kuat sedemikian cepat.

Ajeng terlihat tersenyum memandangi anak-anak yang bermain di pantai. Tapi air mata perlahan mengalir di pipinya, meski tanpa isak.

Ma'shum tahu persis apa yang sedang terlintas dibenak Ajeng sekarang. Melihat tangis Ajeng seperti sekarang ini, Ma'shum terjebak dilema. Apakah ia harus bersedih karena Ajeng bersedih atau ia harus bersedih karena nasib dirinya sendiri?

Jika harus jujur, Ma'shumsadar, bahwa ia mencintai Ajeng.[]    

Cinta dan Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang