Denting sendok yang beradu dengan piring merupakan satu-satunya suara yang memecah kesunyian kala itu.
Alana masih berada di ruang makan seorang diri, setelah anggota keluarganya yang lain telah lebih dulu menyelesaikan sarapan mereka dan melanjutkan aktifitas masing-masing.
Ia mengaduk sarapannya tanpa pernah ada niatan sama sekali untuk menyantapnya. Padahal perutnya belum terisi sejak kemarin sore.
Bagaimana tidak, nafsu makannya menghilang entah ke mana beberapa hari terakhir.
Bahkan seandainya ia bukan seorang mahasiswi dengan segudang kewajiban yang menyertai, mungkin ia memutuskan untuk mengeram diri di dalam kamar. Bersama perasaan bersalah yang semakin menggerogoti dari dalam.
Ia memang sudah terbiasa berteman dengan sepi. Akan tetapi, sepinya kali ini begitu menyiksa. Karena semakin menyeret dia pada arus penyesalan yang deras.
Dia tidak pernah merasa seputus-asa ini seumur hidupnya. Putuh asa dan kehilangan gairah untuk menjalani rutinitasnya yang menguap bersama kepergian dia.
Setelah bosan memporak-porandakan makanannya, Alana menggeser piringnya ke tengah meja makan dan memutuskan untuk mengambil gelas berisi air.
Tangan gadis itu terulur, walau matanya tidak tertuju pada gelas yang akan diraih.
Maka ketika mengulurkan tangannya lebih jauh, lengan gadis itu tanpa sengaja menyentuh gelas lain hingga membuat gelas yang masih berisi air itu tumpah dan menggelinding ke tepi meja lalu terhempas jatuh ke lantai dengan suara pecahan yang membuat Alana terkejut.
Ia mendesah pelan karena kecerobohannya. Kemudian ia berjongkok memunguti pecahan yang berserakan.
"Aww..." salah satu pecahan kecil menusuk jarinya diikuti kesadaran yang juga menusuk kepalanya.
Tidak, tidak. Ia bukan seorang korban sinetron receh dengan mempercayai bahwa kejadian seperti ini merupakan suatu pertanda atau firasat tertentu.
Semoga ini bukan apa-apa. Semoga bukan apa-apa. Alana tanpa henti merapalkan kalimat itu di hatinya seraya merapikan sisa pecahan lainnya.
***
"Lana...." panggil seseorang dengan suara khas laki-laki di belakangnya.
Alana menoleh pada sumber suara dan membeku melihat laki-laki yang sedang melangkah cepat di koridor dan menuju ke arah gadis itu.
"Hai..." sapa laki-laki itu sedikit canggung.
Alana mengangguk kaku, "Ya. Hai juga, Kak Dimas." Hati Alana sedikit mencelos bertemu dengan laki-laki ini, yang pernah melukai hatinya.
Tapi rasa-rasanya Alana sudah tidak peduli lagi dengan sakit hati atas luka yang ditorehkan Dimas yang tidak sebanding dengan perasaan yang berkecambuk di hatinya selepas kepergian Angga.
"Gue—gue mau minta maaf. Atas segalanya. Karena bikin lo terluka. Karena gue nggak pernah ada saat lo butuh. Karena sikap pengecut gue malam itu. Maafin gue, Lana. Gue benar-benar menyesal." Dimas langsung menyuarakan ucapannya tanpa ingin berbasa-basi terlebih dahulu. Riak wajahnya menunjukkan penyesalan yang dalam.
Mendengar kata maaf Dimas yang terdengar tulus di telinganya, membuat Alana tersenyum tipis dan mengangguk samar.
Ia memang pernah terluka oleh Dimas, tapi ia juga tidak mau menjadi egois. Karena ia tahu bahwa luka itu akan semakin membekas ketika dia terus-terusan berkubang di dalamnya.
Disertai hembusan angin yang membelai lembut wajahnya Alana dengan hati ringan menjawab, "Semua orang pernah salah. Nggak ada yang perlu disesali. Yang perlu kita lakukan cuma memperbaiki diri supaya kesalahan itu nggak terulang lagi."
Hati Alana terasa menyengat oleh kata-katanya sendiri. Mengapa seolah-olah dia berbicara untuk dirinya sendiri?
Dimas mengangguk, jelas merasa lega lalu tersenyum, "Makasih banyak, Lana."
"Kak," seru Alana ketika Dimas pamit pergi.
Sejenak gadis itu termenung sebelum berkata, "Ung—Kakak tahu kalau Kak Angga pergi?" Ia merasa sedikit canggung menanyakan Angga pada mantan kekasihnya.
"Oh, gue denger sih, gitu. Gue—udah lama nggak ketemu dia," jawab Dimas membuat Alana kecewa karena pasti Dimas tidak akan tahu keberadaan Angga.
Dimas melirik jam tangannya, " Sori, Lana. Gue ada kelas. Oh, titip salam buat Angga yah." Laki-laki itu kemudian pamit pergi setelah Alana mengangguk pelan.
Angga benar-benar menghilang tanpa jejak. Meninggalkan tanda tanya bagi Alana. Apakah aku harus ikut menyerah juga? batinnya putus asa.
Drrt...drrttt...
Getaran dari smartphone di saku jaket Alana membuyarkan pikiran kacaunya.
Gadis itu merogoh benda pipih itu lalu menggeser layar untuk menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
Alana baru saja menempelkan telinganya ketika seseorang di ujung telepon sana berbicara dengan suara panik. "Alana? Ini aku, Indira..."
Yang terjadi selanjutnya membuat Alana diam tak bergerak merasakan bagaimana ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya saat menangkap kata demi kata Indira yang terdengar semakin mengecil di telinganya. Kalimat yang terasa bagaikan petir di siang bolong.
Tanpa diminta, air mata menetes begitu saja dari kedua ujung matanya.
Tidak, Tuhan. Tolong, aku bahkan belum mengungkapkan bahwa aku membutuhkan dia. Lebih daripada udara.
***
Ga ada udara gabisa napas neng -_- bau2nya ada yg gaberes nih u.u
dear readers, cerita ini aku buat sad ending boleh gak? #diarakmassa #kabuur XD ✌
makasiiih udah mampiiiir ❤ ketemu lagiii di beberapa part terakhir hehe
Sincerely,
SarahRS
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Anyway (Completed)
Short Story#190 in Short Story 28112017 Angga Wiratmadja, seorang laki-laki yang ditinggal menikah oleh sahabat sekaligus gadis yang ia cintai, memutuskan untuk pindah ke kota lain lalu bertemu dengan seorang gadis bernama Alana yang mengambil alih seluruh per...