21 | Yang Datang dan Yang Pergi

5.1K 322 108
                                    

Jika ada sebuah hati yang sudah terbelah lalu jatuh dan hancur berkeping-keping, mungkin itulah hati Alana saat ini.

Dia tidak menyangka hatinya akan sesakit ini ketika melihat pemandangan di depannya. Pemandangan yang tiba-tiba merenggut kemampuan bernapasnya.

Alana merasa sesak. Sesak yang membuat gadis itu menyadari bahwa ternyata, di sudut hatinya, dia menaruh perasaan yang tidak biasa pada Angga.

Pada laki-laki yang juga baru ia sadari-selalu ada untuknya. Bahkan di saat-saat terburuk sekali pun.

Angga dengan mata teduhnya. Angga dengan senyum dan lesung pipi menawannya yang sering kali membuat Alana tersipu.

Alana memalingkan wajah dan menutup pintu perlahan. Pintu kafe tempat Angga menjanjikan untuk bertemu.

Tempat Angga menunggu untuk mendengar jawaban Alana. Jawaban dari pernyataan perasaan Angga padanya.

Alana tersenyum sedih, merasa konyol karena dia sempat mengawang karena perasaan yang diungkapkan Angga kemarin.

Untuk apa Angga mengungkapkan perasaannya ketika dia sudah bersama perempuan lain? Untuk apa perhatian-perhatiannya pada Alana selama ini?

Perempuan yang Kak Angga peluk tadi sangat-sangat cantik. 'Sangat sempurna'. Tentu saja, setiap laki-laki akan memilih perempuan tadi. Bukan yang seperti aku.

***

Beberapa menit sebelumnya...

"Angga, lo bohong, jahat. Katanya lo mau pulang kampung kalau lo udah sukses. Memangnya, lo nggak kangen sama gue?" keluh satu suara dari balik tubuh Angga.

Satu suara yang selalu menemani seumur hidup Angga di kampung halamannya. Suara perempuan pertama yang ia sayangi.

Angga tersentak dan berbalik kaget mendapati cinta pertama dalam hidupnya-sedang berdiri di sana, di pintu kafenya. Indira.

Laki-laki itu mematung menatap perempuan cantik yang sedang tersenyum itu, senyum yang sudah sangat lama tak ia lihat. Senyum yang ternyata ia rindukan.

Dulu, selama bertahun-tahun, perempuan itu satu-satunya yang selalu memenuhi pikirannya. Perempuan yang selalu ingin ia lihat senyumnya. Perempuan yang menjadi alasan ia bangun setiap harinya.

Angga membalas senyum itu dan menghampiri Indira yang juga melangkah maju mendekatinya. Laki-laki itu lalu merentangkan tangannya dan membawa Indira ke dalam pelukannya.

"Dira... lo kok bisa ada di sini?" tanya Angga tak percaya setelah melepas pelukannya.

"Kenapa? Lo nggak suka gue datang, yah?" gerutu Indira kesal.

Gerutuan perempuan itu Angga balas dengan kekehan pelan. "Bukan gitu, gue nggak nyangka aja lo datang. Lo tahu dari mana gue di sini?" Angga lalu membimbing Indira untuk duduk di salah satu bangku di kafenya.

"Dari ibu. Lo nggak pernah ada kabarnya, sih, Ga. Betah, yah, jadi anak perantauan? Udah sukses gini nggak bilang-bilang, ish, jahat," dumel Indira seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe.

Angga tergelak mendengar jawaban perempuan itu, "Bukan gitu, eh. Oh, tunggu. Hidup lo makmur yah, Ra?" Laki-laki itu merentangkan tangan pada kedua bahu Indira dan kembali memperhatikan perempuan itu.

"Maksud lo? Makmur-" Indira menggantung ucapannya, ikut tergelak.

"Lo gemukan. Lo makan tiap hari berapa kali, sih?" Angga merasakan perempuan di depannya terlihat lebih berisi dibandingkan terakhir kali mereka bertemu.

"You look so shiny. Ah, you're happy, aren't you?" tebak Angga melihat hari ini Indira terlihat begitu memukau dengan wajah cantiknya yang terlihat berseri-seri.

Indira tersenyum kecil menanggapi perkataan Angga, "Lo bilang tadi gue gemukan? Lo nggak tahu yah, sampai beberapa bulan ke depan gue makan bukan buat sendiri doang, tapi buat berdua."

Angga mengernyitkan kening tak mengerti maksud perkataan Indira, membuat perempuan itu berdecak pelan. "Angga Wiratmadja, sebentar lagi lo bakal jadi om-om."

Jawaban Indira membuat Angga melotot, "Lo hamil, Dira?!"

"Ih, meuni molotot kitu, éta panon. Biasa atuh. Bayi gue ada bapaknya, kok," jawab Dira dengan tawa geli.

Angga menatap perut Indira lembut, merasa sangat bahagia untuk sahabat yang sangat disayanginya itu.

"Itulah, gue bilang tadi lo kelihatan bercahaya. Lo pasti bahagia sama Aidan. Dia baik, kan? Eh, terus mana suami lo?" Mata Angga menyapu sekeliling ruangan.

"Aidan lagi ada keperluan dulu. Nanti dia nyusul ke sini. Suami gue-luar biasa. Gue bahagia banget, Ga. Lo pasti bakal ngerasain hal yang sama. Lo laki-laki yang baik. Lo orang yang paling tulus yang pernah gue kenal," jawab Indira.

"Gue sangat berterima kasih atas semuanya yang udah lo kasih buat gue dulu. Gue nggak berhenti doa'in lo. Lo pasti bakal dapat kebahagiaan sama seseorang yang lo sayangi. Dan dia-perempuan itu, sangat beruntung memiliki lo," sambung Indira dengan senyum tulus.

Angga balas tersenyum dan menjawab dengan kekehan pelan, "Lo nggak bosen bilang makasih? Dira, that's what friends are for."

"Oh, lo tahu kenapa gue belum bisa pulang ke Bogor? Ra, ada yang harus gue selesain dulu di sini, sebelum terlambat dan gue bakal kehilangan lagi," sambung Angga dengan mata menerawang dan pikiran yang tiba-tiba saja melayang pada Alana, membuatnya tersadar.

"Alana!" seru Angga tanpa sengaja, matanya melirik pada jam di dinding dan mendapati sudah lebih dari 10 menit dari waktu yang ia janjikan untuk bertemu Alana di sini.

Angga menggeleng untuk menghapus dugaan tidak-tidak dari pikirannya. Dugaan bahwa Alana melihat Angga sedang bersama sahabatnya hingga membuat Alana bisa saja salah paham.

"Alana, dia-perempuan yang beruntung itu, kan? Nah, tunggu apalagi? Kejar, sana," usir Indira halus pada Angga yang bangkit berdiri dan melesat kencang keluar dari kafenya.

***

Meuni molotot kitu, éta panon. Biasa atuh. (Sampai melotot gitu, itu matanya. Biasa aja, kali) ckck

Ada yang kangen Dira? wkwk kalau masih inget itu jugak XD
Indira ngeduluin akuuu ngisiii 😭

Alana salah paham, omaiii... Anggaaa kejar terus!!! ><

Makasih udah mampiiiir, semoga tahan beberapa part lagi yaaa

Bye, see you :*

Sincerely,
SarahRS

I Love You Anyway (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang