Jangan lupa tekan vote yaa
sebelum mulai baca ^^***
"Lana! Mama bilang lo harus beresin dulu kerjaan rumah sebelum berangkat!" Ucapan adik tirinya, Cherry, membuat Alana menghentikan langkahnya menuju pintu depan.
Yeah, Cinderella does exist. Itulah yang terjadi pada Alana beberapa tahun terakhir. Sejak sang Ayah menikah lagi dengan janda beranak satu—hidupnya tidak serta merta berubah menjadi lebih baik, malah ia merasa hidupnya menjadi begitu sulit.
Bagaimana tidak, dengan sifat ibu-anak tiri yang sama persis dengan dongeng Cinderella, penindas. Tentu saja, di depan sang Ayah mereka berdua berakting seolah mematahkan pendapat orang tentang kejamnya ibu dan saudara tiri.
Selalu manis, jika di depan Ayah. Terutama adik tirinya. Dasar Cherry busuk, umpat Alana selalu dari dalam hatinya.
Alana mengangguk-mengangguk tanda mengerti, "Pulangnya aku beresin."
"Lo nggak denger? Mama bilang sekarang!" ucapnya keras.
"Kamu juga nggak denger? Aku juga bilang, nanti Cher. Aku buru-buru sekarang!" gerutu Alana mulai kesal, membuat Cherry merengut marah.
"Kenapa nggak kamu aja, Dik, yang lanjutin kerjaan rumah? Oh, nggak ngerti ya caranya gimana? Aku maklum sih, sama orang yang bahkan nggak pernah cuci pakaian dalamnya sendiri," sindir Alana, merasa sedikit puas ketika melihat wajah adik tirinya memerah.
***
"Angga! Lo masuk sana! Pusing gue, ngeliat lo mondar-mandir macam setrikaan begitu!" cetus Dimas pada Angga yang bergerak gelisah di dekat jendela.
Angga tidak menjawab, ia masih uring-uringan membuat Dimas berdecak, "Gue yang mau nembak cewek, kenapa jadi lo yang gelisah macam kambing yang mau dikurbanin gitu, sih?! Udahlah, Ga. Lo masuk, gih. Bentar lagi Lana datang. Gue nggak tega ngeliat lo merana nanti," usul Dimas dengan nada kesal.
Angga tak menghiraukan ucapan Dimas. Tak ada cukup waktu untuk itu.
"Eh, Dim. Lo tahu, kan, kemarin Lana ditindas lagi sama mantan lo? Cherry udah kelewatan. Lo sadar? Lana bakal makin ditindas lagi sama mantan lo itu kalau dia tahu lo sama Lana—" Angga tidak sanggup melanjutkan kalimatnya karena memikirkan ia akan benar-benar kehilangan kesempatan untuk mendekati Alana setelah ini.
Oh, ayolah! Dia bahkan belum pernah jujur tentang perasaannya kepada gadis yang sedang dipujanya itu.
"Ya, gue tahu. Dan gue udah nggak mau mikirin cewek agresif itu lagi. Gue jamin Alana bakal baik-baik aja sama gue," tukas Dimas tegas.
Angga mengangguk kaku lalu memutuskan untuk pergi dari kafe-nya setidaknya sampai ritual penembakan Dimas pada Alana selesai.
Tapi belum 50 meter berjalan menjauh dari kafe, langkah pemuda itu benar-benar telah terhenti. Alasan yang membuat dia berjalan-jalan sekarang ini, berada di hadapannya.
Alana. Gadis yang membuat Angga merasakan kembali indahnya kasmaran. Gadis yang padanya Angga telah jatuh hati. Benar-benar terjatuh, tak tertolong lagi.
Ada aura yang berbeda terpancar dari tubuh gadis yang disukainya itu saat ini. Aura yang membuat Angga tersenyum walaupun hatinya terancam pecah berkeping-keping.
Angga tidak mau pura-pura tidak tahu apa yang membuat Alana terlihat begitu bahagia, dengan semburat kemerahan di kedua pipinya. Sudah jelas bukan, Alana begitu bersemangat menyambut hari ini untuk Dimas.
Sebenarnya ini kesempatan terakhir untuk mengutarakan apa yang dia rasakan pada Alana, sebelum ia benar-benar kehilangan kesempatan itu. Tapi, apakah dia cukup tega menghilangkan semburat kebahagiaan dari wajah gadis itu?
"Hai, Lana. Apa kabar?" Akhirnya, pertanyaan itu yang meluncur keluar dari bibir Angga. Bibir laki-laki itu menguntai senyum tipis. Kedua matanya lalu menatap telapak tangan Alana yang masih terbalut kain kasa.
"Kain kasanya harus diganti tiap hari biar luka ditangan lo nggak lembab," sambung Angga sebelum membiarkan gadis itu menjawab.
"Iya, Kak," jawab gadis itu mantap. Kepalanya mengangguk mengerti.
"Lo keliatan—beda," kalimat itu begitu saja terucap, tanpa bisa Angga tahan lagi. Kalimat yang mengakibatkan rona di pipi gadis itu kian jelas terlihat.
Alana menunduk seraya tersenyum malu mendengar kalimat itu. Jemarinya berkali-kali memelintir ujung rambut panjangnya.
"Lo—bahagia?" bisik Angga, nyaris tanpa suara. Merasa begitu berat ketika mengucapkannya.
Tapi ia benar-benar harus mengetahui perasaan gadis itu, agar ia lebih leluasa merelakan. Ya, walaupun—sekali lagi, akan sangat sulit. Sesulit membuka kedua mata di hari senin pagi.
Senyum indah merekah di bibir gadis itu. Orang dengan mata rabun sekali pun pasti masih bisa melihat dengan jelas jika senyum itu milik seseorang yang benar-benar sedang berada di langit ke-tujuh atau—dimabuk asmara.
Angga terlalu menyadari bahwa seperti inilah rasanya ketika perasaan yang telah dipupuknya selama ini tak terbalas. Singkat kata, bertepuk sebelah tangan.
***
Angga potek sepotek2nya :'(
Siapa yang mau nemenin Angga? huhuuuMakasih udah mampir lagiii ❤
see u! ^^Sincerely,
SarahRS
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Anyway (Completed)
Conto#190 in Short Story 28112017 Angga Wiratmadja, seorang laki-laki yang ditinggal menikah oleh sahabat sekaligus gadis yang ia cintai, memutuskan untuk pindah ke kota lain lalu bertemu dengan seorang gadis bernama Alana yang mengambil alih seluruh per...