Aku sadar aku hanyalah sebutir sampah masyarakat yang bisa musnah kapan saja. Aku meyakinkan diriku untuk mati dalam keadaan seperti ini. Tanpa seorang pun akan menangisi kepergianku. Tanpa upacara pemakaman. Aku mati dengan tenang.
Malam ini bulan purnama, bulan tampak bersinar sangat cerah. Bintang-bintang bersinar seakan mengejekku, menertawakan sikap pengecutku. Aku meremas ujung pagar di balkon kamarku, tidak bisa menangis lagi. Air mataku sudah kering, tak ada setetes pun yang tersisa.
Angin tiba-tiba berhembus kencang. Awan hitam menutupi bintang-bintang di langit, hanya cahaya bulan yang terus bersinar. Aku berbalik merasakan kehadirann seseorang di belakangku. Kehadiran seorang yang sangat ku inginkan.
Naoki. Dia berdiri tidak jauh dari ku, dengan tatapan sendu di matanya, dia menatapku. Aku tidak terkeju. Aku sudah tau aku sedang bermimpi dan sebentar lagi aku akan terbangun dan menangisinya lagi. Ku coba untuk bangun kerena aku tidak mau menangis lagi. Tapi tidak bisa.
Naoki menghampiriku. Kepalanya menunduk, mensejajarkan tatapanku dengannya. "Angel, aku minta maaf, aku sangat minta maaf. Aku pria yang bodoh. Maaf"
"Maaf untuk apa?"
"Atas semua sikapku padamu, dari awal kau datang kemari aku memperlakukanmu dengan buruk. Di hari pernikahan kita, aku mengatakan hal yang seharusnya tidakku katakan. Aku menjauhimu karena aku tidak bisa... aku tidak...."
"Apa maksudmu?" aku maju selangkah, dia mundur, menghindari kontak fisik denganku.
"Aku takut melukaimu, tapi aku malah membutmu menderita. Itu sangat menyiksaku, Angel."
Aku tidak mengerti. Aku menyakinkan diriku ini kenyataan bukan mimpi karena aku dapat merasakan semuanya.
"Aku tidak mengerti, Naoki."
"Aku ini monster, Angel. Aku menjauhimu karena aku takut aku akan melukaimu."
"Tidak. Kau tidak akan. Aku percaya padamu," kucoba meraihnya.
"Kau tidak tau siapa aku, Angel. Aku berbeda dari semua saudaraku. Aku yang paling haus akan darah. Aku yang paling tidak bisa mengontrol diriku. Aku... aku telah membunuh, Angel. Aku pembunuh."
Matanya semakin gelap, dia siap untuk pergi kapan pun.
"Tapi kau tau, Angel. Setiap kali aku berusaha menjauhimu, semakin aku menderita. Ketika aku mendengarmu menangis hari itu, saat aku memukul Hiroshi. Hatiku benar-benar hancur. Aku ingin ada di sampingmu, memelukmu. Tapi aku terlalu takut. Aku takut tangan yang seharusnya melindungimu malah membunuhmu."
"Aku siap mati demi kau, Naoki."
"Itu yang ku takutkan. Aku takut kau akan mengatakan itu. Aku tidak bisa kehilangan lagi. Aku tidak bisa kehilangan orang yang ku cintai untuk kedua kalinya. Kau adalah alasanku untuk hidup, Angel."
Aku tidak tau harus mengatakan apa. Aku hancur untuknya.
"Angel, maukah kau... memulai hubungan ini dari awal lagi?" Akhirnya aku dapat meraihnya. Ku sentuh pipi kanannya dengan ujung jariku. Naoki meremas tangaku di pipinya, "Angel.."
"Tentu saya. Kita akan memulai hubungan baru, hubungan yang kau inginkan."
Naoki cepat-cepat memotong ucapanku,"Tidak. Bukan hubungan yang ku inginkan. Tapi hubungan yang kita inginkan. Angel, apa yang kau inginkan?"
Tanpa pikir panjang aku mengatakan, "Aku menginginkanmu, Naoki."
Seperti sebuah sinyal, jawabanku sangat berpengaruh. Naoki mencium bibirku lembut, tangannya menarik diriku lebih dekat, tangannya yang lain di belakang kepalaku. Ku silangkan kedua lenganku di lehernya. Ciumannya semakin dalam, kupejamkan mataku, matanya pun tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade of the Immortals [COMPLETE]
Teen FictionDiangel Gileason tak pernah menyangka hidupnya berubah begitu drastis. Undangan misterius membawanya ke sebuah mansion besar dengan desain kuno dan atmosfer menyeramkan. Di sana, ia bertemu dengan keluarga Carnegie, kumpulan pria tampan yang menyemb...