#9 Wedding

465 22 0
                                    

Hiroshi mengetuk sebentar pintu lalu masuk. Hiroshi tampak tampan sekali mengenakan tuksedo hitam berdasi dan sebuah hiasan kecil di dasinya. Dia menyuruh Naho pergi dan menghampiri ku. Merangkul tubuh ku dan sedikit memeluknya.

"Kau cantik sekali sayang~"

"Terimakasih. Kau juga terlihat tampan," kataku jujur sambil tersenyum. Dia juga tersenyum lalu melonggarkan pelukannya.

"Aku bertaruh. Kau pasti lebih terpesona pada Naoki." Dia menyeringgai ku tatap matanya. Ada sedikit khawatir di wajahnya.

Jujur saja. Selama tiga bulan terakhir aku hampir ingin mati karena bingung. Pertama aku jatuh cinta pada Naoki. Perasaan itu mulai goyah ketika Hiroshi makin dekat dengan ku apa lagi ketika dia memanggil ku 'Sayang'. Di dunia ini hanya Liliana dan Hiroshi yang memanggil ku begitu.

Aku berdiri menatap Hiroshi dan menyentuh wajahnya. Dia balas menatap ku. Lagi-lagi tatapan sedih seperti seorang ayah yang di tinggal putrinya pergi untuk hidup bersama pria yang dicintainya.

"Kau baik-baik saja?"

Dia memeluk ku dan mendesah.

"Jujur aku menyayangi mu Diangel." Suaranya parau lalu mendekap ku lebih erat.

"Kau tidak ingin aku menikah dengan Naoki?"

"Bukan begitu. Kau dan Naoki sudah di takdirkan bersama. Hanya saja aku sudah terlanjur mencintai mu." Aku mengeratkan pelukan ku padanya. Tubuhnya yang dingin terasa ke seluruh tubuh ku.

"Aku juga menyayangi mu. Aku sendiri bingung siapa pria yang lebih ku cintai. Selama ini kau selalu bersama ku. Dan perasaan itu mulai tumbuh. Tapi diri ku yang lain mencintai Naoki." Kurasakan dia melonggarkan pelukannya dan menatap ku lembut.

"Seharusnya kau mengatakan itu dari kemarin sebelum pernikahan ini. Kan kita bisa menikah kalau begitu. Kamu ini," katanya sambil menjitak pelan kepalaku.

"M-mana ku tau pernikahannya hari ini." wajah ku mulai memerah.

"Haha ha... Sudah lah itu sudah terlambat. Mereka sudah menunggu mu."

Sebuah pertanyaan terlintas di pikiranku. Apakah dia merelakan perasaannya demi saudaranya. Terutama kakaknya?

Hiroshi menggandeng ku keluar rumah menuju gereja kecil di samping rumah. Gereja yang biasa aku datangi selama di sini.

Dekorasinya terlihat sederhana tapi tetap cantik. Pita-pita satin putih menghias setiap kursi dan ada beberapa di sudut-sudut gereja. Serta karangan bunga di pintu masuk membuatnya terlihat alami. Begitu masuk dapat tercium berbagai aroma bunga yang menyatu. Rose, lilac, dan freesia.

Gerejanya cukup kecil hanya dua puluh tamu yang hadir di sini termasuk ketiga Carnegie bersaudara yang sudah duduk di barisan paling depan. Naho, pak supir dan pelayan mansion—yang sampai sekarang belum ku tau namanya duduk di sisi lain barisan pertama. Serta tamu-tamu lain yang aku tidak kenal.

Naoki terlihat di ujung altar mengenakan tuksedo putih dan dasi hitam yang agak berantakan tidak serapi yang dikatakan Hiroshi— mungkin sudah tidak betah. Rambutnya yang di biarkan acak-acakan walau hanya sedikit memperlihatkan jelas Naoki yang biasanya.

Di luar expetasi ku dia terlihat sangat sangat sangat tampan berdiri di sana. Jantung ku tak karuan melihat tatapan tanyamnya ke arah ku.

Ku lingkarkan tangan kanan ku pada Hiroshi. Kaki ku mulai gemetar tak dapat merasakan pijakan dengan benar. Napas ku mulai tak karuan ketika memasuki gereja. Tatalan seluruh tamu tertuju pada ku. Wajah ku mulai memerah.

Hiroshi berbisik padaku tanpa memalingkan pandangannya ke depan. "Tenangkan dirimu sayang. Tarik nafas dalam-dalam."

Aku mengikuti perkataannya. Namun tetap saja tidak bisa. Belum sampai di ujung altar tangan ku mulai gemetar dan kaki ku mulai lemas.

Sesampainya aku di tempat yang seharusnya. Naoki mengulukan tangan. Hiroshi meraih tanganku dan menyerahkannya pada Naoki. Lalu aku mulai ragu. Tidak ada orang tua ku di sini. Serta orang tua Naoki pun tidak ada. Seharusnya ayahnya berdiri di samping Naoki namun tidak ada orang lain selain Naoki dan pendeta di depanku.

Ku lirik Hiroshi. Dia tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Lalu kami menghadap sang pendeta. Pendeta mengatakan bagiannya. Janji suci kami sederhana seperti ribuan orang di luar sana telah mengatakannya.

Ku tunggu bagian ku lalu mengatakan "Saya bersedia." Suaraku serak tertutup suara detak jantung ku yang luar biasa keras.

Aku melirik melihat Naoki. Dia sama sekali tidak melihat ku. Pandangannya lurus ke depan. Aku terpaku melihatnya sampai tidak sadar tiba gilirannya.

"Saya bersedia." janjinya. Suaranya cukup tenang dan jelas tidak seperti ku.

Pendeta mengatakan kami sudah sah menjadi suami-istri. Naoki menatap ku kemudian menunduk. Aku membeku menatapnya nyawa ku entah pergi kemana sampai tidak sadar apa yang harus ku lakukan. Mata keemasannya tampak sayu.

Tangan dinginnya merengkuh wajah ku lembut. Ku rasakan bibirnya yang sedingin es menyentuh kening ku. Mata ku membelalak mulut ku hampir saja terbuka dan aku lupa bernapas.

Setelah kesadaran ku kembali ada sensasi aneh menyerang tubuh ku. Seperti tersenat listrik. Aku sadar itu berasal dari kecupannya yang lumayan lama.






TBC



7/13/17

Serenade of the Immortals [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang