Tepat pukul 6:35 kami berangkat sekolah. Kali ini bukan Marcedes mewah yang mengantar kami melainkan limosin hitam mengkilap super mewah.
Aku duduk di pojok paling belakang. Yang lain sibuk masing-masing. Kaede membaca buku tebal entah buku apa. Akira dan Yasuo tidak melakukan apa pun. Hiroshi sibuk dengan smart phone nya sendiri. Sedangkan Naoki asik meminum minuman dalam kotak bertuliskan 'jus delima' dengan tulisan 'SPESIAL' di tulis dengan Caps Lock di sudut— kecil.
Mataku terpana melihat keindahan makhluk ciptaan Tuhan di hadapanku ini. Rasanya kelopak mataku kaku sehingga tidak bisa berkedip bahkan mataku tak dapat melihat ke arah lain—terus tertuju padanya.
"Kedipkan mata mu itu sayang," Hiroshi berbisik aku menggeser sedikit duduk ku.
"A-apa?"
Hiroshi tak menjawab hanya membuat seringgai di wajahnya.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan laki-laki bermata keemasan di hadapanku. Sama sekali tak bersuara seperti empat saudara lainya. Hiroshi menunjukan beberapa tempat yang kami lewati sepanjang jalan menuju sekolah. Ada caffe bergaya eropa yang elegan—tidak cocok untukku. Ada juga kedai es krim yang menarik perhatianku. Dia berjanji kapan-kapan akan mengajakku makan es krim di sana. Aku bersemangat menanti hal itu.
Kami sampai di sekolah pukul tujuh tepat. Dua puluh lima menit berkendara tampa kemacetan seperti di kota lamaku. Ku pikir para lelaki tampan yang berangkat bersamaku akan menjadi pusat perhatian karena mereka bersama gadis biasa sepertiku. Tapi toh tidak terjadi apapun seperti ketampanan mereka sudah familiar di tempat ini.
Aku mengatur napas ku sebelum keluar dari mobil. Ketika mataku terfokus pada bangunan bertuliskan SMA KHUSUS PERTAMA aku agak heran. Ku pikir ini sekolah berasrama super besar. Tapi ketika aku bertanya pada Hiroshi dia bilang sekolah ini sama sekali tidak punya asrama. Tapi bangunan yang super super mewah plus luasnya hambir satu komplek perumahan ku, aku tidak yakin tidak akan tersesat di sini.
Aku bertaruh berapa ribu orang yang sekolah di sini. Seakan menjawab pertanyaanku Hiroshi menghampiri ku. Sedangkan keempat saudaranya meninggalkan dia jauh di depan.
"Hanya 546 orang yang bersekolah di sini. Jangan khawatir."
"Kau serius 546? Di sekolah sebesar ini?" 546 dan sekarang akan jadi 547.
"Yeah. Tidak semua orang bisa masuk ke sini. Hanya orang penting saja yang bisa."
"Jadi maksud mu kalian semua orang penting?"
"Tentu saja tidak. Kami bukan siapa-siapa. Yang berpengaruh ya hanya orang tua kami."
Astaga mereka yang tampak seperti malaikat bukan siapa-siapa dalam arti hanya orang biasa? Lalu aku yang terlihat sangat biasa di sebut apa di sini?
Kaki ku gemetar ketika mencari ruang tata usaha—bukan mencari lebih tepatnya mengikuti Hiroshi ke ruang tata usaha. Sesampainya di sana. Rasanya kepalaku pusing melihat semua kemewahan ini. Kemewahan ruangan ini tidak kalah dengan kamar mandi ku. Aku masih ingin melihat dan mencerna desain-desain elegan di ruangan ini tapi aku sadar aku tidak punya waktu untuk itu.
Setelah menunjukan ruangan yang ku cari Hiroshi berlalu entah ke mana. Mungkin ke kelasnya atau ke suatu tempat di sekolah super mewah ini.
"Nani ka osagashi desu ka?"
Wanita bername tag Mrs. Uchiyama memecahkan lamunanku akan ruangan ini. Suaranya agak bosan ketika melihat ku.
Aku mendongak lalu mebjawab, "Watashi wa Diangel Gileason desu."
"Aaa~ wakatta. Chotto matte kudasai."
Aku pun duduk di salah satu sofa yang dia persilahkan. Tak lama Mrs Uchiyama kembali dengan tumpukan kertas di tangannya.
Dia memberikan ku jadwal pelajaran selama semester akhir di kelas 11. Jadwal kegiatan di luar kelas. Absen yang harus di tanda tangani guru mata pelajaran. Dan selembar peta—denah sekolah yang begitu rumit.
Aku mempelajari peta yang di berikan dan mencari di mana kelasku. Sepanjang jalan aku memperhatikan ruangan-ruangan di sini sama semua. Seluruh dinding di cat dengan warna hitam dan emas untuk masing-masing pinggiran pintu dan jendela. Warna pintu yang sama di semua ruangan. Kalau saja tidak ada palang bertuliskan nama ruangan tersebut aku bisa menyimpulkan kalau selama ini aku berputar-putar di tempat yang sama.
Tapi kenyataannya tidak. Sudah satu jam aku berkeliling mencari kelas bertuliskan 'C-2' sama sekali belum ketemu. Dan bel pelajaran pertama sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Kaki ku lemas berjalan. Semangat ku hilang seketika. Kepala ku pusing melihat peta ini.
"Kau payah melihat peta!" ucap seseorang di belakang ku dan menyambar peta yang ku pegang.
"N-naoki-san?" heran.
Dia mengembalikan peta ku dan berjalan di samping ku.
"K-kau tidak masuk kelas?"
"Aku tau kau akan tersesat."
Jantung berdetak tidak karuan. Sedangkan dia berjalan cukup tenang. Seketika aku panik menyadari bahwa aku akan terlambat di hari pertamaku.
"Jangan khawatir. Tidak akan ada yang memarahi mu atau menggunjing mu. Semua siswa di sini terpalu independen. Mereka tidak akan pusing-pusing memikirkan mu."
Suaranya tenang membuat seluruh kegelisahanku hilang begitu saja.
"B-bagaimana kau tau apa yang sedang aku pikirkan?"
"Ekspresi mu itu mudah di baca. Sangat mudah."
Wahah ku merah padam. Malu. Tentu saja. Sudah berkali-kali aku tersandung sepatu pantofel ku sendiri untung saja tidak terjatuh.
Tapi kali ini kesialan menghampiri ku. Aku tersandung sepatu ku sendiri dan hampir saja wajah ku mulus mendarat di lantai kalau saja Naoki tidak memegang ku. Tangannya dingin sedingin es saat menyentuh telapak tangan ku. Tangannya yang lain memegangi pinggang ku. Di sana pun terasa dingin menjalar ke tubuh ku.
TBC
5/25/17
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade of the Immortals [COMPLETE]
Teen FictionDiangel Gileason tak pernah menyangka hidupnya berubah begitu drastis. Undangan misterius membawanya ke sebuah mansion besar dengan desain kuno dan atmosfer menyeramkan. Di sana, ia bertemu dengan keluarga Carnegie, kumpulan pria tampan yang menyemb...