3. Aneh

490 54 121
                                    

Jalanan tampak lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya. Belum ramai apalagi macet.

Maira menghentikan laju mobilnya di persimpangan saat lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. Ia mencondongkan badan, memandang langit yang kini sudah terang dari balik kemudinya. Lalu beralih melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Masih jam enam," gumamnya sambil menyandarkan punggungnya di bangku kemudi. Merilekskan tubuhnya barang sejenak.

Maira menolehkan pandangan sekilas saat sepeda motor scoopy berwarna hitam putih berhenti di sisi kanan mobilnya. "Si gendut!" Maira mendengkus sembari mengangkat bahunya tidak peduli.

Ketika lampu lalu lintas berubah hijau, ia kembali melajukan mobilnya, melewati persimpangan dan berbelok ke kanan, memasuki gerbang sekolah Budi Mulia yang menjulang tinggi. Ia memarkirkan mobil di tempat yang telah disediakan sekolah untuk kendaraan khusus beroda empat.

Ia membuka pintu mobil dan pandangannya menyapu ke sekitar sekolah yang tampak asri. Lapangan serta halamannya luas. Taman yang ditumbuhi pepohonan, bunga-bunga serta rerumputan memanjakan indra pengelihatan juga penciuman. Tempat sampah juga tersedia di mana-mana. Bangku-bangku besi berbentuk lingkaran dan persegi panjang di segala tempat. Bersih dari sampah-sampah. Jauh dari polusi. Begitu sempurna. Begitu membanggakan.

Ia berjalan di koridor yang sepi dan panjang. Memang, Kelas-kelas untuk siswa-siswi unggulan memang lebih jauh dari kelas reguler. Hal itu disengajakan karena menurut pandangan guru, siswa-siswi dari kelas reguler itu sangat berisik. Sangat ricuh. Hanya beberapa, bisa dihitung dengan jari yang benar-benar taat terhadap peraturan. Sehingga kelas reguler ditempatkan di dekat meja guru piket. Hal itu memudahkan guru-guru untuk menegur atau mencatat nama mereka apabila melakukan keributan dan tidak disiplin.

Maira tersentak ketika bahunya ditepuk oleh seseorang. Ia menoleh ke arah belakang dan mendapati Talia yang tersenyum padanya.

"Ya ampun, Li, gue kaget! Kirain siapa, taunya elo," kata Maira tersenyum lega sambil berjalan beriringan dengan Talia.

"Tumben banget kita samaan datengnya." Talia membuka pintu kelas sambil berkata, "Biasanya 'kan, gue selalu kedulu sama lo yang kerajinan dateng pagi-pagi buta."

Maira hanya terkekeh. "Bisa aja lo!"

Maira duduk di bangku pertama, bertepatan di samping Talia. Ia mengeluarkan ponsel dari saku almamater dan menilik aplikasi sosial medianya. Seperti biasa, tak pernah jenuh dan tak berkesudahan, lagi-lagi nama cowok itu tertera di layar ponselnya kala ia membuka aplikasi Line.

Kemarin

Bagas:
Hai cantikkuuu😊

Bagas:
Gimana sama lagu yang aku nyanyikan tadi? Kamu suka gak?

Bagas:
Btw, lagu itu sesuai banget sama aku😁hehe

Bagas:
Soreeeee😊

Bagas:
My princess, lagi ngapain?

Bagas:
Kamu udah makan? Udah mandi?

Bagas:
Kalo belum, maksudnya mau mandi bareng😁😳

Bagas:
Eh, gak deng. Aku becanda. Entaran aja mandi bareng kalo kita udah nikah😚

Hari ini

Bagas:
Kamu udah bobok yaaa😄

Bagas:
Okelah princess, good night. Semoga di alam mimpi, kita berdua bisa ketemu😁

Bagas:
Harapannya sih nggak cuma di alam mimpi, tapi juga di pelaminan😉😂wkwkw

Bagas:
Pagi cantikkuuuuuuuu😊

Maira menutup ponselnya tanpa menambahkan pertemanan seperti hari-hari yang lalu. Selalu begitu. Sejak pertama kali Bagas mengirimkan chat padanya, ia sama sekali tidak berniat untuk menambahkan pertemanan pada kontak Bagas. Tak jarang, bahkan terlampau sering, ia mengabaikan chat Bagas, melewatkannya begitu saja atau paling tidak, kalau ia sempat, ia hanya akan membacanya, sama sekali tidak ada sedikit pun niat untuk membalas.

Bel berbunyi, buru-buru ia meletakkan kembali ponselnya dalam almamater saat guru matematika masuk ke dalam kelas. Mengeluarkan buku matematika dan duduk dengan tegak, siap menerima pembelajaran hari ini.

Ketika di tengah materi peluang berlangsung, Maira merasa bahwa ia butuh ke kamar mandi.

Ia keluar dari kelas setelah meminta izin pada guru matematika. Ia menyusuri koridor sekolah. Saat di tengah jalan, tak sengaja, indra pendengarannya menangkap suara pria paruh baya yang menggema seantero sekolah.

"Sudah telat, masih menjawab. Tidak ada sopan santun. Berdiri dengan tegak!"

Maira menoleh sejenak sebelum ia masuk ke kamar mandi. Di sana, tepatnya di lapangan, ia melihat tiga laki-laki yang sedang berdiri seraya menghormat ke arah bendera merah putih.

Tak lama, Maira keluar dari kamar mandi sembari merapikan almamaternya. Kembali, suara pria paruh baya itu membahana seantero sekolah, membuat ia kembali melihat ke arah lapangan.

"Jangan ada yang ketawa! Tidak ada yang lucu!"

Ia mengerutkan kening ketika ia memerhatikan lekat ketiga cowok yang saat ini sedang dihukum oleh Pak Waton. Siapa lagi kalau bukan Genta, Bagas, dan Fareed. Tiga cowok yang sering dibicarakan oleh guru-guru karena selalu menjadi biang masalah.

Ia alihkan pandangan ke depan, melipat tangan di depan dada sembari melangkahkan kaki. Dalam benaknya, berkelebat kejadian tadi pagi membuat keanehan itu terlihat jelas. Ia masih ingat betul kalau cowok berambut hitam keriting itu datang ke sekolah pagi-pagi sekali, sama seperti dirinya. Namun, mengapa cowok itu bisa telat?

Maira menghela napas dan menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikirannya seputar laki-laki yang dianggapnya tidak penting itu. Yah, untuk apa pula memikirkan sesuatu hal yang tidak penting? Ia semakin mempercepat langkah kakinya agar bisa sampai di kelas dengan cepat. Sayup-sayup, ia mendengar namanya disebut sebelum ia sempat membuka pintu kelas.

"Eh... ya ampun, ada Maira! Kekasih hatiku! Belahan jiwaku! Belahan dadaku!"

"Nggak sekalian lo bilang belahan pantat?"

"Bagas, Genta, konsentrasi! Atau hukuman kalian mau ditambah?"

"Siap, laksanakan!"

Maira menutup pintu kelas, meredam suara-suara ribut di luar kelas. Lalu berjalan kembali ke tempat duduknya. Ia menatap Talia. "Ada tugas, Li?"

Talia mengalihkan tatapannya dari buku yang ada di depannya, lalu ke arah Maira. "Iya, halaman sepuluh dari nomor satu sampe dua puluh. Dibuat jalannya."

Cindy dari belakang, menepuk bahunya. "Ra, biasa, ya," ujar cewek itu sambil cengengesan.

"Tau lo nyontek aja deh, Cin. Kerjain sendiri!" Billy menyahuti perkataan Cindy sambil menoyor kepalanya.

"Kalo pelajaran matematika, gue nyerah, Bil. Nggak kuat gue." Sedetik kemudian, Cindy mendelik ke arah Billy. "Kayak lo enggak aja deh, Bil," katanya dengan sewot.

"Seenggaknya gue masih mau berusaha."

"Usaha apaan lo? Cuma nulis soalnya doang."

"Tetap aja. Masih ada usaha. Daripada lo, soal pun nggak tau, asal nyalin aja."

Cindy tergelak keras-keras sambil mencolek pipi Billy, gemas. "Tau aja deh lo!"

"Cindy... Billy... kerjakan tugas kalian! Jangan membuat keributan!"

Maira menggelengkan kepala melihat tingkah kedua temannya yang saat ini hanya bisa terkekeh sambil menyikut lengan, saling menuduh satu sama lain. Benar-benar tipikal Cindy dan Billy. Selalu ricuh. Tidak peduli dalam keadaan apa pun.

***

[17 Desember 2017] - [22 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang