15. Kabar Mengejutkan

236 27 17
                                    

Maira membawa tumpukan kertas double polio—remedial kimia—ke kantor guru. Pembicaraan guru-guru seketika terdengar di telinganya.

"Tidak pernah berubah anak Bu Susi yang tiga itu. Pusing saya meletakkan nilai mereka kalau sudah begini," kata Bu Ilma melihat buku absensi seraya memijat dahinya. Sementara Bu Susi—wali kelas—hanya bisa tersenyum.

"Nilai ujian dua puluh, tidak pernah mengumpul PR apalagi catatan, suka bolos pelajaran, sering telat, selalu membuat ribut di kelas, atribut seragam tidak lengkap," Bu Mona menyebutkan keburukan siswanya itu, menyahuti perkataan Bu Ilma. "Masih mending Fareed dan Genta yang tidak pernah telat saat saya mengajar, tapi Bagas, memang benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi," katanya lagi membuat Maira paham ke mana arah pembicaraan guru-gurunya itu.

"Belum lagi pernah ketangkapan pak Waton menonton film dewasa di kamar mandi." Guru olahraga ikut menimpali.

"Lihatlah, bagaimana saya bisa dengan mudah memberi mereka nilai di atas kkm kalau mereka saja tidak pernah berusaha memperbaiki kesalahan, malah semakin menjadi-jadi," kata Bu Ilma lagi.

"Gampang, Bu. Tinggal beri saja nilai di bawah kkm. Selesai." Bu Mona menyahut dengan santai.

Bu Susi akhirnya membuka suara. "Saya akan berusaha memperingati mereka lagi."

"Skor hukuman mereka sudah banyak, seharusnya kasus ini bisa segera diproses pak Waton. Kalau mereka sudah tidak ada 'kan, kelas jadi tentram dan guru-guru pun lebih leluasa menerangkan materi. Juga siswa-siswi bisa memahami materi dengan baik."

Tumpukan kertas itu terjatuh saat Maira merapikannya sesuai abjad. Entah mengapa percakpan guru-gurunya begitu memengaruhinya. Tidak. Maira tidak boleh begini. Ia berjongkok, memungut satu per satu kertas yang berserakan di lantai sambil berusaha fokus hanya pada tugas yang diberikan Pak Ahyar padanya. Setelah kertas-kertas itu terkumpul, ia merapikannya di meja.

"Tunggu dulu, Bu." Bu Susi kembali berbicara dan sialnya masih bisa didengar oleh Maira. "Saya akan berbicara lagi pada Bagas dan teman-temannya."

Seketika Maira melirik ke arah Bu Susi ketika mendengar perkataan gurunya tersebut. Ia lihat, Bu Susi beranjak dari duduknya dan mengambil tas di atas meja, lantas berlalu dari ruangan guru.

"Sudah?" Pak Ahyar menghampiri Maira dengan membawa laptop di tangan kanan dan tangan kiri tumpukan buku catatan. "Baiklah, terima kasih Maira," tutur Pak Ahyar pada Maira ketika meletakkan tumpukan kertas tersebut dengan apik di atas meja.

"Iya, Pak." Maira menunduk lantas berjalan menuju kelasnya. Tidak mau mendengar lebih banyak percakapan guru-guru itu, ia mempercepat langkah.

***

"Gimana saya bisa ngejawab soal ujian itu kalo setiap hari bu Mona selalu nyuruh saya keluar dari kelas?" bela Bagas ketika Bu Susi memberikan ceramahnya pada Bagas dan teman-temannya.

"Bu Mona kayak gitu karna kamu tidak disiplin, Bagas."

"Enggaklah, Bu. Itu lebay namanya. Buktinya Bu Ilma aja nggak kayak gitu. Bu Susi juga nggak kayak gitu."

"Semua guru berbeda, Bagas."

Bagas meletakkan tangannya di atas meja, kemudian menaikturunkannya sehingga menimbulkan bunyi. "Ya udah kalo gitu, suruh dia jangan beda dari yang lain."

Bu Susi menghela napas. Dengan sabar, ia kembali memberikan wejangan pada murid-muridnya, walaupun Bagas selalu menjawabnya. Selalu ada saja penyangkalan darinya untuk membela diri.

Kendati seperti itu, Bu Susi hanya menyikapi dengan bersabar. Bu Susi hanya ingin membimbing dan mendidik murid-muridnya seperti anaknya sendiri. Tak pernah sekalipun ia marah saat sedang memberikan nasihat pada murid yang dibinanya itu.

"Jangan, Bu," kata Bagas ketika Bu Susi berbicara perihal skor hukuman terkait dengan dikeluarkan dari sekolah. "Entar kasian orang-orang yang rindu sama saya. Soalnya rindu itu sakit kalo hanya sepihak."

"Itu fitnah kalau ada yang rindu sama kamu. Orang jelek, gendut, keriting kayak kamu kok dirindukan," kelakar Bu Susi yang mengundang tawa dari teman sekelas Bagas.

"Saya ganteng kok," kata Bagas tidak mau kalah.

"Kata mama kamu?" tebak Bu Susi.

"Bukan," kata Bagas dengan tersenyum lebar. "Kata saya sendiri...."

***

Maira menghela napas ketika lagi-lagi ia menjadi sorotan. Bagus kalau sorotan itu dalam hal yang membanggakan, ini malah sebaliknya.

Sudah beberapa jam yang lalu, sejak guru bahasa Indonesia masuk ke dalam kelas, Maira menjadi sorotan. Hal ini dikarenakan gurunya itu membahas perkara nilai Bagas yang rendah dan menyambung padanya yang disukai Bagas. Saat-saat seperti ini, yang bisa Maira lakukan hanya menutup wajahnya dengan buku, malu.

Mungkin, hal ini sudah biasa dalam hal banding-membandingkan. Namun, karena Maira juga terseret akibat Bagas, hal itu menjadi berbeda.

"Maira," panggil gurunya setelah dua orang teman sekelasnya mengumpulkan selembar kertas remedial. "Berikan buku ini pada Bagas dan teman-temannya. Bilang saja ini amanah Bu Yuni, mereka pasti mengerti. Mungkin kalau kamu yang berbicara, dia dan temannya itu akan segera menyelesaikannya," kata wanita paruh baya itu sambil tersenyum.

"Baik, Bu," sahutnya menghela napas, tidak bisa menolak permintaan Bu Yuni. Ia mengajak Talia untuk menemaninya ke kelas Bagas.

Maira memandang Talia yang berada di samping kanannya saat mereka sudah sampai di depan kelas Bagas. "Lo aja deh yang ngasi nih buku." Maira berkata sambil menyodorkan buku bersampul cokelat itu pada Talia. "Gue males banget ketemu dia."

Talia meletakkan tangan di depan perut. "Amanah, Ra. Lo harus ngasih ke dia langsung."

Maira berdecak sambil memutar bola mata dan menghela napas. Ia beringsut, lalu mengetuk pintu kayu berwarna cokelat di depannya. Kakinya berderap masuk ke kelas ketika Bu Susi mempersilakannya masuk.

"Oh, ini, Gas...."

"Jadi cewek ini yang lo ceritain tadi...."

"Oh, jadi ini yang namanya Maira itu...."

"Selera lo boleh juga ya, Gas...."

Seketika kelas Bagas ricuh. Saling sahut-menyahut perkataan teman sekelasnya. Ada juga yang hanya tertawa.

Sementara cowok yang dibicarakan hanya tersenyum dengan mulut ternganga. Tangannya menopang dagu di atas meja, memandang ke arah Maira lekat-lekat.

Ia berdehem pelan. Memperbaiki posisinya. Lantas berdiri, menegapkan badan saat Maira berjalan ke arahnya. "Woi, diem! Bidadari cantik mau nembak gue nih."

"Perasaan," gumam Bu Susi dengan gelengan kepala.

Bagas yang masih mendengar, menyahuti Bu Susi, "Bu Susi nggak boleh iri, Bu. Udah pernah juga 'kan waktu muda."

Ia beralih menatap Maira yang sudah berdiri di samping mejanya. "Iya, ada apa Maira sayang?" Lalu menggosok-gosok tangannya. "Jangan nembak sekarang, ya. Soalnya amal pahala belum banyak," katanya terkekeh.

"Nih, gue cuma mau ngasih ini," kata Maira dengan memberikan buku bersampul cokelat.

"Oh, ini pengeluaran uang belanja perbulan, ya?" celetuknya yang membuat teman-temannya tergelak.

"Amanah dari Bu Yuni," tukas Maira segera bergegas keluar kelas. Tidak ingin berlama-lama di kelas cowok itu.

"Makasih ya, Maira," teriak Bagas pada Maira.

Maira menutup pintu setelah menyalami Bu Susi. "Sial!" desisnya.

"Kenapa, Ra?" tanya Talia dengan kerutan di dahinya.

Maira melihat Talia, lantas menggelengkan kepala, mengubah raut wajahnya dengan senyuman tipis. "Nggak. Nggak pa-pa kok," katanya sambil melanjutkan langkah menuju kelas mereka.

***

[29 Desember 2017] - [30 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang