27. Tekad

215 25 11
                                    

Seiring berjalannya waktu, Maira mendengar dari guru-guru atau siapa pun yang berbicara mengenai Bagas. Diam-diam, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap, ia lebih sering memerhatikan. Lebih sering mendengarkan tanpa bertanya. Orang-orang terkadang tidak sadar dengan memberi informasi secara suka rela tanpa tahu bahwa sebenarnya informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh sang pendengar.

Seperti saat Bu Susi mengajar di kelasnya, berbagai ejekan, tawa, pertanyaan, serta pernyataan mengenai Bagas keluar dari mulut wanita setengah baya itu.

"Cie...."

"Jadi cowok kayak gitu, Ra, tipe lo? Pantes gue nggak diterima."

"Cie Maira, makan-makannya jangan lupa, ya."

"Suruh, Ra, kalo udah jadi pacar berubah. Kali aja dia bisa berubah kayak Kim Pil Sook di drakor dream high versi laki-laki."

Begitulah sahutan yang diberikan teman-teman sekelasnya ketika Bu Susi mengatakan tentang Bagas pada Maira. Namun, Miara hanya bisa terdiam. Kadangkala, ia tersenyum tipis menanggapi perkataan gurunya itu, lalu mengangguk dan menggeleng ketika ditanya. Sekarang, perasaannya sudah berubah, tidak malu seperti dulu saat ada seseorang yang mengaitkan dirinya dengan Bagas ataupun berjalan berdua dengan cowok itu.

Di akhir jam pelajaran, Bu Susi meminta Maira untuk berbicara di luar. Ada suatu hal yang penting harus dibicarakan berdua, begitu kata wanita paruh baya itu.

Bu Susi tersenyum ketika sudah berdiri jauh dari pintu kelas dan keramaian. Tepat di sudut kelas yang lengang, Bu Susi tersenyum memastikan tidak seorang pun dapat mendengar pembicaraan yang dianggapnya sangat penting.

"Saya tidak akan berbasa-basi, jadi Maira, saya minta tolong sama kamu untuk menasihati Bagas agar menjadi murid yang disiplin. Lalu ajarkan dia sebisa yang kamu mampu mengenai pelajaran. Tolong sekali, Maira. Karena kalau tidak, Bagas akan dikeluarkan dari sekolah."

Maira mengernyit bingung. "Kenapa Bu Susi malah minta tolong sama saya? Bukannya lebih baik bilang secara langsung atau kalo nggak, bisa bilang sama Fareed dan Genta?" tanyanya masuk akal. Jelas, karena mereka berdua adalah sahabat Bagas yang notebennya sudah dekat dari dulu dengan Bagas.

"Saat ini, kepala sekolah mulai semakin memperhatikan Bagas. Jika tidak ada perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki reputasi buruknya, Bagas akan dikeluarkan dari sekolah. Tapi, orangtua Bagas tidak menyetujui itu. Saya jadi tidak tega, Maira. Mereka orang susah, jadi tolong mengertilah," terang Bu Susi tanpa menjawab pertanyaan dari Maira. Bu Susi mengambil napas, kemudian melanjutkan perkataannya. "Saya juga sudah melakukan itu. Selama dua tahun, tidak ada yang berubah. Anak itu benar-benar keras kepala karena mungkin, dia terkekang pada aturan ayahnya yang tidak mengizinkannya bermain musik dan ingin Bagas menjadi seperti kakaknya. Jadi, gimana? Kamu mau 'kan?"

Maira menghirup napas dengan rakus. Lalu membuangnya dengan cepat. Ia mengangguk sambil mengulum senyum. Menyetujui permintaan yang diberikan Bu Susi padanya. Mencerna segala informasi yang diberikan Bu Susi secara cuma, cukup menggetarkan hatinya yang selama ini tak tersentuh cowok mana pun. Bahkan Rakha sekalipun hanya dapat menyentuh dinding kekaguman, selebihnya tidak. Dan ia benar-benar tidak menyangka bahwa kemungkinan akan hidup Bagas yang tidak seperti kelihatannya, sungguh buatnya bingung. Di balik tawa dan kekonyolannya, ternyata lebih banyak kesedihan yang disimpannya sendiri.

***

Ada beberapa siswa-siswi yang diperintahkan oleh Pak Waton untuk mengikuti sosialisasi universitas dari India, tepat di perpustakaan sekolah. Kelas sebelas reguler, unggulan, dan beberapa orang perwakilan OSIS ikut serta dalam acara sosialisasi tersebut.

Ketika Maira masuk ke perpustakaan, siswa-siswi Budi Mulia sudah ramai menempati bangku di bagian sudut dekat jendela. Kemudian ia berjalan dan duduk di bangku yang mengelilingi meja berbentuk lonjong, tepat pada barisan kedua.

Perpustakaan sekolahnya memang luas. Buku-buku dan toilet terpisah dari ruangan kedap suara yang saat ini digunakan untuk sosialisasi. Jadi tidak perlu khawatir saat sosialisasi tersebut berlangsung dengan ricuh.

Maira melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menyapu ke segala penjuru. Ada yang kepalanya bergerak ke sana kemari dengan mata yang merem melek karena kantuk. Ada yang meletakkan kepala di atas meja, sudah terlelap. Ada yang menunduk, sembunyi-sembunyi bermain ponsel di bawah meja. Ada juga yang masih memerhatikan dengan mimik serius.

Suara tawa yang begitu berisik dari arah belakang membuatnya mau tak mau menolehkan pandangan. Di sana, tepat di belakangnya, Bagas sedang menunduk ke bawah kolong meja dan bertukar tempat dengan cowok berkacamata yang tadi duduk di belakang Maira.

"Hai, Maira," sapanya sambil tersenyum setelah duduk di belakang Maira. "Kamu sengaja 'kan duduk di sini biar bisa deket-deket sama aku?"

Maira mendengkus dan mengalihkan tatapan pada pemateri. Diam-diam, ia tersenyum mendengar ocehan Bagas. Ocehan yang dapat membuat orang lain tertawa, sama sekali tidak menampakkan kalau laki-laki itu sedang sedih. Lalu, ketika diberikan sesi tanya jawab, Bagas mangacungkan tangannya tinggi-tinggi.

Pemateri memberikan mic setelah mempersilakan Bagas berdiri untuk melontarkan pertanyaan. "Saya ingin bertanya, kenapa banyak orang yang bilang saya mirip Shahrukh Khan? Padahal, jelas saya lebih ganteng dari Shahrukh Khan," tanyanya dengan percaya diri.

Seketika semuanya ricuh dengan sahut-menyahut, menyambut pertanyaan Bagas yang tidak masuk akal. Sama sekali tidak masuk dalam materi yang telah dijelaskan.

"Apaan sih, kepedean banget!" gerutu Maira terkekeh pelan mendengar pertanyaan Bagas. Apalagi ketika cowok itu lagi-lagi mengacungkan tangan, hendak bertanya lagi. Sampai-sampai pemateri kewalahan menghadapi tingkah Bagas.

Setelah selesai sosialisasi—alih-alih promosi itu berakhir—Bagas menghampiri Maira, lalu berjalan di samping cewek itu. "Pelayan siap mengantarkan tuan putri ke kelas," katanya setelah Maira melirik ke arahnya.

Maira terkekeh sambil terus berjalan, membiarkan Bagas jalan di sisinya. "Kamu nanti pulang bareng siapa?" tanya cowok itu. "Pulang bareng aku aja, ya."

"Nggak usah nanya kalo ujung-ujungnya mau ngajak pulang bareng."

"Yah, 'kan formalitas supaya obrolan kita jadi lebih panjang," katanya membuat Maira tersenyun tipis. "Kamu mau ke mana? Kelas kamu 'kan di sana." Bagas mengernyit bingung sembari menunjuk arah kelas Maira.

Maira memutar tubuh hingga berhadapan dengan Bagas. "Balik gih ke kelas!"

"Kamu mau ke mana?"

"Ke kantor Pak Waton. Ada hal penting yang harus gue omongin sama Pak Waton."

Perkataan Maira membuat mata Bagas terbelalak. "Kamu ada masalah apa sampe dipanggil sama Pak Waton?"

Maira terkekeh geli melihat reaksi Bagas. "Nggak kenapa-napa." Lalu kembali berujar pada Bagas. Kali ini dengan suara yang jauh lebih lembut dari biasanya. "Balik gih ke kelas. Belajar yang bener."

"Tapi kamu—"

"Bagas. Gue nggak kenapa-napa," ujarnya memotong perkataan Bagas. Ia mengembuskan napas kasar, membenarkan perkataan Bu Susi bahwa cowok di depannya ini sungguh keras kepala. "Kalo lo nggak balik ke kelas, ya udah, gue nggak mau pulang bareng lo nanti," ancamnya, terpaksa karena cowok itu tetap bergeming dari tempatnya.

"Oke, oke, aku balik ke kelas." Akhirnya Bagas menyerah.

Cowok itu memutar tubuh menuju kelasnya. Berhasil membuat Maira mengembangkan senyumnya. Benar. Keinginan juga tekadnya tidak akan salah. Ia yakin, semuanya akan berjalan dengan lancar. Seyakin Bu Susi yang mengamanahkan permintaan itu padanya.

Setelah memastikan Bagas masuk ke kelas cowok itu, Maira bergegas ke kantor Pak Waton. Di sana, ia menjelaskan mengenai Bagas dan rencananya terkait permintaan Bu Susi.

Sekarang, ia sudah benar-benar memantapkan hatinya agar membantu Bagas. Sesulit apa pun, Maira akan meyakini hatinya untuk selalu berada di sisi Bagas, hal yang selama ini dilakukan cowok itu tanpa kenal lelah. Sebisa mungkin, ia akan membuat Bagas berubah menjadi yang lebih baik.

***

[13 Januari 2018] - [09 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang