19. Bersalah

202 29 10
                                    

Maira melambaikan tangannya pada Billy dan Cindy yang berada di dalam mobil Honda Civic abu-abu milik Billy. Senyumnya mengiringi kepergian mobil itu dari rumahnya.

Maira berjalan masuk ke rumahnya, lantas mengambil ponsel yang diletakkannya di dalam tas. Begitu sampai di kamarnya, ia mencampakkan almamater yang berada di lengan kiri juga tasnya ke atas kasur. Acuh tak acuh, Maira memutar bola matanya ketika melihat tas berwarna merah marun itu terjatuh dari atas kasur. Mengambil langkah, berbalik dan menutup pintu kamarnya.

Sambil berjalan menuju dapur, ia memeriksa notifikasi Instagram dan menerima permintaan orang-orang yang ingin mengikutinya. Lalu memberikan like juga komentar seadanya pada teman-teman yang dikenalnya.

Gadis itu meletakkan ponsel ke atas meja makan, mengambil ikat rambut di dalam saku rok, kemudian mencepol rambutnya asal. Ia beralih ke lemari pendingin dua pintu, mengambil sekotak susu berukuran besar siap saji, dan menuangkannya ke dalam gelas.

Ia duduk di kursi berwarna merah marun, lalu meneguk susu sampai setengah di tangan kanan, sementara tangan kirinya sibuk mengambil ponsel. Tangannya bergerak lincah di atas layar datar tersebut.

Setelah selesai meneguk habis, ia beranjak dari duduknya dan kembali berjalan menuju kamar. Matanya fokus menatap layar kaca datar di tangannya. Hanya sesekali ia melirik ke depan, guna melihat jalan.

Setelah menutup pintu kamar, kakinya menyenggol sesuatu yang tergeletak di lantai, membuat Maira terjatuh. "Sial!" umpatnya melihat ke arah tasnya. Kesal karena tas itu yang mengakibatkannya terjatuh, ia menendang tas tersebut. Hingga secarik kertas mencuat keluar dari dalam tas, menarik perhatiannya.

Maira mengerut kening sambil mengambil kertas itu. Seketika pikirnya berkelana pada kejadian kurang lebih delapan jam yang lalu ketika melihat kertas di tangannya.

"Luar biasa, Maira. Saya tidak akan pernah meragukan kemampuanmu. Nilai sempurna untuk murid sepertimu."

"Bagus! Almaira Yashylin Demario, murid saya yang selalu sempurna. Hampir saja saya berpikir kalau kamu berubah pikiran dalam hal mengumpulkan remedial dan tugas tambahan."

Sampai sekarang bahkan Maira masih bisa merasakan bahagia yang memeluknya erat. Ini semua berkat kertas fisika yang tidak jadi hilang. Sebab, satu masalah saja, hilangnya kertas tersebut, dapat membuat Maira goyah dan selalu kepikiran, imbasnya membuat ia tidak fokus, lalu berakibat buruk terhadap kegiatan yang diembannya.

Seolah tidak bersahabat, hatinya malah menyalahkan Maira. Rasa bersalah menelusup ke hatinya ketika pikirnya terbayang akan Bagas. Perlakuannya, kata-kata kasar nan tajamnya, sikap acuhnya, dan segala hal yang dilakukannya selama ini pada cowok itu. Bahkan tadi, Maira masih bisa mengingat dengan jelas, bahwa ia tidak mengucapkan apa pun pada Bagas saat cowok itu menyelamatkannya, lagi. Ia bergelut dengan pikirannya dan mengakui, bukan hanya sekali ia kepikiran, tapi sudah sering. Namun, egonya terlampau besar mengalahkan rasa apa pun yang hinggap. Menghalaunya hingga ia hanya menuruti ego dan masih acuh tak acuh.

Hal itu dimulai saat ujian semester ganjil. Berlarut sampai-sampai ia mengeluh pada fokusnya yang entah ke mana, kemudian menghampiri kafe yang lokasinya dikirim Bagas dari Line. Alih-alih ketenangan yang didapat setelah ia sudah menginjakkan kaki di sana, malah ego yang berujung penyesalan dirasakannya.

Maira memejamkan mata, lalu membukanya seraya melirik kertas yang berada di tangan kanannya. Gadis itu memukul pelan kepalanya sendiri dengan tangan kiri. "Dasar bodo! Bego!" umpatnya, ditujukan untuk dirinya sendiri.

Maira beralih mengambil ponselnya yang terlepas dari tangannya ketika ia terjatuh. Mencari kontak Bagas di Line dan membukanya. Tangannya berhenti di udara saat ia sudah mengetikkan kata 'maaf'. Hanya satu kata, tetapi sulitnya minta ampun untuk mengirimkannya.

Tangannya bergerak untuk menghapus, kemudian mengetikkan 'makasih', kata yang tak diucapkannya saat Bagas memberikan kertas perbaikan fisika tersebut. Juga terhadap kebaikan cowok itu yang selalu diabaikannya.

Ia mendesah kasar, lalu meletakkan begitu saja ponselnya di lantai. Mungkin lebih baik gue bilangnya besok aja waktu di sekolah, katanya dalam hati sambil menganggukkan kepala. Masih terlalu mengagungkan egonya.

Benda pipih yang tergeletak di lantai marmer putih itu bergetar berkali-kali, membuat sang empunya mengalihkan tatapan. Dengan cepat, tangannya bergerak membuka kata sandi. Layar datar itu langsung menampilkan personal chat dengan Bagas.

Bagas:
Coleeeee mailaaaa😊

Bagas:
Cieee yang langsung diread😆

Bagas:
Keliatan banget nungguin chat dari aku😱

Bagas:
😳😳😳

Bagas:
Wkwkwk

Melihat chat yang dikirimkan cowok itu padanya, sontak membuatnya mengembuskan napas kasar. Ia menutup aplikasi Line-nya, kemudian melempar ponselnya ke atas kasur. Ia menghela napas, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Barangkali dengan mandi, ia juga bisa membersihkan pikirannya dari cowok itu.

***

Bagas mengembangkan senyumnya. Walaupun hanya dibaca, tapi memberikan efek luar biasa bagi Bagas. Pasalnya laki-laki itu pikir, gadis yang disukainya sejak MOS menantikan pesan darinya. Bagaimana pula tidak senang, chat yang baru saja ia kirimkan nyatanya langsung dibaca oleh Maira, yang menandakan bahwa cewek itu telah membuka personal chat dengannya, bahkan sebelum ia mengirimkan chat.

"Senyam-senyum, kayak orang gila. Malu gue jadi sahabat lo." Genta menyahut dengan menyipitkan matanya.

"Namanya lagi kasmaran," sahut Bagas santai membuat Genta memutar bola matanya, malas.

Genta segera mengalihkan tatapan ke arah cewek bertubuh mungil yang sedang mengelap meja di samping tempat duduk mereka. "Gita...," sapanya pada cewek itu. "Sini dong! Ada yang baru nih!"

Gita yang sengaja pura-pura mengelap meja demi mendengarkan percakapan tiga sekawan itu, seketika memberikan senyum lebarnya. Tidak sia-sia pekerjaan pura-puranya ternyata. "Apa...?" Layaknya di iklan, Gita menyahut Genta dengan nada yang sama.

"Sini deh, Git! Kamu imut banget deh, pengen aku cubit." Genta memulai aksinya dengan memberikan bangku tepat di samping kirinya.

Sementara Fareed yang di sebelah kanan Genta hanya berdecak kesal. "Mulai deh lo, Gen!"

Gita terkekeh dan dengan cepat ia duduk di sisi Genta yang juga bersebelahan dengan Bagas. Cowok itu masih senyum-senyum tidak jelas. Karena sedang diberi istirahat sejenak, Bagas menggunakan kesempatan itu untuk memberi pesan pada Maira.

"Iri banget deh lo Reed. Inget, kata guru agama, iri itu tanda tak mampu!"

Bagas meletakkan ponselnya di atas meja. "Gita, nggak usah mau digodain sama si Genta. Pacaranya udah segudang, percayalah."

"Tuh 'kan mulai deh lo, Gas, nggak bisa seneng liat sahabatnya seneng dikit aja."

Dan adu mulut itu pun terjadi. Saling sahut-menyahut. Tak bisa dielakkan bahwa hal itulah yang membuat mereka bahagia, juga orang di sekitarnya, termasuk Gita yang menyaksikan itu. Senyumnya tak pernah luput dari bibirnya. Bahkan ketika ketiganya sudah berdiri di atas sana sambil membawakan beberapa lagu untuk menghibur para pengunjung.

***

[03 Januari 2018] - [02 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang