8. Masalah

286 35 20
                                    

Tangisan itu nyatanya tak berkesudahan. Berhenti sejenak hanya untuk melihat cerahnya pagi mengawali hari. Lalu kembali menetes hingga buatnya merasakan sesak yang tak pernah ada habisnya.

Kedua mata itu terpejam ketika bulir-bulir air mata luruh merebak begitu derasnya. Ia mengembuskan napas panjang seraya membuka mata dan mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia beranjak dan membuka pintu kamarnya dengan pelan. Perlahan, ia bergerak keluar dari kamar. Kaki-kaki telanjangnya yang putih menyentuh dinginnya lantai marmer berwarna putih. Ia berjalan, menuruni undakan tangga sembari memandang ke segala penjuru rumah megahnya yang kini tampak begitu berantakan.

Ia terdiam sejenak, tepat di undakan tangga kedua. Tangannya memegang erat pegangan di samping tangga. Air matanya merebak seketika. Ia pandangi lama kedua pasang paruh baya yang duduk di sofa ruang tamu. Pria paruh baya yang duduk di kepala sofa, menjadikan sandaran sofa sebagai tumpuan kepalanya yang mendongak. Mata pria itu terpejam rapat-rapat. Di hadapan pria itu, terdapat kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Maira berpaling, memandang ke arah wanita setengah baya yang memandang lurus ke depan seraya mengembuskan napas panjang berulang-ulang. Kegelisahan dan raut cemas tak dapat tersembunyi dari wajahnya.

Maira meneguk salivanya serat. Ia menunduk sejenak dan bergerak cepat masuk ke kamarnya. Ia duduk bersimpuh di samping kaki ranjang. kembali menangis. Kembali terisak. Hingga suaranya habis.

Pernah, sekali, ia bertanya mengapa ini terjadi dan menyalahkan kedua orangtuanya. Pernah, sekali, ia berteriak dan menangis di depan kedua orangtuanya. Sewaktu-waktu, ia tidak makan, mengurung diri di kamar, tidak mau mendengarkan apa pun yang menjadi alasan latar belakang masalah ini. Sewaktu-waktu, ia tertidur dengan lelap, berharap ketika ia membuka mata, semua akan kembali seperti sedia kala.

Namun, bukannya damai seperti dulu, malah masalah itu semakin memuncak, sampai-sampai mobil kesayangannya pun dijual. Sampai-sampai ia harus menahan diri untuk bersabar entah sampai kapan. Ia lelah. Lelah karena ia sama sekali belum terbiasa dan sulit untuk membiasakan diri.

Tangannya bergerak membuka tas sekolahnya dengan diiringi isakan. Diambilnya kertas yang menjadi pemberitahuan bahwa dalam dua minggu lagi, ujian semester ganjil akan segera berlangsung, dan itu mengartikan kalau semua murid Budi Mulia harus melunaskan uang sekolah sampai bulan Desember. Sementara Maira, ia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan masalah yang membelenggunya saat ini. Sebab, ia belum bayar uang sekolah dari bulan Agustus.

Getaran yang berasal dari ponselnya membuat Maira mengalihkan perhatiannya pada benda pipih tersebut. Ada notifikasi Line yang masuk. Ia buka dan ia melihat seseorang menyebutnya dalam grup ciwi-ciwi yang dibuat oleh Cindy sejak mereka SMP.

Ciwi-ciwi (4)

Cindy:
Jadi gimana nih? Jadi gak kita besok shopping?

Talia:
Gue terserah

Billy:
Gue gak bisa. Sepupu gue di medan ada yang nikah, jadinya gue ikut ke sana

Cindy:
Lah, jadi lo besok gak skolah?

Billy:
Ya enggaklah haha

Cindy:
Dasar. Nikahan aja ikut😒

Billy:
Males banget gue di rumah sendirian. Mending ikut

Cindy:
@Almaira

Billy:
Kamis depan gue balik ke Jakarta

Almaira:
Gue gak bisa

Cindy:
Kenapa? Biasanya lo paling cpt deh kalo udh shopping

Cindy:
Kita kan kangen juga sama traktiran lo Ra wkwk

Talia:
(2)

Billy:
Gue juga kangen sama traktiran Talia

Cindy:
Apalah gue yang ga pernah neraktirin kalian😖

Billy:
Jijik gue liat lo @Cindy

Talia:
Ya udah kalo gitu, fix kita gak jadi belanja bsk

Talia:
Gak enak kalo cuma berdua

Cindy:
Is padahal gue pengen beli kado buat doi

Billy:
Yaudh ya. Gue mau maskeran dulu wkwkw

Maira menutup ponselnya dan melemparkannya begitu saja ke lantai. Ia menghela napas dan pikirnya berkelebat menyelami hari-hari yang telah berlalu. Di mana ia masih bisa menggunakan uangnya dengan baik. Masih bisa terlena dengan uang yang harusnya dibayar untuk sekolah, malah digunakannya untuk berbelanja. Selalu saja ada hal yang membuat Maira merasa kurang hingga melupakan hal kecil yang kini berdampak besar.

Ia mengembuskan napas panjang. Tangannya memeluk kedua kakinya. Ia letakkan keningnya di atas lutut. Matanya terpejam seiring napasnya yang perlahan berembus teratur. Dengan masih mengenakan seragam sekolah, ia tertidur begitu lelap. Dalam tidurnya, masih ada secercah harapan tentang sebuah keajaiban bahwa hari esok akan berubah seperti sedia kala.

***

Gairah, semangat, energi, bahkan gelora untuk belajar seakan lenyap begitu saja. Akhir-akhir ini, Maira tidak menemukan hal itu pada dirinya kala ia berusaha memfokuskan diri terhadap belajarnya.

Ketika bel istirahat berbunyi, ia memilih untuk ke taman dan duduk merenung di sana. Menolak ajakan Cindy dan Talia yang hendak ke kantin.

Tanpa ia sadari, ada seseorang yang memandanginya dari kejauhan. Orang itu, Bagas, duduk di belakang Maira, memandangi punggung cewek itu lekat-lekat. Di tangan samping kiri cewek itu, ada secarik kertas yang teremas hingga tak berbentuk. Bagas tidak tahu apa isi secarik kertas tersebut. Namun, yang pasti, kemungkinan kertas itu ada hubungannya mengapa Maira berada di sini.

"Aku nggak tau sebenernya kamu ada masalah apa. Tapi yang pasti, Maira, liat aku sekali-kali."

Seketika Maira mendongak dan berbalik. Dapat ia lihat, Bagas tersenyum padanya. Maira kembali menatap ke arah depan. Ia mengusap kasar wajahnya akibat air matanya yang berlomba-lomba agar segera diluruhkan.

Sementara Bagas, ia segera beranjak dan duduk tepat di hadapan Maira dengan membawa headphone dan dua bungkus roti. "Aku sayang sama kamu. Jadi, apa pun masalah yang sedang kamu hadapi, aku siap ngebantu kamu," katanya seraya meletakkan dua bungkus roti di atas tempat duduknya.

"Lo nggak tau apa-apa. Pergi dan jangan temuin gue! Gue butuh sendirian buat mikirin ini semua!" kata Maira dengan keras. "Gue nggak butuh lo!" tegasnya membuang pandangan dari Bagas.

Bagas yang melihat itu, tersenyum. Kalau Maira tidak bisa memberitahunya, mungkin ia akan mencari tahu. Segera.

Sedetik kemudian, ia bergerak mendekati Maira. Memasangkan headphone di kedua telinga Maira. Kemudian, mengambil sebungkus roti dan meletakkannya di samping cewek itu. "Makan! Entar sakit, aku juga yang repot," kata Bagas. Ia menegakkan tubuh dan membuka sebungkus roti lain yang berada di atas bangku besi berbentuk persegi panjang. Sambil makan roti, ia berjalan keluar taman.

Sedangkan Maira, ia mengerutkan dahi dalam-dalam. Pasalnya, ia tidak mengerti apa yang diucapkan cowok itu padanya. "Apaan sih! Deres banget lagi volumenya. Dasar gila!" umpatnya melepas headphone juga walkman milik Bagas. Ia melemparkan segala pemberian cowok itu ke tempat sampah. Jangan menyalahkannya. Bukankah sudah dikatakannya tadi, ia tidak membutuhkan cowok itu dan segala yang berkaitan dengannya? Mengapa masih bersikeras?

Maira mengembuskan napas panjang. Menenangkan diri, lalu melanjutkan langkah menuju kelasnya. Bersikap seolah tidak ada masalah yang membelenggunya. Seolah ia baik-baik saja.

***

[22 Desember 2017] - [26 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang