Ketika hasil ujian semester genap keluar secara bertahap, Bagas merasakan bahwa semuanya sia-sia. Percuma saja upaya Maira untuk mengajarinya. Ujung-ujungnya, ia akan dimarahi juga oleh ayahnya saat tahu nilainya hanya naik sedikit. Pasti. Bagas bisa meyakini itu.
Tidak seperti dulu, karena sekarang, ia akan dengan senang hati menerima tugas yang diberikan oleh guru untuk remedial. Tentu, itu semua karena Maira. Cewek itu berhasil membuatnya berubah.
"Nad, liat dong! Masa sama temen sendiri, lo nggak mau ngasih." Bagas berujar dengan mimik memelas pada seorang cewek, teman sekelasnya yang paling pintar. Namun, entah mengapa, cewek itu tiba-tiba saja remedial. Padahal, biasanya, ia tidak remedial, mengingat nilainya selalu tinggi. "Foto aja, Nad. Biar lo bisa langsung ngumpul."
"Tumben mau ngerjain. Kesambet setan apa lo?" Cewek itu mengambil ponsel Bagas, lalu memotret lembaran yang sudah penuh jawaban di atas mejanya. Meski pintar, cewek itu tidak pernah pelit memberi jawaban ataupun mengajari teman-temannya yang sedang kesusahan.
"Cinta bisa buat kita melakukan apa pun demi orang yang kita sayangi. Termasuk ini."
"Serah lo deh," kata cewek itu kemudian mengembalikan ponsel pada Bagas. "Nih!"
"Ye... makanya Nad, cepet-cepet cari jodoh, jangan betah sama jomblo karatan lo. Jadi nggak tau apa-apa 'kan tentang nikmatnya dunia percintaan."
Cewek yang bernama Nadia itu mendengkus. "Dasar! Udah dikasi jawaban bukannya bilang makasih malah ngejekin gue," gerutu cewek itu.
Bagas tergelak. "Makasih ya, Nadia. Sering-sering aja kayak gini. Ntar gue cariin deh jodoh yang mau sama lo," katanya berjalan menuju tempat duduknya. Setelah duduk, ia menuliskan jawaban yang diberikan Nadia pada selembar kertas yang didapat dari hasil mengambil dari meja temannya.
"Ngerjain, Gas? Tumben!" Genta beralih menatap Bagas bingung.
"Udah gue kirim jawabannya dari Line. Kerjain cepet, ntar keburu sama bel istirahat lagi!"
Ketiganya mengerjakan remedial. Sesuatu yang baru dan harusnya disyukuri, namun teman-temannya malah memandang hal itu dengan keheranan.
"Bagas, ih, lo ngambil kertas gue 'kan? Balikin!"
"Udah ketulis, Mel. Masih mau lo?"
"Dasar nggak modal!"
***
Dugaan Bagas tak salah. Ketika rapor dibagikan, nilainya tetap tidak berubah. Mungkin, karena sudah dianggap buruk oleh guru-guru, sekeras apa pun usaha yang dilakukan, kebaikan itu akan tertutup oleh lingkar hitam keburukannya selama ini. Mana mau tahu kalau-kalau nilainya hanya naik sedikit.
Namun, hal itu membuat Maira mau tak mau harus melakukan sesuatu yang berarti. Harus memperjelas sesuatu yang mungkin masih buram bagi beberapa orang. Beberapa orang yang tidak mau tahu dan hanya menginginkan kemauannya terwujud. Kini, ia sudah tahu ke mana langkah kaki itu harus dipijakkan.
Dengan memantap dan meyakini hatinya, ia mengambil langkah, menghampiri Bu Susi untuk memberinya dukungan dan bentuk kerja sama. Meluruskan sesuatu yang menurutnya salah. Bukan bermaksud menyalahkan seseorang, namun caranya yang salah. Barangkali, ada setitik masa lalu atau alasan di balik itu semua, yang mungkin tidak diketahui oleh siapa pun, terkunci rapat. Maira sudah bertekad dan ia tak akan pernah menoleh ke belakang untuk mundur.
Maira menarik napas, lalu mengembuskannya secara perlahan berulang-ulang. Kemudian berderap mengetuk dan membuka pintu ruangan yang bertulis kantor BK.
"Selamat siang, Pak, maaf mengganggu." Ia segera mendudukkan diri di samping Bu Susi setelah Pak Waton mengangguk dan menyuruhnya duduk.
"Jadi dia murid yang saya bilang tempo hari, Pak," ucap Bu Susi pada Pak Waton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raksa Cinta #ODOC_TheWWG
Teen Fiction[Completed] "Aku berharap suatu saat nanti, kamu bisa nerima aku apa adanya...." -Raditya Iwan Bagaskara. Amazing cover by @gulalipink