7. Kenangan masa lalu

356 32 51
                                    

Bagas menguap ketika ia kembali memerhatikan guru matematika yang tengah menjelaskan soal-soal pembahasan untuk ujian semester ganjil. Tak ada yang dapat ia pahami. Angka-angka itu seakan membuat rambutnya semakin keriting bila ia terus memerhatikan guru yang memakai jilbab panjangnya mencapai pinggang. Maka dari itu, ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah—Bu Ilma—guru matematikanya.

Namun, saat ia sudah berada di samping Bu Ilma yang sedang menulis di papan tulis, Bu Ilma langsung tahu maksud dan tujuannya. Dengan berujar lembut yang merujuk pada nilai-nilai juga pentingnya soal yang sedang ia jelaskan, dapat membuat Bagas mengerti bahwa itu hanya alibi agar ia tidak diperbolehkan keluar kelas.

"Kalo saya kencing di celana, saya salahkan Bu Ilma karna nggak ngijini saya permisi," ujarnya kembali ke tempat duduknya yang berada di paling ujung, tepat pada barisan kelima.

Diam-diam, Genta menahan tawanya ketika melirik sekilas ke arah Bagas yang kembali duduk di sampingnya, lalu memusatkan fokusnya pada ponsel yang berada di bawah meja.

"Lo emang mau ke mana sih, Gas?" tanya Fareed memutar kepalanya ke belakang, dari bahu kiri memandang Bagas.

"Ke mana aja, yang penting ngilangin bosen. Bisa gila gue merhatiin selama tiga jam pelajaran matematika."

"Gue juga bosen sih," sahut Genta masih memerhatikan layar ponselnya. "Tapi gue tau waktu buat keluar dari kelas ini."

Bagas mengisyaratkan Fareed sambil melirik Genta. Fareed tersenyum tipis dan menganggukkan kepala setelah mengerti maksud Bagas. Sedetik kemudian, tangan Bagas mengambil ponsel Genta, dan berlari ke belakang kelas. Sementara Fareed dengan sigap menghalangi Genta yang hendak mengejar Bagas. Kekuatan Genta yang tidak sebanding dengan Fareed, kendati cowok itu lebih tinggi dari Fareed, membuat ia tidak bisa ke mana-mana selain berkata, "Gas, balikin! Nanti gue kasih deh lo sama Fareed."

"Gila, gila, Reed! Lo harus liat! Ya ampun nggak nyangka gue. Lo diem-diem di belakang kita, nggak ngasih tau kita, bener-bener kelewatan lo jadi sahabat." Bagas menggeleng-geleng sembari terus berjalan mundur tak tentu arah hingga ia menabrak tempat duduk seorang cowok berkacamata yang tengah serius mencatat.

Hal itu sontak membuat ricuh. Mengundang perhatian dari teman-teman sekelasnya. Mulai dari yang tengah fokus memerhatikan guru, mencatat, mencuri-curi waktu untuk bermain ponsel, yang diam-diam tertidur pun jadi terbangun. Semua mata memandang ke arah Bagas, Genta, juga Fareed. Termasuk Bu Ilma yang kini memandang Bagas seraya menghela napas.

Bagas yang merasa diperhatikan dan tidak lagi mendengar suara Bu Ilma, melirik ke sekeliling kelasnya. Lalu ia tersenyum pada Bu Ilma yang memandanginya. "Bu Ilma kenapa ngeliatin saya? Ini juga teman-teman ngeliatin saya. Hati-hati loh, entar susah move on kalo udah jatuh cinta sama saya."

Seketika teman-teman sekelasnya memutar bola mata melihat kelakuan Bagas yang sangat mengganggu, ada juga sebagian yang tertawa mendengar penuturan Bagas, dan sebagian lagi memilih untuk melanjutkan kegiatan mereka. Berusaha tidak memedulikan cowok yang sering membuat masalah di kelas.

"Bagas, duduk! Saya tidak mau marah-marah." Bu Ilma duduk di bangkunya seraya mengusap perutnya yang menonjol.

Bagas mengangguk-anggukkan kepala. "Oke, Ibu Guru!"

Ia duduk di bangkunya dan memberikan ponsel pada Genta yang sudah bersikap seperti sedia kala. "Lo kalo nengok begituan kira-kira. Sempet bu Ilma ngeliat dan dilaporin ke pak Waton, abis lo disidang."

"Abisnya gue bosen." Genta mematikan benda pipih tersebut dan memasukkannya ke saku celana sekolah.

Bagas mengembangkan senyumnya sembari menaikkan alisnya berulang-ulang. "Gen, gue punya ide."

"Apaan emang?"

"Lo coba ngomong sama bu Ilma, terus terserah lo pake cara apa ngerayu dia biar kita bisa keluar dari neraka versi dunia ini. Gue yakin dia bakalan ngebiarin kita keluar, kayak waktu kita kelas sepuluh."

***

"Udah gue bilang 'kan bakalan berhasil." Bagas tak henti-hentinya tertawa di sepanjang koridor.

"Jadi kita beneran cabut?" tanya Genta setelah sampai di belakang gedung sekolah. Cowok jangkung itu memandang ngeri tembok yang menjulang tinggi di hadapannya. "Kayaknya ini udah kelewatan deh, Gaes. Balik aja yuk! Ke mana gitu, yang penting jangan manjat."

Perkataan Genta sontak mengundang tawa Bagas dan Fareed. "Goblok!" Bagas duduk menyandari tembok. "Nggak akan kuat temboknya kalo gue naikin, Genta bego."

Fareed mengikuti Bagas. Kemudian Genta terkekeh dan duduk di samping kiri Bagas.

"Jadi beberapa hari yang lalu, gue nggak inget tepatnya kapan, waktu gue selamat dari hukuman pak Waton karna telat, gue ngelempar tas kemari." Bagas berkata setelah beberapa saat yang lalu dilanda keheningan. "Tapi percuma, ujung-ujungnya gue tetap dihukum."

Keheningan menyusul. Tatapan mereka berada pada satu titik yang sama. Semilir angin menemani kesunyian yang mereka ciptakan.

Kejadian ini mengingatkan Bagas kembali pada peristiwa setahun empat bulan yang lalu. Kejadian di mana ia pertama kali bertemu dengan Maira. Di tembok ini dengan semilir angin yang sama. Perjumpaan yang membawanya jatuh ke dalam cinta untuk pertama kali.

Waktu itu, di hari kedua MOS, ia kembali datang terlambat, hanya saja, pada saat itu, ia mengambil tas di belakang gedung sekolah, dan ketika ia berbalik menyandang tasnya, seorang cewek berdiri sambil melihat ke arahnya dengan dahi berkerut.

Keduanya bergeming di tempat masing-masing dalam waktu yang cukup lama. Cewek itu seolah menarik diri Bagas hingga buatnya masuk ke dalam netra berwarna cokelat terang di depannya. Sampai pelantang suara membahana seantero sekolah, membuat cewek itu tersadar dan bergegas pergi tanpa sepatah kata pun yang terucap.

Saat itu, Bagas tersenyum lebar memandang punggung cewek itu. Seolah ia menemukan titik di mana ia bisa menemukan alasan untuknya kembali bersemangat. Untuknya menemukan pijakan dan titik terang ketika ia merasa kegelapan menelannya hidup-hidup di lautan manusia. Ia tersenyum, mengambil langkah, bersiap untuk memperjuangkan.

Setiap hari, ia menemukan kebahagiaan, meski ia harus ditolak berkali-kali. Meski diabaikan berkali-kali. Ia masih sanggup menahan dan terus memperjuangkan. Sebab, bagi Bagas, hanya dengan melihat gadis itu, ia merasakan kebahagiaan memeluknya erat-erat. Entah hanya dengan melihatnya di kelas, di halaman sekolah, di kantin, di tempat perbelanjaan dengan teman-temannya, di mana pun ia bertemu dengan gadis itu.

Hanya memikirkan Maira, membuatnya senyum-senyum tidak jelas. Hal itu sontak membuat Genta serta Fareed merasa heran. Pasalnya bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Namun, bukannya segera beranjak untuk pulang, cowok itu malah senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Fareed menghitung dengan jarinya melirik ke arah Genta, lalu mereka berteriak di telinga Bagas. "Pulang, woi!"

Bagas terkesiap mengusap telinga kanan dan kirinya, lantas ia beranjak dan mengejar kedua temannya yang kini sudah berlari menuju kelas. Tak usah mengharap akan membalas mereka, karena Bagas tahu diri, sekuat apa pun ia berlari, ia tak akan bisa mengalahkan kedua temannya.

***

[21 Desember 2017] - [25 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang