Sejak Maira memutuskan untuk menerima amanah dari Bu Susi, gadis itu menjadi lebih banyak waktu untuk bertemu dengan Bagas. Dengan begitu, perlahan tapi pasti, Maira bisa sedikit demi sedikit membuat Bagas berubah menjadi lebih baik. Bukan perkara mudah mengubah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Maka dari itu, bersabar dan terus mengingatkan adalah kuncinya.
Maira mengernyit. "Dasi lo mana?" tanyanya pada cowok di depannya.
"Ilang," jawab Bagas cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sedetik kemudian, matanya terbelalak memandang Maira yang sedang melepaskan dasinya. "Eh, kamu mau ngapain?"
"Buat lo," balas Maira sambil mengulurkan dasi miliknya pada Bagas.
"Jadi kamu pake apa? Entar kalo kena marah gimana?" cecar Bagas menyembunyikan tangannya di punggung, enggan menerima dasi yang diberikan Maira padanya secara suka rela. Senyuman tersungging di bibirnya. "Aku beli di koperasi aja. Kamu pake punya kamu."
Maira melipat tangannya di depan dada. "Oke. Tapi janji setelah itu, lo harus letakin dasi itu di tas setelah pulang sekolah kayak yang gue bilang tempo lalu. Jangan sampe ilang lagi! Udah keempat kalinya dasi lo ilang mulu." Matanya bergerak melihat penampilang Bagas. "Bajunya itu dimasukin!"
Bagas terkekeh. "Sengaja. Biar kamu aja yang masukin baju aku."
"Bagas!" peringat Maira dengan menyipitkan mata. Gadis itu juga mulai membiasakan diri untuk berhenti memanggil Bagas dengan sebutan gendut, seperti perkataan Talia beberapa hari yang lalu.
"Iya, iya, Maira...." Seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ibunya, Bagas menurut, berhasil membuat Maira tersenyum kecil.
Ia menghela napas. "Ya udah yuk, gue ikut lo ke koperasi buat beli dasi. Takutnya bukan beli dasi, lo malah belok ke kantin lagi."
Bagas terkekeh mendengar perkataan Maira. Melanjutkan langkah beriringan dengan cewek itu. Beberapa orang yang berpapasan mengerutkan dahi bingung. Ada beberapa yang berani melontarkan pertanyaan dan pernyataan mengenai hubungan mereka dengan sangka tak percaya. Maira memilih mengabaikan dan Bagas malah mengumbar-ngumbar hubungan mereka seolah mereka sudah pacaran. Tak tanggung-tanggung, bahkan terkadang ia juga meledek mereka karena masih betah dengan status jomlonya. Padahal, kenyataannya, dia pun masih jomlo.
***
Setiap hari Minggu, Maira akan meluangkan waktunya untuk mengajari Bagas belajar. Entah itu di ruangan indoor ataupun outdoor. Seperti saat ini, mereka memutuskan untuk belajar di taman, setelah minggu yang lalu mereka belajar di perpustakaan.
"Bagas, ini salah, harusnya jawabannya itu adalah perubahan keadaan gas suhunya selalu tetap, maka akan terjadi proses isotermik," jelas Maira memeriksa buku PR Bagas. Pasalnya, cowok itu ada PR fisika dan harus dikumpulkan esok hari. "Ini juga salah. Harusnya pake hukum Boyle-Gay Lussac."
Kemudian Maira menjelaskan dengan sesekali mengerutkan dahi, bingung dengan tulisan Bagas yang menurut Bagas seperti tulisan dokter. Terus berlanjut hingga fokus Bagas tidak lagi tertuju pada buku dan penjelasan Maira.
Bagas tersenyum. Hatinya damai melihat cewek di depannya. Ia meletakkan siku di atas sandaran bangku, lalu menopang dagu sambil tersenyum memandang Maira. Dalam hati, ia tak henti berdecak kagum. Sungguh, pemandangan indah yang tidak boleh dilewatkannya sedetik pun. Lebih indah dari pemandangan sekitar taman. Ia bersyukur. Berterima kasih pada sang pencipta yang telah menakdirkan pertemuannya dengan cewek itu sampai sekarang.
Merasa diperhatikan, cewek itu menolehkan pandangannya ke depan. Dan tatapan mereka bersirobok dalam waktu yang cukup lama. Membiarkan waktu terus berputar. Membiarkan setiap muda-mudi berlalu lalang di sekitar taman. Membiarkan segalanya berjalan semestinya.
Cewek itu lebih dulu mengalihkan tatapan ketika sadar dan kembali menekuri bukunya sembari bertanya dengan suara yang tertahan. "Lo nggak merhatiin gue ya dari tadi?"
"Merhatiin," sahut Bagas enteng, mengangkat bahu.
"Maksudnya merhatiin penjelasan gue?" ralat Maira, masih enggan menatap Bagas.
Tangan Bagas beranjak dari sandaran bangku, lantas meletakkan di atas paha. Ia menunjuk buku di tangan Maira dengan dagunya. "Kamu belum meriksa semuanya."
Maira menghela napas, lalu segera membuka lembar terakhir. Seketika keningnya bertaut. Pasalnya, cowok itu menjawab soal dengan tulisan besar-besar, memenuhi dua garis pada buku.
Gak bisa jawab. Abisnya soal terakhir ini susah. Lebih susah dari ngedapetin hati ibu guru yang cantiknya bisa ngebuyarin konsentrasi, tulis cowok itu pada soal terakhir.
Seperti yang sudah-sudah. Maira memejamkan matanya rapat-rapat, sebelum berkata dengan berusaha menahan kegusarannya. "Bagas! lo tuh bisa serius nggak sih waktu belajar?"
"Nggak bisa. 'Kan seriusnya aku udah kepake buat kamu," katanya sambil tersenyum lebar, bangga dengan jawabannya sendiri.
Maira menggeleng kepala, pasrah. Kemudian memijat kepalanya. Bagaimana mungkin kalau sudah begini ia akan berhasil membuat peringkat Bagas naik? Bahkan sewaktu memeriksa hasil jawaban Bagas, tak ada satu pun yang benar. Namun, ini sudah menjadi tanggung jawab dan risiko yang harus ia terima. Sesulit apa pun, ia akan terus mengerahkan usahanya demi Bagas. Juga demi amanah yang telah diberikan Bu Susi padanya.
"Maira, aku capek ngeliat soal-soal itu. Kayaknya kalo kita nggak segera jalan-jalan buat refreshing, otak aku bakalan meledak deh."
Senyuman Bagas terbit ketika Maira membalas perkataannya dengan mengangguk dan senyuman. "Ya udah, entar biar gue kirim aja jawaban sama pembahasannya dari Line. Pelajarin, jangan cuma ditulis doang."
Bagas mengangguk patuh. "Siap, Ibu Guru!" Setelah itu, ia berjalan menuju motornya berada, memberikan helm pada Maira, lalu melajukan motornya dengan cepat. Bagas sedikit berbangga hati karena ia tidak memiliki mobil. Sebab dengan motor, Maira menjadi dua kali lebih dekat dengannya, lebih mesra, dan lebih cepat sampai tujuan.
Seiring dengan itu, Maira terkadang memberanikan diri untuk bertanya pada Bagas mengenai keinginan, cita-cita, harapan, dan segala hal tentang cowok itu. Juga alasan yang menyebabkannya menjadi malas dalam belajar. Hingga mengakibatkan Maira bisa tahu akan ke mana membawa langkahnya memijakkan kaki.
***
Ketika diberitahukan bahwa sekolah Budi Mulia akan melaksanakan ujian semester genap, siswa-siswi berlomba-lomba agar segera menyelesaikan uang sekolah, takut-takut tak sempat, bank tutup, dan berbagai alasan yang menjadikan mereka rela kadangkala permisi dan meninggalkan pelajaran.
Lalu saat hari di mana ujian dimulai, Bagas berusaha menjawab semampunya. Semampu pengetahuannya dalam bidang pelajaran yang diujiankan. Tidak seperti biasanya karena saat ini, ia mengerjakan ujian dengan serius.
Bukan tanpa alasan. Sebab, ia tidak ingin terlalu mengecewakan Maira yang sudah susah payah mengajarinya selama ini. Setidaknya, ia harus menunjukkan kemajuan dengan nilai yang akan ia peroleh nantinya. Membuat Maira tersenyum akan kerja kerasnya yang membuahkan hasil. Bagas tersenyum membayangkannya. Membayangkan Maira yang tersenyum karenanya. Bagi Bagas, tidak ada yang lebih baik dari hal itu.
***
[14 Januari 2018] - [10 Juli 2018]
KAMU SEDANG MEMBACA
Raksa Cinta #ODOC_TheWWG
Novela Juvenil[Completed] "Aku berharap suatu saat nanti, kamu bisa nerima aku apa adanya...." -Raditya Iwan Bagaskara. Amazing cover by @gulalipink