23. Kecarian

223 30 9
                                    

Adakalanya seseorang mulai lelah dengan sesuatu yang secara paksa dilakukannya demi membuat orang lain bahagia. Hanya demi menuruti kehendak orang lain yang menginginkannya menjadi ini dan itu. Secara bertahap, ia mulai jemu dan berujung dengan melakukan hal yang membuat orang lain marah. Membuat orang lain muak. Dan entah mengapa, pemberontakan itu kadangkala lebih ia sukai daripada terkungkung terhadap sesuatu yang tak diinginkannya.

Perlahan, masa-masa libur dari penatnya aktivitas belajar itu berakhir, menghadirkan hari pertama untuk memulai aktivitas kembali dengan mengharapkan munculnya semangat baru di tahun yang baru. Namun, bukan malah memunculkan semangat baru, Bagas justru kian hari semakin dirundung jenuh dan lelah. Dari waktu ke waktu hingga kebahagiaan yang didapat dari sang pujaan hati yang semakin dekat—walaupun masih kerap dihadiahi dengan kata-kata ketus—pun seolah tak cukup. Rasa jenuh dan lelah itu datang tak memberi kesempatan untuk hilang.

Berkali-kali sudah ayahnya ditelepon wali kelas, masuk, keluar kantor guru, dan berbicara mengenai Bagas. Pernah juga, sekali, ayahnya bertemu dengan kepala sekolah untuk membicarakan perkara Bagas yang terancam akan dikeluarkan. Sebagai orangtua, mana mungkin ia menginginkan anaknya dikeluarkan hanya karena reputasinya yang buruk? Maka dari itu, sebisa mungkin ia mengupayakan agar Bagas tidak dikeluarkan dari sekolah. Lagipula, wali kelas sudah berujar padanya bahwa wanita itu akan menolong dan berusaha agar Bagas tidak akan dikeluarkan. Namun, keputusan mutlak hanya di tangan kepala sekolah yang memutuskan.

Seketika kemarahan itu memuncak. Berangsur-angsur hingga buat seseorang yang menjadi sasaran atas amarahnya yang memuncak dihampiri oleh rasa jemu dan kerap kesal.

Bagas mengembuskan napas kasar ketika ia memilih keputusan untuk tidak datang ke sekolah, namun masih mengenakan seragam sekolah. Beruntung, Genta sedang sakit. Setidaknya ia memiliki alasan yang sedikit masuk akal untuknya bolos, alih-alih malas belajar dan mengingat kemarahan ayahnya.

"Jadi gue dijadiin pelarian nih?" gumam Genta setelah mendengar cerita dari Bagas.

"Kita setia kawan. Di mana pun ada Genta, sekalipun dia sakit, di situ ada Bagas dan Fareed." Bagas mengumbar senyum bangga terhadap perkataannya. Sedetik kemudian, ia melirik sekitar rumah Genta, lalu berkata sembari mengusap perutnya. "Lo ada makanan nggak? Laper nih gue."

"Dasar! Bukannya jenguk orang sakit bawa makanan, malah minta makanan." Genta terkekeh, lantas menunjuk ke nakas samping kasur. "Tuh buka aja! Di situ ada makanan."

Mata Bagas berbinar melihat makanan di dalam laci nakas tersebut. Di laci pertama, ada beberapa buah-buahan. Di laci kedua, ada beberapa bungkus roti dengan berbagai jenis rasa. Di laci ketiga, ada dua kotak kue. Bagas tersenyum semringah melihat makanan yang begitu banyak. Belum lagi semangkuk bubur dan segelas air putih yang diletakkan di atas nakas, menggugah selera. Ia kemudian memandang ke arah Genta. "Lo lama-lama aja sakitnya ya, Gen. Gue seneng kalo tiap hari ngunjungin rumah lo."

"Dasar! Maunya yang gratisan mulu!" sahut Fareed yang sedari tadi hanya diam di ujung kasur Genta.

"Sini, Reed, mamam! Nggak usah jaim gitulah sama temen sendiri!" katanya melahap kelengkeng dan meletakkan bijinya di atas nakas.

"Gas, jangan jorok! Itu ada tong sampah," ucap Genta melihat Bagas.

Bagas terkikik dan melanjutkan makannya tanpa memedulikan perkataan Genta. Fareed yang melihat itu mendengkus, lalu berjalan mengambil tong sampah. Lima menit kemudian cowok itu telah hanyut mengikuti Bagas yang melahap habis makanan Genta.

"Gen, kita boleh nggak tidur di sini? Bosen gue di rumah diceramahin mulu sama si bapak kumis." Bagas berkata sambil mengoleskan roti dengan selai strawberry. "Lo juga mau 'kan Reed?"

"Hm...." Fareed mengangguk.

"Boleh-boleh aja sih. Lagian, nyokap gue juga pasti ngijinin. Soalnya, yah, tau sendiri nyokap gue ibu-ibu sosialita yang nggak bisa diem di rumah, jadi pasti seneng kalo gue ditemenin sama kalian."

"Oke. Kalo bisa sih, lo lama aja sakitnya, Gen. Kalo udah sembuh pun, pura-pura aja masih sakit."

Genta tergelak. "Nggak ah, males! Entar gue jadi nggak bisa ketemuan sama Talia lagi."

"Lo naksir Talia?" Bagas tersenyum sambil mencolek-colek bahu Genta yang duduk bersandar di kepala kasur. "Cie, yang naksir gara-gara kejadian tahun baru."

"Semuanya lo embat," ujar Fareed, menghujaminya dengan biji kelengkeng yang selesai dimakannya. Bagas yang melihat itu, sontak mengikuti Fareed, bahkan ia mengambil biji tersebut dari dalam tong sampah.

"Awas aja lo nyakitin Talia. Dia cewek baik-baik, Gen. Gue bakal jadi orang pertama buat ngelindungin dia dari kekejaman playboy cap kaki tiga kayak lo," ujar Bagas diiringi dengan lemparan biji kelengkeng yang berasal dari tong sampah.

"Woi, udah! Lagi sakit malah dilempari biji kelengkeng. Heran gue kenapa bisa punya sahabat kayak lo pada," kata Genta melindungi tubuhnya dari serangan Bagas dan Fareed yang membabi buta. "Lagian apa coba playboy cap kaki tiga? Yang ada itu merk produk kali, Bagas bego!"

"Siapa yang tadi ngucapin itu?" tanya Bagas setelah melihat biji kelengkeng tak bersisa dalam tong sampah, membuatnya berhenti melempari Genta.

"Elolah."

"Ya udah salahin elolah, kenapa jadi gue?"

"Capek, Gas, capek ngomong sama lo." Genta berkata dengan nada pelan, kemudian membaringkan tubuhnya.

Fareed memutar bola matanya, beranjak menuju sofa. "Ck, udah, kalian nggak usah berisik, gue mau tidur. Ngantuk, tadi malem gue tidur cuma empat jam."

***

Ketidakhadiran Bagas juga teman-temannya, nyatanya cukup berpengaruh terhadap Maira, Talia, Cindy, dan Billy. Terlebih Maira yang kini merasa heran, namun tetap tidak mengeluarkan kata-kata secara gamblang menanyakan ke mana cowok itu. Meskipun sudah lima hari mereka tak kunjung menunjukkan batang hidung, ia tetap memilih bungkam. Berusaha mengacuhkan, Maira melanjutkan makannya dengan tenang.

"Si gendut ke mana sih? Kok gue nggak ngeliat dia selama lima hari ini. Biasanya gencar banget ngedeketin lo, Ra." Akhirnya Billy memilih membuka suara setelah menyadari lima hari berlalu tanpa melihat sesosok Bagas.

"Katanya jijik," sahut Cindy menyikut lengan Billy.

"Nggak. Sehabis acara tahun baru waktu itu, gue baru sadar, dia itu orangnya nggak jijik-jijikin banget. Yah, setidaknya bisa ngehibur kita."

"Iya, ya! Fareed sama Genta juga nggak keliatan."

Celoteh dan pertanyaan dari Billy dan Cindy sudah mewakili rasa penasaran Maira. Ia menghela napas ketika pemikiran-pemikiran buruk menggelayuti benaknya.

"Jangan dipendam terus, Ra. Adakalanya lo harus jujur dan nyingkirin sikap ego lo sebelum dia berubah. Karna sejatinya manusia dapat berubah, bahkan dalam waktu yang sedetik aja." Seperti biasa, si bijak Talia berkata seolah mengetahui apa yang tengah dirasakan Maira. Bersamaan dengan itu, bel berbunyi, membuat mereka kembali ke kelas dengan berbagai pemikiran yang berkecamuk di benak masing-masing.

***

[09 Januari 2018] - [05 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang