Selepas Genta sembuh total dan bisa kembali beraktivitas sebagaimana biasanya, Bagas dan Fareed memutuskan untuk datang ke sekolah. Seketika rasa senang dan rindu akan aktivitas belajar—entah hanya main-main saja selama proses pembelajaran berlangsung atau karena keinginan bertemu seseorang—menghampiri mereka saat sudah sampai di sekolah. Rasanya seperti ada kebahagiaan tersendiri yang menjadikan keinginan-keinginan akan dirindukan karena ketidakhadiran selama beberapa hari. Memang hal itu manusiawi dan Bagas sama sekali tak bisa menapik bahwa ia pun berharap demikian.
Nyatanya harap itu terwujud. Tepat pada saat istirahat, Gita mengirimkan chat pada Bagas bahwa ia merindukan mereka. Lalu setelah Bagas bilang kalau ia dan teman-temannya hari ini sekolah, Gita memintanya untuk bertemu di taman. Gadis itu juga bertanya, apa yang menyebabkan ketiga cowok itu—yang sudah dikenalnya dekat sejak mereka tampil di kafe milik ayahnya—tidak menampakkan batang hidung selama lima hari.
"Oh, jadi karna Kak Genta demam tinggi." Gadis itu mengangguk setelah mendengar penyebab yang menjadikan mereka tidak sekolah.
Kemudian mereka melanjutkan celoteh ringan tentang apa saja. Tentu diiringi dengan senda gurau. Tak jarang, Gita tertawa terbahak-bahak mendengarkan pembicaraan yang kadang bukan sesuatu hal yang penting.
***
"Jadi bagaimana dengan Bagas?"
"Jangan khawatir, Pak, saya sebagai wali kelas bertanggung jawab penuh atas permasalahan kelas yang saya didik. Sebisa mungkin saya menerapkan masuk 38 siswa, tamat 38 siswa, dan lulus 38 juga."
"Saya juga tidak ingin langsung memproses tanpa memberinya kesempatan. Nah, jadi Bapak tenang saja, kami mengupayakan yang terbaik."
"Tapi kalau memang tidak bisa dan tidak ingin memperbaiki kesalahan, malah semakin menjadi-jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa kalau kepala sekolah memutuskan untuk mengeluarkannya dari sekolah."
Maira mendengarkannya. Mendengarkan seluruh percakapan dari seorang lelaki setengah baya brewokan, Bu Susi, juga Pak Waton. Pembahasan menyangkut Bagas membuatnya ingin mendengar lebih banyak informasi. Entah mengapa, pembicaraan dari guru dan orangtua Bagas itu sungguh membuatnya cemas.
Tadi pagi, ketika Cindy baru sampai di kelas, cewek itu bercerita heboh mengenai pertemuannya dengan Bagas dan kawan-kawan di koridor sekolah. Saat Cindy menyebutkan nama Bagas keras-keras, Maira merasakan jantungnya berdetak tidak karuan. Antara senang dan kesal. Maira tidak bisa menapik bahwa ia merasakan itu. Senang karena akhirnya ia bisa melihat cowok itu lagi. Kesal karena cowok itu sama sekali tidak memberitahunya alasan mengapa cowok itu tidak datang. Sama sekali tidak ada notifikasi Line sejak lima hari yang lalu.
Sewaktu-waktu, Maira berpikir, mungkin cowok itu sudah lelah karena semua usaha yang cowok itu lakukan selalu diabaikan. Tidak membuahkan hasil apa-apa.
Namun, selepas dari itu semua, harusnya Maira merasa senang karena ia dapat terbebas dari Bagas. Sama seperti ia memperlakukan cowok-cowok lain yang berusaha mendekatinya. Akan tetapi, entah mengapa, hal ini justru berbeda. Berbeda dari cowok-cowok yang kini telah pergi karena mereka tahu sia-sia saja mengejar Maira yang tidak menginginkan mereka.
Dan kini, kegelisahan hadir begitu saja tanpa bisa dicegah ketika mendengar pembicaraan dari orang-orang dewasa di kantor guru, tepat di belakang Maira.
"Maira," panggil Bu Yuni membuyarkan lamunannya.
Maira mendongak, menatap Bu Yuni. "Kamu boleh istirahat, biar saya saja yang melanjutkan."
Maira melirik pada buku-buku yang diletakkannya dengan berserakan, tidak tentu arah. Ia menghela napas melihat buku latihan dan catatan bahasa Indonesia semakin tidak beraturan. Harusnya ia meletakkan buku-buku itu dengan sesuai, latihan dengan latihan dan catatan dengan catatan. Lalu membuatnya menjadi tumpukan sesuai abjad. Tetapi, fokusnya yang bercabang membuatnya tak bisa menempatkan buku-buku tersebut dengan benar, sesuai perintah Bu Yuni.
Ia berbalik dan menutup pintu ruangan guru. Ia menghela napas berulang-ulang, lantas melanjutkan jalan menuju kantin.
Ia butuh Bagas sekarang dan menjelaskan segala sesuatu yang didengarnya saat di kantor guru. Mungkin, dengan adanya Maira, cowok itu dapat berubah menjadi yang lebih baik dan tidak akan ada pembicaraan mengenai dirinya akan dikeluarkan dari sekolah. Tidak. Sebagian dari diri Maira berteriak tidak menginginkan hal tersebut terjadi.
Matanya menjelajah seantero kantin. Tetapi nihil. Ia sama sekali tidak melihat Bagas ataupun teman-temannya.
"Lo kenapa, Ra? Kayak kesetanan gitu dateng-dateng dari kantor guru. Bu Yuni marahin lo?" Pertanyaan tidak masuk akal dari Cindy berhasil membuat Billy menoyor kepalanya.
"Nggak mungkinlah. Maira 'kan kesayangan guru-guru."
"Yah, 'kan mana tau sih, Bil."
Maira menghela napas, lantas memandang ke arah temannya seraya bertanya dengan serius. "Kalian ada nampak si gendut nggak?"
Talia lebih dulu menyahut, membungkam gerak bibir Cindy yang akan berujar. "Dia punya nama, Ra."
Maira berdecak. "I know."
"Masa lo mau terus-terusan manggil dia kayak gitu saat lo sebenernya udah sadar kalo dia berhasil buat lo jatuh cinta sama dia?"
Perkataan Talia membuat Maira memejamkan matanya. Beberapa detik kemudian, ia kembali berkata pada Talia, "Li, plis, itu bukan hal yang penting untuk dibahas saat ini."
Cindy terkekeh, mengambil alih pembicaraan. "Di taman kayaknya. Tadi gue nggak sengaja ngeliat mereka, terus arahnya sih ke taman. Tapi, coba lo cek aja deh."
Maira mengangguk dan berlalu pergi menuju taman secepat yang ia bisa. Seketika napasnya tercekat. Gerak kakinya berhenti. Senyumnya hilang seiring desau angin yang menerbangkan rambut panjangnya.
Di depannya, pemandangan luar biasa tersuguh. Saking luar biasanya, membuat Maira merasakan nyeri di ulu hatinya. Benar. Kini, Maira menyadari perkataan Talia yang memang benar-benar terjadi. Bahwa seseorang dapat berubah, bahkan dalam waktu sedetik saja.
Mereka tertawa. Ya, tertawa bersama-sama. Bersenda gurau. Mengelus puncak kepala. Saling melempar pujian dan terkadang ejekan, seolah mereka sudah lama akrab. Tanpa tahu ada seseorang yang merasa asing melihat hal tersebut. Tanpa sadar bahwa ada sesesok lain yang tengah memerhatikan mereka dengan perasaan yang campur aduk. Bingung, kesal, marah, rindu, dan cemburu. Semuanya menjadi satu.
Telak. Maira benar-benar tidak habis pikir sudah berapa kali temannya, Talia benar akan perkataannya yang hanya dianggap angin lalu. Benar. Semuanya benar. Talia benar kalau ia, sudah jatuh cinta pada cowok itu, cowok bertubuh gendut yang sangat dibencinya. Cowok yang berhasil membuatnya pontang-panting mencari keberadaan cowok itu.
Untuk pertama kalinya Maira merasa jatuh dan cinta di saat yang bersamaan. Untuk pertama kalinya, Maira merasakan bagaimana menjadi cowok itu dalam sehari. Sekarang, ia mengerti bagaimana selama bertahun-tahun cowok itu berusaha menggapainya, namun tak pernah kesampaian. Kini, Maira mulai mengerti.
Ia menghela napas, lalu berbalik menuju kantin, tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Mengatur mimik sedemikian rupa agar tak menjadi curiga.
***
[11 Januari 2018] - [06 Juli 2018]
KAMU SEDANG MEMBACA
Raksa Cinta #ODOC_TheWWG
Teen Fiction[Completed] "Aku berharap suatu saat nanti, kamu bisa nerima aku apa adanya...." -Raditya Iwan Bagaskara. Amazing cover by @gulalipink