22. Rapor & Tahun Baru

222 29 6
                                    

Rapor berwarna hijau tua terlempar di atas meja ketika Bagas melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Laki-laki itu baru saja pulang dari perjalanan panjangnya bersama Genta dan Fareed sehingga ia tiba di rumah tepat pada pukul enam lewat lima menit petang.

Dari ekor matanya, ia bisa melihat ayah, ibu, serta kakaknya—yang barangkali sudah liburan kuliah dan memutuskan untuk pulang ke rumah—duduk di sofa ruang tamu.

Kendati sudah menyumpal earphone di telinga, Bagas dapat mendengar suara ayahnya yang menggeram tepat di kepala sofa. "Orangtua sibuk mengambil rapor dan kamu bersenang-senang dengan teman-temanmu yang berandal itu?"

Bagas menghela napas, melepaskan earphone di telinga, dan memandang ayahnya. Ia merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan lelaki setengah baya itu. "Ayah nggak berhak ngomong kayak gitu." Tidak. Ia tidak terima karena kedua temannya ikut menjadi bahan omongan ayahnya. Ia masih bisa mengabaikan kalau itu tentang dirinya, tapi jangan menyangkut-pautkan, apalagi menyalahkan teman-temannya. Ia tidak akan bisa menerima itu.

Fathur beranjak dari sofa menuju kamarnya. Bagas tahu bahwa kakaknya itu sangat membenci perdebatan dan suara yang lantang.

"Nggak berhak kamu bilang? Jadi, yang berhak siapa kalau bukan ayah?" Lelaki berkumis itu lantas menunjuk rapor di atas meja. "Lihat betapa hancurnya nilai-nilaimu! Lihat sudah berapa poin skor hukuman yang kamu terima selama di sekolah itu! Berapa kali harus ayah katakan, jangan mengkal, ikuti, pelajari, kalau tidak tau tanya kakakmu, tiru dia, biar bisa membanggakan orangtua, bukan mengikuti teman-temanmu yang berandal!" kata ayahnya panjang lebar. Lelaki itu mengembuskan napas kasar, lantas menghempaskan tubuhnya pada sofa. "Atau kamu memang mau dikeluarkan dari sekolah? Iya, Bagas?"

"Enggak, Yah." Bagas menjawab dengan suara pelan.

"Capek tau capek kerja banting tulang itu buat membayar uang sekolahmu. Bukan main-main. Tapi lihat! Nggak ada usaha buatmu belajar mengerti dan menghargai jerih payah orangtua!" Ayahnya menggelengkan kepala, lalu pergi menuju kamarnya sambil memijat dahi.

"Bagas," panggil ibunya kemudian tersenyum. Namun Bagas masih bergeming di ambang pintu. Wanita itu berderap mendekati Bagas, lalu membawanya duduk di sofa. "Ayah kamu berbicara seperti itu karna dia sayang sama kamu. Dia pengin kedua anaknya memiliki masa depan yang cerah. Setidaknya tidak seperti ayahmu yang hanya menjadi tukang bangunan."

"Ya, Bagas tau, Bu. Tapi, bisa 'kan ayah nggak usah sama-samain Bagas kayak kak Fathur? Bisa 'kan ayah ngertiin maunya Bagas? Bagas sama kak Fathur itu beda, Bu, meskipun kami dilahirkan dari rahim yang sama," kata Bagas mengungkapkan gundah di hatinya. "Bagas capek, Bu. Udah pernah berusaha juga waktu SMP giat belajar, tapi tetep nggak bisa jadi lebih unggul kayak kak Fathur. Dan ayah nggak pernah mau ngeliat itu, malah makin marah. Bahkan ayah pernah ngerusakin gitar hadiah ulang tahun Bagas dari Fareed sama Genta. Ya udah sekalian aja Bagas buat onar, toh hasilnya tetep sama, nggak ngubah pandangan ayah ke Bagas."

Ibu Bagas—Ina—tersenyum, menampakkan lesung pipi yang diwariskannya pada Bagas. "Setidaknya waktu kamu berusaha, nilai kamu naik, yah, walaupun sedikit, tapi ada kemajuan, Sayang. Ayah kamu cuma pengin kamu bisa serius dan dapat beasiswa, lalu kuliah sampai tamat, bukan kayak dia yang cuma bisa sekolah sampai SMA karena ekonomi. Cuma itu."

"Tapi perkataannya nggak bisa Bagas terima, Bu." Kemudian ia menoleh manatap ibunya. "Udah ah Bu, Bagas capek, baru pulang." Bagas beranjak dari sofa, hendak ke kamarnya yang berseberangan dengan kamar Fathur.

"Makan malam nanti jam tujuh. Jangan kebiasaan makan tengah malam. Nanti badan kamu tambah melar, Bagas," tutur ibunya dengan lembut.

"Bagas nggak bisa janji, Bu," katanya menyunggingkan senyum untuk ibunya. "Soalnya pesona Bagas bakal turun kalo badan Bagas kurusan," lanjutnya terkekeh, lalu masuk ke kamar.

Tahu-tahu Fathur sudah duduk di pinggir kasurnya begitu ia sampai di kamar. Cowok yang memakai kacamata itu lantas berbicara pada Bagas. "Kamu nggak berubah, masih tetep Bagas yang aku kenal dulu." Fathur tersenyum dan mengangguk. Berbeda dengan Bagas yang memiliki lesung pipi ketika tersenyum, Fathur sama sekali tidak memiliki itu, seperti ayahnya. "Bagus. Teruskan. Hidup nggak melulu mengikuti orang lain. Jadilah diri sendiri dan aku masih tetap mendukungmu."

Bagas tersenyum. Benar-benar bisa diandalkan kakak laki-lakinya itu. "Makasih, ma bro, ini juga berkat lo wahai pria sejati," kata Bagas sambil merangkul tubuh kurus kakaknya, kemudian mereka tertawa bersama dan berbincang seperti dulu. Seperti dulu saat-saat Bagas kecil sukar memiliki teman. Seperti dulu saat Fathur selalu berdiri di belakang Bagas, meski kadang adiknya itu tidak tahu. Meski kadang hanya beberapa kata saja yang keluar dari mulut Fathur untuk membela Bagas dan lebih banyak diam. Memang begitu, kendati ayah selalu mengunggulkan Fathur, tapi ia tidak pernah berpikir demikian terhadap Bagas.

***

Hari ini, mungkin Bagas harus menandai tanggal agar tidak lupa bahwa saat ini Maira membalas chat-nya. Bayangkan saja bagaimana Bagas merayakan hari ini. Tidak perlu kue ataupun pesta karena itu terlalu berlebihan, ia hanya harus menghampiri gadis itu di rumahnya saat karnaval tahun baru dan merangkai rencana dengan teman-temannya.

Bahkan ia tidak mau ikut dengan keluarganya yang memilih liburan dengan uang Fathur. Tentu saja, kakaknya itu kuliah sambil kerja, dan jangan membicarakan tentang hal itu karena Bagas sedang tidak berminat.

Bagas merapikan rambut juga jambul di keningnya. Tersenyum dengan percaya diri melihat penampilannya di cermin. Hanya mengenakan jeans hitam dan kaus hitam bercorak tulisan 'THRASHER'. Bagas memang lebih menyukai penampilannya begitu dibandingkan harus mengenakan kemeja.

"Lebih cakep padahal dari Fathur. Tapi kenapa...,"—ucapnya menjeda sejenak untuk menampilkan mimik dramatis—"kenapa seluruh manusia masih nggak sadar juga?" Cowok itu menghela napas seraya menggeleng-gelengkan kepala, menyayangkan manusia yang masih mengabaikan makhluk tampan—sepertinya—versi dirinya sendiri.

Ia langsung melajukan motornya ke rumah Maira dan kali ini, walaupun masih diiringi dengan nada ketus, Maira bersedia pergi bersamanya. Betapa bahagianya malam itu karena bukan hanya berdua, melainkan juga ada teman-temannya, sesuai rencana yang telah dibangunnya dengan susah payah membujuk Genta dan Cindy. Tak perlu meragukan mereka karena memang mereka berdua paling bisa diandalkan.

Ketika sampai di Danau Sunter, ia melihat teman-temannya sudah berkumpul sambil menyaksikan acara yang sedang berlangsung di atas panggung. Mereka juga turut berpartisipasi pada serangkaian acara yang diselenggarakan, antara lain lomba bakar ikan laut, pentas musik, hingga pertunjukan kembang api dari tengah danau. Sungguh kebahagiaan yang tiada tara sampai-sampai mampu mengubah pandangan terhadap orang lain.

***

[09 Januari 2018] - [04 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang