10. Niat

266 32 31
                                    

Siang itu, setelah bel pertanda kelas reguler pulang, Bagas duduk di kantin bersama Genta dan Fareed.

Lantaran kantin sedang sepi, mungkin karena sudah pulang, Genta menyetel lagu faded dari Alan Walker dengan volume yang nyaris mencapai batas maksimal. Tak tanggung-tanggung, ia mengeluarkan speaker mini yang berwarna hitam dari dalam tasnya.

"Ini yang gue tunggu dari tadi!" Bagas cekikikan melihat Genta yang hanya menatapnya sekilas sambil berusaha menyambungkan kabel speaker pada ponselnya.

Kini, Genta malah bersikap seolah dirinya adalah seorang disjoki. Tangan kiri diletakkan di telinga kiri sementara tangan kanan di atas meja, membuat tangannya maju mundur. Matanya terpejam dan kepalanya naik turun, menikmati lagu.

Bagas mengangkat kedua tangannya ke atas dengan mata terpejam, membuat tubuhnya bergoyang ke sana kemari. Kadang, ia mengangkat kakinya dan seperti mengibas-ngibaskan rambutnya. Terkadang, ia berhenti sejenak untuk menormalkan napasnya yang tersengal-sengal.

Sementara Fareed hanya melihat dengan senyuman tipis. Sesekali ia menyetel volume hingga tidak ada suara yang terdengar. Kadang, ia juga menghentikan dan menukar lagu. Tak jarang Genta menggeram kesal akibat ulahnya yang usil.

Seolah sudah terbiasa, orang-orang yang berada di kantin hanya bisa memaklumi. Tak jarang mereka bergabung dan sebagian hanya menikmati sambil menyusun barang dagangannya.

"Udah ah! Capek," kata Bagas terengah-engah. Cowok itu duduk di samping Fareed. "Pijetin!" perintahnya pada Fareed, menunjuk bahunya. Namun, alih-alih pijatan yang didapat, Fareed malah menoyor kepala Bagas.

"Yah, batrenya low." Genta berteriak heboh, mengangkat tinggi-tinggi ponselnya. Membuat tawa Bagas pecah seketika.

"Hebat banget lo." Fareed berkata santai kepada Bagas. "Lo nyembunyiin sesuatu yang lagi lo pikirin sampe saat ini."

Genta berseru dengan mata melotot sembari berjalan mendekati kedua temannya. "Siapa yang lagi nyembunyiin apa?"

Bagas tergelak sambil menepuk-nepuk tangannya. "Gila! Lo tau aja deh Reed! Udah cocok deh lo jadi cenayang."

Genta ikut tergelak saat ia mendudukkan dirinya di depan Bagas dan Fareed setelah menyimpan barang-barangnya di dalam tas. "Ada apa?"

Fareed berdecih. "Bego lo nggak ilang-ilang, ya, Gen. Heran gue."

Bagas ikut menimpali perkataan Fareed. "Lo ikut ketawa, tapi lo nggak ngerti ada apa." Lagi-lagi ia tergelak. "Genta, genta."

Bagas terdiam sejenak. Lalu ia mengembuskan napas kasar. "Jadi, gue kepikiran buat ngamen."

Mata Genta hampir keluar mendengar perkataan Bagas. Dengan ekspresi yang dramatis, ia berkata, "Segitu mirisnya lo ya, Gas, sampe-sampe lo mau ngamen buat dapetin uang." Matanya berubah nanar. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan beberapa lembar uang dua ribu dan selembar lima ribu yang tersisa di kantong celananya. "Ini Gas, ambil, gue rela. Memang nggak seberapa. Tapi gue ikhlas, itu yang terpenting."

Fareed mengintrupsi. "Makin ngawur nih anak." Ia menelengkan kepalanya menatap Genta. "Gue jadi heran, di mana letak pesona lo sampe-sampe semua cewek bisa jadi bertekuk lutut sama lo."

"Reed, ini momen lagi sedih. Bukan saatnya nanyain itu. Entar gue kasih tau triknya sama lo deh."

Bagas mengambil uang yang disodorkan Genta di atas meja. "Bu Ani, teh manis dinginnya tiga," teriaknya pada penjual minuman. Karena sepi, Bagas bisa memesan minuman tanpa perantara pelayan.

Genta megap-megap melihat Bagas yang tersenyum manis padanya. "Makasih," tutur Bagas pada Genta, meletakkan uang tersebut ke saku bajunya.

Genta menggaruk kepalanya, bingung. Ia mendelik kepada Fareed, sumber informasi. Ia mengerutkan keningnya serta merta memandang Fareed.

"Makanya dengerin dulu." Ucapan Fareed membuat Genta terdiam. Ia mengikuti arah pandang Fareed yang kali ini memandang Bagas. Menggunakan telinganya sebaik mungkin untuk mengetahui apa maksud dari pembicaraan Bagas barusan.

Bagas tersenyum lebar pada Bu Ani yang mengantarkan minuman mereka dengan nampan. "Makasih, Bu Ani." Setelah itu, ia meneguk habis teh manis dingin itu seperti kesetanan. Bahkan ketika air itu sudah tidak ada pun, ia masih mengangkat tinggi-tinggi cup pelastik teh itu, hingga menyisakan setetes air turun ke lidahnya.

"Keausan banget, bro," kata Fareed meletakkan minumannya di depan Bagas setelah ia meneguk sedikit.

Mulut Bagas ternganga ketika ia sudah menghabiskan teh manis dingin milik Fareed. Ia menegakkan tubuh, mendekat ke arah meja. "Kalian masih inget 'kan insiden kemarin? Nah, jadi maksudnya, gue bakalan bantuin Maira."

Bagas kembali mengingat peristiwa kemarin yang membuatnya mengetahui bahwa Maira sedang dalam masalah. Ia juga sudah mendengarnya langsung dari pusat pelayanan tadi pagi. Sekarang, ia sudah tahu permasalahan apa yang sedang cewek itu hadapi. Juga ia telah berjanji bahwa ia akan membantu untuk menyelesaikan masalah tersebut, semampunya.

"Dengan ngamen?" tembak Fareed yang dibalas Bagas dengan anggukan. Temannya itu selalu bisa menebak dengan cepat dan tepat. "Kayak ada yang mau ngasih lo aja deh," celetuk Fareed kalem.

"Oh, jadi maksudnya itu." Genta menepuk meja, lalu menjulurkan tangan kepada Bagas. "Kalo gitu, balikin uang gue!"

"Enak aja! Sesuatu yang udah dikasi, nggak boleh diminta lagi."

"Nggak bisa kayak gitu! Nggak! Gas, gue nggak terima!" Genta mengembuskan napas kasar. "Maira udah nolak lo mati-matian, masih aja mau nolongin. Udah, biarin aja tuh cewek ngurusin sendiri. Sekali-kali biarkan dia berjuang buat diri dia sendiri."

"Namanya juga cinta," sahut Bagas santai. "Kalo uda cinta, semua bakal rela gue lakuin." Bagas menepuk dadanya bangga.

"Kalo gue jadi lo, mungkin gue udah ninggalin tuh cewek. Kesel banget gue lama-lama ngeliat cewek sok jual mahal itu. Dibaikkin bukannya terima kasih, malah songong banget." Genta berujar dengan kesal. Ia tidak rela Bagas diperlakukan seperti itu oleh Maira.

"Sayangnya, gue bukan lo Gen. Putus satu, tumbuh seribu."

Fareed memukul meja. "Diem!" Baik Bagas maupun Genta berangsur-angsur diam. Lalu keduanya terkekeh geli ketika melihat tampang Fareed yang sangat serius.

"Gue punya ide," kata Fareed lempeng. "Gue bakal minjemin uang nyokap buat bantu bayar."

Bagas menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Lama ia menggeleng. Sampe tangannya menyentuh kepala saat ia merasakan pusing. "Nggak. Gue nggak terima. Usahanya nol kalo dari uang orangtua. Dan gue nggak mau kayak gitu."

"Gimana kalo nge-band?" celetuk Genta tiba-tiba. Membuat Bagas mengerutkan kening.

"Lo setuju? Tadi nyuruh gue buat nggak bantuin Maira."

"Lo sahabat gue. Jadi, yah, gue nggak bakal ninggalin lo berjuang sendiri." Genta berujar dengan enteng. Alhasil tangan Fareed juga Bagas melayang memukul kepalanya.

"Sok banget ngomong lo." Fareed berdecih. Kemudian ia menaik turunkan kepalanya. "Bisa juga tuh. Gue 'kan juga bisa main drum."

"Nah 'kan," teriak Genta heboh. Ia menjentikkan jarinya. "Gue juga bisa main bass."

Bagas tergelak. "Bisa tuh. Gue vokalis sekalian main gitar."

Genta melirik jam yang berada di pergelangan tangannya. Seketika ia kembali berteriak heboh. "Udah jam empat. Cabut yuk!"

Bagas mengangguk. "Besok kita cari tempat yang bisa nampung kita. Sukur-sukur ada."

"Tenang. Om gue ahlinya kalo soal itu." Ketiganya saling tatap sambil mengangguk setuju.

"Gas, uang!" Genta kembali menyodorkan tangannya di depan Bagas.

"Pelit banget lo sama sahabat sendiri," katanya mengembalikan uang Genta yang tersisa.

***

[24 Desember 2017] - [27 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang