Lelaki setengah baya itu terdiam. Ia memejamkan matanya ketika sekelebat perkataan anak sulungnya kembali terdengar samar-samar.
"Ayah, Bagas itu beda sama Fathur. Jangan sama-samain dia sama Fathur."
"Fathur nggak bermaksud membenarkan Bagas. Tapi cara Ayah yang buat dia jadi kayak gitu."
"Fathur mungkin bakalan jadi kayak Bagas kalau Ayah ngelakuin itu ke Fathur."
"Ayah, kenapa Ayah ngerusak gitar itu? Bagas suka nyanyi, Ayah. Itu keahliannya."
"Ayah tetap nggak berubah. Masih sama kerasnya kayak dulu. Fathur kecewa waktu Fathur nyaksiin kemarahan Ayah sama Bagas."
"Bahkan Ayah sama sekali nggak marah waktu Fathur nyangkal kalimat Ayah. Liat, Ayah udah berlaku nggak adil ke Bagas."
Sedari Fathur kecil, ia mendukung penuh Bagas. Bentuk pembelaan yang dilakukannya pada adiknya. Dan perkataan seorang gadis saat ia dipanggil ke sekolah, membuatnya mau tak mau memikirkan kembali perkataan Fathur yang memang dianggapnya angin lalu. Tahu apa anak itu mengenai kerasnya hidup, pikirnya saat itu. Ia hanya menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang menjamin masa depan seperti Fathur yang kelak akan menjadi seorang insinyur, bukan malah berleha-leha dengan menyenandungkan sebuah lagu dengan gitar. Bukan. Lelaki itu hanya menginginkan kesuksesan akan masa depan yang menjanjikan itu dapat berjalan dengan mudah, walaupun tentunya banyak rintangan yang menghadang. Setidaknya lebih mudah dan menjanjikan daripada seseorang yang hanya bisa memetik senar gitar sambil menyanyikan sebuah lagu.
Namun, nyatanya, cara yang diambilnya adalah suatu kesalahan. Hingga membuat Bagas menjadi anak yang pembangkang. Untuk itu, setelah seminggu lamanya ia berpikir, ia memutuskan agar memperbaiki segalanya.
Pintu yang terbuka lebar membuat lelaki itu mendongak, menatap putra bungsunya. Ia tersenyum kaku. Dengan perlahan, ia melangkahkan kaki untuk memeluk anaknya. Menyalurkan rasa bersalahnya. Kesalahan atas caranya yang tidak tepat.
Bagas terhenyak untuk beberapa saat. Sungguh, ini adalah kali pertama ia mendapatkan perlakuan seperti itu dari ayahnya. Seumur-umur, inilah saat-saat yang ditunggunya. Inilah saat-saat yang diinginkannya. Tanpa sepatah kata pun, Bagas kini mulai mengerti. Amat mengerti kalau kini, hidupnya akan menjadi lebih berwarna. Ayah telah memeluk tubuhnya hangat. Ayah telah mengaku bahwa caranya salah. Kebahagiaan yang harus dibicarakan dengan Fathur. Kakaknya itu pasti akan bahagia mendengar kabar ini.
"Jangan karena ayah mulai mendukung musikmu, kamu bisa menyepelekan kegiatan belajarmu selama di sekolah. Tidak! Jangan sampai! Teruslah belajar, Bagas!"
"Iya, Ayah...," ucapnya berakhir seiring senyumnya yang lebar. Sangat bersyukur kalau ayahnya itu sudah bisa menerima dirinya, mutlak sebagai Bagas. Bukan menjadi seperti sesosok yang diinginkan ayahnya.
***
Saat ini, setelah kembalinya dari liburan panjang kenaikan kelas, Bagas dan Maira resmi menjadi murid kelas dua belas. Menjadi senior yang biasanya merasa paling berkuasa.
Bagas berjalan di samping Maira dengan dagu yang diangkat tinggi-tinggi. Bukan bermaksud sombong. Bukan. Ia hanya ingin mengatakan pada semua orang bahwa ia sudah berhasil meluluhkan hati Maira. Membuat Maira jatuh hati padanya di saat cowok-cowok kebanyakan tidak bisa menaklukan hati Maira.
Bagas berhenti sejenak saat ia berhadapan dengan cowok tinggi, berkulit sawo matang, dan berkacamata. Ia berbisik ke cowok itu. "Lo dulu pernah nembak Maira 'kan?" Bagas tergelak sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian merangkul cowok itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya, ia letakkan ujung kuku ibu jari dengan ujung kuku jari tengah, membuat gerakan seolah itu adalah perkara mudah. "Seujung kukulah, Bro!" katanya dengan nada pelan, lalu tergelak, menertawakan kekalahan cowok itu.
"Lo ngapain?" tanya Maira setelah Bagas berada di sampingnya. Karena jelas, ia tidak bisa mendengar apa yang Bagas ucapkan pada cowok itu.
"Nggak ada," sahut Bagas santai.
Keduanya kembali melanjutkan langkah menuju kantin. Mengacuhkan siapa pun yang memandang mereka dengan berbagai macam pandangan. Ada yang menaruh mimik bingung keheranan. Ada yang rela memutar kepalanya saat Bagas dan Maira berjalan melewati mereka hanya untuk memastikan mereka tidak salah lihat. Ada yang berbisik-bisik. Bahkan ada pula yang tak malu menuturkan keterkejutan mereka. Namun, Maira mengacuhkannya. Sedangkan Bagas, ia membalasnya dengan tersenyum lebar sambil memasukkan tangan ke saku celana sekolah.
Ketika Bagas dan Maira telah sampai di kantin, teman-teman mereka serta merta memanggil nama mereka berdua untuk segera menghampiri-meja panjang pada barisan ketiga-tempat di mana teman-temannya itu duduk.
Desas-desus, bisik-bisik tetangga, sampai gosip ria dari penjuru kantin semakin meriah. Menjadikan topik Bagas dan Maira sebagai pembicaraan empuk untuk dibahas. Terkecuali adik-adik dari kelas sepuluh yang memang masih belum tahu apa-apa atau bisa dibilang masih sedang mencari-cari informasi.
"Kok bisa sih, Maira mau sama si Bagas?"
"Bener ya kata orang kalo cinta itu buta. Dan Maira berhasil dibutakan sama cinta."
Begitu kira-kira yang dibilang orang-orang sekitar kantin. Terkadang memang begitu. Maira berusaha bersikap maklum karena mereka tidak tahu apa-apa. Tidak mengerti bagaimana perjuangan cowok itu. Tidak paham betul dengan apa yang selama ini mereka hadapi. Tahu apa mereka, pikir Maira mengacuhkan tanggapan orang-orang terhadap hubungannya dengan Bagas saat ini.
"Kalian kok bisa satu meja? Udah temenan, ya?" celetuk Bagas mendapati Genta, Fareed, dan Gita duduk satu meja dengan ketiga teman Maira.
"Emang sejak kapan kita musuhan? Aneh deh lo!" sahut Billy pada Bagas.
Bagas malah tertawa terbahak-bahak sambil mendudukkan dirinya di samping kanan Cindy, lalu diikuti Maira yang duduk di sampingnya. "Jutek banget sih si Billy, kayak cewek-cewek yang lagi PMS aja."
Billy terkekeh. "Apaan sih lo! Garing tau nggak!"
"Rambut lo buat gue gemes deh, Gas." Cindy terkikik ketika ia memegang rambut Bagas. "Kayak sarang burung deh rambut lo, Gas." Cindy tersenyum. "Panjang banget ini. Pengen gue iket," katanya lagi sambil terkekeh.
Cindy beranjak dan berlari kecil, meminta karet bungkus nasi pada ibu-ibu pedagang kantin, lalu mengikat rambut Bagas menjadi dua bagian. Semuanya sontak tertawa ketika Bagas mengedip-ngedipkan mata setelah selesai rambutnya dikucir dua. Genta, Fareed, Gita, Maira, Billy, Cindy, dan Talia. Semuanya tertawa.
"Bagas, udah ah, lepasin!" Maira berkata disela-sela tawanya.
"Selagi buat orang terutama kamu ketawa bahagia, aku rela. Lagian, aku imut kok kalo gini."
"Imut apanya? Yang ada amit-amit!" sahut Fareed mengulum senyum, masih dengan suara kalem, tapi cukup membuat orang menalan kepahitan atas perkataannya yang sedikit menohok, kecuali Bagas, tentu saja.
Bagas mendekatkan mulutnya pada Maira. Tangannya diletakkan di antara bibirnya dan telinga cewek itu. "Biasa. Orang iri," ujarnya dengan nada keras. Sengaja, agar orang yang dituju dapat mendengarnya. Lagi-lagi hal itu mengundang tawa. Kemudian, celoteh itu pun berlanjut, saling sambut-menyambut. Dengan diiringi tawa juga ledekan khas seorang teman yang sudah saling mengenal, ada hati baru yang terbuka, mengizinkan seseorang untuk masuk dan singgah untuk menetap. Entah berapa lama, tidak seorang pun dapat memastikannya.
***
[15 Januari 2018] - [12 Juli 2018]
KAMU SEDANG MEMBACA
Raksa Cinta #ODOC_TheWWG
Teen Fiction[Completed] "Aku berharap suatu saat nanti, kamu bisa nerima aku apa adanya...." -Raditya Iwan Bagaskara. Amazing cover by @gulalipink