17. Perjuangan

248 29 9
                                    

Bagas mengangkat wajahnya dari meja dan mengusapnya perlahan. Ia berdiri, meregangkan ototnya yang tidak terlihat karena saking menumpuknya lemak dalam tubuh, lalu menguap tanpa menutup mulut. Memang, menghabiskan waktu dengan tidur di dalam kelas saat guru sedang lengah itu sangat nikmat. Apalagi untuk orang-orang seperti Bagas, yang tidurnya di rumah hanya memerlukan waktu yang agak singkat, kurang dari lima jam.

Matanya segera melihat meja guru, memastikan, lalu berkata, "Cabut yuk!" Bagas beralih memandang kedua temannya. "Selagi belum ada guru nih."

Genta mengangguk, menyetujui ajakan Bagas. "Bosen juga gue di sini," sahut Genta melepaskan earphone dari telinganya. Kalau Bagas memilih tidur di kelas untuk membunuh waktu, berbeda dengan Genta yang memilih menggunakan ponselnya, entah itu untuk mendengarkan musik, mengecek akun sosial medianya, ataupun menonton film.

Genta beranjak dari duduk, disusul oleh Fareed di belakangnya. Ketiganya berjalan menuju kantin.

Ketika Bagas, Genta dan Fareed berderap ke kantin, tiba-tiba Bagas menghentikan langkahnya. Lantas berjalan mendekati sesosok gadis yang begitu sibuk menuliskan sesuatu di kertas berukuran besar, sementara teman sekelasnya yang lain sedang berolahraga. Namun, ia berhenti saat sudah berjalan dua langkah. Kakinya seolah meragu bergerak lebih. Pikirnya pun seolah bergulat dengan batinnya. Antara maju melanjutkan langkah atau berbalik menghentikan langkah.

Seakan mengingatkan, Genta mendekati Bagas sembari mendengkus. "Masih aja lo mau ngedeketin dia? Udah jelas-jelas tadi tuh cewek nyakitin lo, Gas." Genta merangkul bahu Bagas. Menyuruh cowok itu agar melanjutkan langkah dengan isyarat.

Bagas tergelak sambil menepuk dada Genta. "Gue nggak nyangka lo bisa jadi kayak gini sama gue. Jadi serasa cewek yang lagi diperhatikan cowok yang suka sama dia aja gue."

Fareed menyahut dengan ekspresi datar. "Lucu. Perut gue sakit."

Bagas terbahak-bahak. "Bisa aja lo Reed!" katanya melepaskan tangan Genta dari bahunya, lalu kembali melanjutkan langkah. Kali ini, ia lebih memilih opsi kedua, yaitu berbalik menghentikan langkah menuju Maira.

"Gue heran deh Gas, lo kok suka banget sih nyari-nyari masalah sama tuh cewek? Padahal 'kan tanpa perlu lo cari, masalah itu bakal dateng dengan sendirinya."

"Kalo bicara itu sebut namanya," kata Bagas memperingati. "Lagian lo bego deh, Gen."

Genta mengerutkan dahi sembari duduk di bangku paling sudut begitu sampai di kantin. "Gue? Bego? Nggak kebalik? Inget, gue rengking 37 dan lo rengking 38 dari 38 siswa," kata Genta dengan bangganya karena dia lebih unggul satu angka dari Bagas.

"Masalah itu dapat membuat kita jadi lebih dewasa, maka dari itu gue sering-sering nyari masalah," kata Bagas yang mendapatkan toyoran dari Fareed dan Genta.

"Bodo, Gas!" sahut Genta.

"Jangan heran kalo gue rengking paling terakhir, karna gue nggak belajar dari guru."

Fareed menopang dagu diikuti dengan Genta memasang wajah melongok menghadap ke Bagas. "Lah, kalo bukan dari guru, terus dari siapa?"

"Belajar dari bulu ketek," ucapnya mengundang kebingungan dari Fareed dan Genta. "Karna walaupun bulu ketek selalu terhimpit, tapi tetap tegar bertahan dan tetap tumbuh subur," lanjutnya semakin ngawur.

Genta memukul-mukul meja sambil terbahak-bahak. "Lucu banget lo, Gas. Sakit banget perut gue. Ya ampun, nggak nyangka temen gue bakal selucu ini. Jadi gemes," katanya mencubit gemas pipi gembil Bagas.

Sedangkan Fareed hanya mengembangkan hidung, lalu menimpuk kepala Genta. "Lebay banget, lo!"

Bagas menggelengkan kepala. "Punya sahabat kok nggak ada yang bener." Kemudian ia menengadahkan tangan sambil mendongakkan kepala ke atas.

"Ya Tuhan, apa salahku? Apa salah ibuku? Hidupku dirundung pilu."

"Itu nyanyi bego!" kata Genta sambil terkekeh pelan.

"Sama-sama bego nggak usah berantem." Fareed menyahut dengan nada kalem, membuat Bagas dan Genta tertawa.

Setelah berhenti tertawa, Bagas kembali berbicara, "Gue kayaknya udah dipelet deh sama Maira. Bawaannya itu kayak ada yang kurang kalo nggak deket-deket sama dia." Bagas terkekeh sambil mengelus-ngelus perutnya. "Ya udah deh, daripada ngences nih dedek dalem perut, lebih baik gue nemuin emaknya," kata Bagas kemudian berjalan cepat meninggalkan kedua temannya.

"Anjir, tuh anak emang susah banget deh dibilangin," kata Genta memandang punggung Bagas yang semakin menjauh.

"Ya udahlah, Gen. Namanya juga cowok. Sulitnya ngejer cewek yang ditolak berkali-kali itu jadi tantangan buat dia," kata Fareed membuat Genta menghela napas dan terdiam. "Nggak kayak lo yang nggak diminta pun tuh cewek bakal tertarik sama lo."

***

Dari ujung lapangan, tepat di bawah pohon, Bagas memandang sesosok gadis yang duduk di tembok sebetis samping lapangan. Masih tetap sama. Gadis itu masih tetap menekuri beberapa lembar kertas berukuran besar itu.

Teriknya matahari membuat gadis itu beberapa kali menyeka keringat dengan lengan baju olahraganya. Desau angin beberapa kali menerbangkan rambut hitam panjangnya. Kala melihat itu, Bagas tersenyum. Inginnya dia mendekati gadis itu dan berceloteh panjang lebar, namun ia urungkan karena tak ingin membuat gadis itu kesal. Setidaknya tidak untuk saat ini, saat gadis itu sedang sibuk. Lagipula, memandangnya dari sini saja sudah membuatnya bahagia.

"Maira... ayo!" teriak Cindy yang dapat didengar oleh Bagas saking kuatnya gadis itu memanggil Maira.

Seketika Maira terkesiap dan buru-buru membereskan barang-barangnya. Saat yang bersamaan, bel pertanda pergantian pelajaran membahana seantero sekolah.

Bagas masih melihatnya. Melihat Maira yang bergerak dengan tergesa-gesa. Menyusun barang-barangnya dengan cepat, bahkan terkesan asal-asalan bila melihat dari kejauhan.

Bagas terbelalak ketika melihat Maira menjatuhkan kertas saat gadis itu terburu-buru menuju kelasnya. Bagas bergegas mendekati kertas yang tergeletak di atas rerumputan. Ia mengambilnya lalu membukanya perlahan.

Empat lembar kertas double polio berisikan angka-angka yang membuat Bagas mendadak pusing. Bagas tahu, pasti kertas-kertas tersebut sangat penting bagi Maira. Maka dari itu, dengan kekuatan penuh, ia berlari, berusaha mengejar Maira agar bisa memberikan kertas-kertas tersebut pada gadis itu. "Maira," panggilnya kuat, berupaya menghentikan lari Maira yang sangat cepat. Sangat cepat sampai-sampai ia kesulitan mengejar cewek itu.

Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun silam, ia merasa tidak ingin memiliki tubuh yang sangat berat seperti ini. Untuk kali pertama, ia ingin bisa seperti di film-film, di mana seorang cowok selalu berhasil mengejar cewek yang ditujunya, lalu menarik lengannya dan mengungkapkan segalanya. Untuk pertama kalinya, ia mempertanyakan mengapa ia terlahir menjadi Bagas yang gendut—setelah jauh-jauh hari, ia ingin membuktikan bahwa ia istimewa hanya dengan menjadi dirinya sendiri—berbeda dari kakaknya, keluarganya, bahkan kedua temannya. Untuk kali pertama dalam hidupnya ia merasa rendah diri.

Ia terus berlari, mengejar Maira sambil sesekali meneriaki nama cewek itu.

Sekali. Hanya sekali Maira menoleh. Selebih dari itu, Maira tidak menoleh lagi, malah cepat-cepat berlari memasuki kelasnya. Meski begitu, Bagas tetap mengulas senyum di bibirnya seiring gerak kakinya yang mulai melambat. Matanya masih terpaku pada Maira yang menghilang dari balik kelasnya. Ia pejamkan matanya sejenak guna mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

Setelah beberapa kali penolakan dari Maira, baru kali ini Bagas merasakan sesak. Entah karena napasnya yang ngos-ngosan mengejar Maira atau karena cintanya yang sedang berusaha ia perjuangkan namun disia-siakan, lagi.

Ia tersenyum tipis memandang kertas yang berada di tangannya. Lantas memutar tubuh dan melangkah menuju kelasnya. Pikirnya, akan lebih baik untuknya saat ini tidak bertemu dengan Maira, kendati ia sangat menginginkannya. Lebih baik daripada hubungannya semakin buruk. Mungkin, ia akan kembali esok, lusa, atau kapanpun ketika suasana hati Maira jauh lebih baik. Ketika cewek itu sudah mau menemuinya. Tidak menghindarinya seperti saat ini.

***

[01 Januari 2018] - [01 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang