1

1.6K 36 6
                                    

Kalian pernah denger nggak kata-kata legend orangtua yang turun dari anak, cucu, cicit sampai cocot sekalipun. Gini kata-katanya “Jangan ngobrol sama orang asing, kalo ada orang asing ngajak sana sini jangan mau.”

Pernah denger? Selamat. Itu tandanya orangtua kalian peduli dan khawatir dengan keselamatan kalian.

Namaku Kiran Kamelia, umur 15 tahun, hobi membaca buku ... novel. Terus ... Aku adalah jomblo dan diteror sahabatku sendiri buat melepas kejombloanku selama 0,15 abad itu.

Aku akan cerita ke kalian rahasia yang sebenernya gak penting tapi entah kenapa tetep diketik oleh sang author, yaitu ... diusiaku yang genap 15 tahun ini, kata-kata legend itu enggak pernah telingaku dengar. Tapi waktu aku cek di dokter, aku nggak apa-apa, aku total nggak budeg.

Seorang Kiran, remaja berumur 15 tahun dibunuh orang yang baru dikenal karena kebegoannya.

Kan nggak lucu kalo kejadiannya begitu.

Kenapa aku cerita panjang-panjang begini?
Karena aku akan ceritakan pada kalian ke-oon-an ku yang bermula pada hari itu.

Saat itu, aku baru pulang dari rumah nenek yang habis liburan dari Kalimantan. Rumah nenek hanya berjarak beberapa blok saja dari rumahku. Bahkan nggak pantes disebut jauh.

Bukannya memberi makanan atau oleh-oleh, nenek gaul itu justru memberi ayam hidup. Iya, ayam. A-y-a-m. Terdiri dari empat huruf dengan huruf vokal A.
Mau ditolak gak enak, mau diterima sengsara.

Tapi berhubung aku anak baik, suka menolong, dan rajin menabung, dengan berat hati kuterima saja.

Tunggu. Cerita belum selesai.

Diperjalanan pulang aku melihat seorang cowok naik pagar besi rumah seperti mau maling. Tapi kayaknya enggak, dari tindakannya mudah diketahui kalo dia sepeserpun nggak ahli maling.

Ya kali maling di tengah kompleks yang orang-orang bisa ngeliat jelas. Masalahnya itu satu.

Itu pagar rumahku.

“Eh, kamu,” aku memanggilnya, dan dia pun langsung menoleh, “Pagar rumahku bukan pohon pinang yang boleh dipanjat habis itu dapet hadiah.”

Dia nyengir menggaruk-garuk kepalanya, “Aku nggak bisa turun. Kamu bisa bantuin nggak?”

Enggak.

Kalau itu bukan rumahku sudah pasti aku tinggalin begitu saja. Masalahnya ini rumahku, istanaku, home sweet home-ku.

“Lompat aja!” tukasku malas. Lagipula pagarnya nggak tinggi-tinggi amat kok. Paling juga cuma tiga meter, aku saja berani loncat masa dia yang cowok enggak.

“Ya sudah. Kamu tangkap di bawah sana ya.”

“Hah!?”

Tanpa menunggu aba-aba apapun. Cowok itu loncat begitu saja dan menimpaku tubuhku. Seluruh tulangku serasa remuk seketika. Beruntung ayam pemberian nenek selamat-selamat saja. Tapi raut wajahnya itu seakan-akan ngomong “rasain, syukurin, mampus”.

“Ohhh, nggak tinggi-tinggi amat ternyata.” dia terkekeh tidak melihat keadaanku yang memprihatinkan. “Eh, eh, kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah tak bersalah.

Nggak apa-apa ayammu. Jelas-jelas bajuku kotor dan pinggangku sakit.

“Iya, nggak apa-apa. Kamu ngapain di pagar rumah orang? Mau maling ya?”

Dia menggeleng-geleng cepat, “Alice tadi kabur. Terus kaburnya ke arah sini,”

“Alice itu adik kamu?”

“Bukan, Alice itu ayam cantik yang baru lahiran kemarin.” terangnya dengan wajah berseri-seri, “Eh, tunggu. Malaikat ini punya kamu?”

Malaikat.

Defenisi malaikat menurut aku dan menurut dia itu berbeda. Buktinya, dia justru menunjuk ayam pemberian nenek tadi sambil mengatakan malaikat. Mana ayam itu memandang songong ke wajahku. ‘‘Manusia saja milih aku, kamu dapat pacar kapan?’’

Ayam sialan.

“Iya, punya aku.” ujarku sinis, “Kamu nggak boleh pegang-pegang, kita kan nggak saling kenal.” aku menarik sayap ayam sialan itu.

Dia berteriak histeris, “Aduh, pelan-pelan bawanya—Oh, iya kenalin aku Romeo. Baru pindah ke komplek P sana.”

Romeo. Batinku heran. Mungkin orangtuanya pencinta film animasi, mungkin bakal ada anak yang namanya Cinderella, terus Belle, terus Philip, terus numbur.

“Aku Kiran Kam—”

“Udah saling kenal kan? Boleh kan aku pegang-pegang Julietku?” potongnya cepat.

Kampret.

“Eh, eh. Kamu sekolah di SMAN 2 Mayama kan?” tanyanya mengelus-elus ayam sialan itu.

“Iya,”

“Oh, pantas pernah lihat. Aku sekolah di sana juga loh.”

Satu sekolahan toh.

“Oh. Kelas apa?”

“Enggak tahu.” balasnya polos sepolos papan tulis baru. “Tapi ada pelajaran tentang ayam loh. Struktur tubuh ayam, cara berkembang biak ayam.” ujar Romeo antusias.

Anak IPA juga ternyata.

“Eh, eh, aku mau pulang.”

“Ya, enggak usah laporan juga kali.” bentakku kesal. Memangnya aku induknya?!

Romeo terkekeh, “Oh iya, kita pacaran ya hari ini, ya, ya?”

“Hah, kok tiba-tiba?” sentakku kaget.

“Nanti kalau orangtua kamu nanya alasan aku ke rumah kamu. Nggak mungkin aku bilang karena Juliet itu pacarku, aku cukup waras tahu.”

Waras apaan!? Dia cuma mau buat aku jadi jembatan perantara antara dia dan—sejak kapan nama ayam sialan ini Juliet!?

“Udah ya aku pulang. Bye bye juliet~”

Aku nya gak dianggep gitu?

Melewati beberapa kompleks, Romeo berlari. Membuatku bengong di tempat. Aku nggak tahu harus seneng atau sedih? Aku bahkan nggak mengira cara melepas kejombloanku seabsurd ini. Aku hanya bisa pasrah dan semoga besok semua berjalan baik.

“Petok!”

“Berisik lo Juliet!”

“Petok petok!!”

“Apa!? Lo ngajak berantem? Ayo!”

***

Comedic Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang