5

319 16 1
                                    

Kemarin sore Romeo dengan mobil ayamnya, mengunjungi Juliet. Dia tampak puas dengan modifikasi rumah Juliet yang dibuat sendiri olehku berdasarkan referensi website.

Aku pengin bunuh dia saat itu juga. Dan beruntung aku nggak terlalu khilaf sampai bener ngelakuin itu.

Papa dan Mama yang baru pulang dari kerja langsung memuji kerja Romeo. Romeo dengan senang hati menerima semua pujian itu. Nggak ada seorangpun yang percaya kalau aku yang membuat kandang ayam mewah itu.

Sialan. Memang bener-bener sialan.

Pagi ini seperti biasa si pecinta ayam yang katanya pacarku itu menjenguk pacar aslinya. Dia mengabaikan fakta kalau sekarang masih subuh dan dia sudah mengenakan seragam sekolah.

Kali ini sudah aku pastikan dia niat sekolah. Dia bawa tas, badan, otak. Yah, walau kewarasannya ketinggalan di rumah.

Baru selesai mandi dan hendak mengeringkan rambut di depan tivi. Romeo tiba-tiba muncul membawa Juliet disebelahku.

“Eh, eh.”

Romeo duduk disebelahku masih memegang Juliet.

“Hm?”

“Makan sama ayam yuk.”

Pengering rambutku mati. Aku memandang Romeo  dan Juliet bergantian. “Hm...” tanggapku terkesima.

Dia mau makan ayam di depan pacarnya yang merupakan ayam. Bukankah itu artinya luar biasa?

“Ayam kemarin masih ada kok. Kalau mau ambil sendiri.”

“Hah?”

“Hah?”

Romeo bingung, aku ikut-ikutan bingung.

*

“Hm...” sekali lagi aku terkesima.

Jadi maksudnya makan sama ayam itu.

Ya... makan sama ayam. Romeo melempari makanan ke Juliet di teras belakang, dia juga memegang makanan untuk dirinya sendiri.

“Ayo Juliet makan yang banyak. Biar besar dan tambah cantik!”

Sekejap aku langsung membenturkan dahi ke tembok untuk mengutuki kebodohanku sendiri.

Padahal aku sendiri yang mengatakan kalau kewarasannya ketinggalan di rumah, tapi masih aja aku dibegoin.

Ah. Mending aku belajar daripada ngeliat keromantisannya yang nggak berdasar.

“Kamu rajin belajar ya.” Romeo tiba-tiba muncul di ruang keluarga. Dia duduk disebelahku menyilakan kakinya dengan senyuman cerah.

“Kamu sendiri nggak belajar buat besok?”

Romeo menggeleng. “Aku nggak suka belajar.”

“Tapi kamu jenius.” aku menghela napas. “Ngomong-ngomong aku penasaran. Kamu susah ngehapal nama orang ya?”

“Nggak.”

“Hah. Terus? Kamu nggak pernah manggil nama orang dengan bener kok!”

“Masa?”

“IYA!”

“Hehehe. Belum waktunya Karin tahu.”

“Namaku Kiran tahu!”

“Eh?”

Aku menepuk dahi.

“...mending kamu jujur deh. Kalo nggak bisa ngehapal nama orang. ”

“Karin sendiri... juga gitu.”

“Nggak dong. Aku hapal nama semua orang.”

Romeo memalingkan wajahnya.

“...tapi, aku belum pernah denger Karin manggil namaku.”

Ah!

Ucapan Romeo membuatku merasa bersalah. Kalau dipikir-pikir, sejak awal aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Romeo. Aku hanya memanggilnya dengan sebutan 'kamu'.

Entah secara sadar atau tidak sadar seolah-olah aku menghindari penyebutan namanya. Dan anehnya, aku tidak menyadari hal itu sama sekali.

Romeo berdiri, dia menepuk debu di celananya.

Tangannya terulur ke arahku dan saat aku melihat wajahnya, Romeo kembali seperti dia yang biasanya.

“Keran, aku bosen. Jogging aja yuk?"

“Boleh sih. Tapi nanti banyak keringat.”

“Nggak apa-apa. Keringat itu sehat.”

“Haaah... Iya, iya. Ay—”

Abaikan tentang rasa bersalahku sebelumnya. Aku benar-benar malu mengakui orang ini sebagai pacarku meskipun hanya kebohongan belaka.

“Hup! Ayo kita jogging Juliet.”

Dan di subuh itu, aku tidak akan pernah melupakannya. Karena hanya sekali dalam hidupku ketika jogging, banyak ayam jantan yang tiba-tiba berisik dengan suaranya, kucing yang lewat bulunya kesetrum, dan beberapa anjing yang menggonggong siap untuk menggigit.

Well, sebenarnya aku masih memikirkan perkataan Romeo beberapa saat yang lalu. Tapi sampai semua kejadian kebun binatang itu, pada akhirnya aku benar-benar lupa dengan omongan Romeo di hari itu.

Sampai akhirnya kebenaran itu muncul di waktu yang nggak tepat dan aku akan memanggil namanya dalam keheningan bernama perpisahan.

Comedic Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang