9

209 11 5
                                    

Ternyata Romeo itu...

Sakit.

Aku ditelpon siang bolong cuma buat dikasih tau kalau Romeo sakit. Iya, ya, lagian apasih yang kalian harapain. Jangan lupa genre nya masih komedi dan masih belum berubah sampai detik ini.

Mendengar telpon Mama Romeo aku langsung dijemput dengan Kakaknya—Erick kalau kalian lupa. Dengan mobil warna emas mencoloknya, dia memarkirkan mobilnya seolah biar semua pada sadar kalau dirinya semengkilap mobilnya. Maksudnya, ya, entah sengaja atau nggak. Kakaknya Romeo berpose bak model dalam majalah. Narsisnya orang ini level dewa pake banget.

Dan dilihat dari pakaiannya, kayaknya dia bakalan pergi untuk jalan-jalan.

“Bentar banget. Gue kira Lo bakal dandan, tapi kok nggak.” dia protes, aku hanya tertawa hambar.

Mungkin karena berpengalaman mengurus perempuan, Kakaknya Romeo refleks membukakan pintu untukku sebelum dia membuka untuk dirinya sendiri. Orang yang punya pengalaman memang beda. Terakhir kali Romeo membawa mobil dia yang malah meminta dibukakan pintu. Malahan aku disuruh duduk dibelakang karena kursi depan punya Juliet.

Kalau dipikirkan, kok malah mengesalkan ya.

“Udah tau nggak tahan dingin. Masih juga main hujan-hujanan. Lo jadi pacar yang becus dong. Kalo dia sakit gue juga yang repot. Padahal gue harusnya bisa PDKT sama Andina, lo tau nggak Andina? Dia tuh cewek paling kalem yang susah dideketin.”

Aku mendengarkan omelan Kakaknya Romeo dengan senyuman di wajah. Lagian mana mungkin dong aku bilang 'terus aku harus peduli gitu?'

Ntar aku makin diomelin sama Romeo versi dua ini.

“Nah kan, dia nelpon. Lo diem ya.” ancamnya saat mendengar suara ponsel berdering. Lagian walau nggak diminta, aku kan tenang-tenang aja dari tadi.

Halo, Din? Sorry, kayaknya aku bakalan terlambat. Aku harus mampir dulu ke apotek buat beli obat untuk adikku. Dia sakit, cuma aku yang bisa diandalin.”

Huewk! Rasanya pengen muntah dengar orang ini sok manis.

Kamu emang baik banget, tipe idaman banget deh. Tunggu sebentar lagi ya, Din. Muah!

Dasar drakula!!! Iyalah, serigala mah nggak cukup untuk mensinonimkan orang ini. HIH!

“Lo kalo jijik disembunyikan dikit bisa nggak. Sirik amat jadi orang.”

Aku tersenyum tipis. Haha. Aku lebih memilih jalan bareng Romeo daripada sama kakaknya. Biar nyebelin, seenggaknya Romeo murni tanpa wajah pangeran penipu.

Oh julukan yang bagus!

“Apotek paling lengkap ada dimana?” tanya Kakaknya Romeo memutar setir mobilnya berlawanan arah dengan kompleksnya.

“Di kompleks A kayaknya ada beberapa apotek,” aku berpikir sambil membuka daftar peta apotek di otakku.

“Terus di komples Y ada satu, di kompleks F ditambah cabang baru buka, ada 3—”

“Otak lo itu isinya hal-hal nggak penting ya.” komentar Kakaknya Romeo tiba-tiba dan kini mengarahkan mobilnya ke arah kompleks F.

Oke.

Aku nggak bakal ngomong apa-apa lagi.

***

“Maaf ya, Kiran, Mama harus ngerepotin kamu.”

Mama Romeo meminta maaf sembari memberikan banyak makanan sebelum aku memasuki kamar Romeo. Katanya untukku. Memangnya dikira aku bisa dimanfaatkan dengan semua makanan ini? Iya, memang.

Astaga. Aku mengakuinya.

“Tadinya Mama nggak mau merepotkan kamu. Tapi Romeo bahkan nggak mau membiarkan Mama menyentuhnya. Jadi, Mama pikir nelpon pacarnya aja.” Mama Romeo menghela khawatir.

“Anak itu, padahal dia mudah kedinginan.” gumam Mama Romeo, “Kalau gitu Mama serahkan ke kamu ya.”

Aku mengangguk. Beneran, aku nggak paham. Padahal tadi di telpon Mama Romeo kayak nangis. Sekarang aku paham, dia cuma parau kalau emang lagi batuk. Aku merasa dibohongi.

Mama Romeo meninggalkanku di depan pintu kamar Romeo. Saat aku masuk, Romeo sedang telungkup dengan selimutnya yang bergambar ayam. Walau ini kali pertamanya aku masuk ke kamar Romeo, aku tetap terbiasa dengan interior serba ayam ini.

Melihat kondisi Romeo yang seperti ini sesaat membuatku merasa bersalah. Seharusnya dia nggak usah bohong kalau kebal penyakit. Dia kan nggak perlu ngasih pakaiannya kemarin. Dia ini nggak jujur sama sekali.

Aku menghela nafas dan menyentuh dahinya. Demam beneran.
Saat hendak mengambil kompres yang tadi kubeli di apotek, tangan Romeo menarik tanganku seperti waspada.

Matanya mengedip-ngedip mencoba beradaptasi, lalu memanggil nama yang nggak pernah aku dengar. “Elly?”

Wajah Romeo tampak kusut, dia memandangku setengah sadar. “Maaf, ya, Elly. Mama masih nggak bisa diandelkan kalau soal ngerawat.”

Namaku Kiran.

Romeo tersenyum, “Aku seneng kamu datang, Elly, makasih ya.”

Aku... Kiran. Tapi dia... bisa menyebut nama orang yang sama dua kali ya?

Setelah itu Romeo kembali tidur dengan lelap. Cukup susah untuk melepaskan tangannya yang nggak mau melepaskan genggamannya. Seharian itu aku terus berada di rumah Romeo.

Sampai saat aku pulang pun, Romeo nggak bangun dari tidurnya. Sekalipun bangun, dia selalu saja setengah sadar seakan bermimpi.

Kakak Romeo mengantarku pulang saat sore. Seharusnya besok dia sudah sembuh. Meski nggak kebal penyakit, tapi Romeo juga mudah sembuh. Syukurlah aku nggak perlu merasa bersalah lagi karena kebaikan Romeo.

Dan karena terbiasa melihat Romeo tersenyum. Perasaan terbiasa itu membuatku lebih sadar. Saat itu aku tahu, bahwa senyuman Romeo hari ini sangat berbeda. Senyumannya saat ini lebih tulus.

Kalau saja senyuman itu memang untukku.

Saat aku sampai rumah, untuk beberapa alasan tubuhku merasa ada yang salah.

Sesuatu ada yang salah.

Aku ingin tahu apa itu.

Romeo, jangan terlalu baik padaku. Aku nggak mau jatuh...

***

04.01.2020

2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Comedic Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang