They say that life is about discovering your true self.
·§·
Hujan lebat mendadak turun di kota Geanra. Kumpulan awan kelabu yang sudah menaungi kota akhirnya membuang muatannya, membuat orang-orang yang tidak siap menjerit kaget sebelum mulai berlarian mencari tempat berteduh. Suara gaduh mereka teredam derasnya air hujan yang berjatuhan.
Memperhatikan, Arthfael Whits hanya bisa menghela napas lega ketika orang-orang memilih untuk berteduh di tempat yang cukup jauh dari jangkauan. Dia sudah memperkirakan hujan akan segera terjadi dengan awan yang menggantung berat di langit seperti itu. Untungnya ia dan dua remaja lainnya sudah lebih dulu diam di sebuah teras toko yang sedang tutup.
Arhfael baru berpikir untuk menikmati suasana hujan lebih lama ketika laki-laki berambut kemerehan yang tidak sengaja Zelda tabrak di taman tadi bersuara, memulai percakapan yang sebenarnya Artfael ingin mulai. "Kalian dari mana?"
"Perbatasan Silverwoods," jawab Arthfael cepat.
Si rambut kemerahan yang memperkenalkan diri sebagai Areil itu bersiul. "Wow, tempat yang rawan," komentarnya.
"Bagaimana denganmu?" Arthfael bertanya balik.
"Tidak jauh dari sini," Areil mengambil napas sebelum menambahkan, "tapi kini aku tidak punya tempat tinggal."
Seolah mengerti tatapan yang diberikan Whits bersaudara, ia menjelaskan lebih rinci, "Tempat tinggalku didatangi Apsychos beberapa hari lalu. Sudah jelas itu tidak bisa diselamatkan."
"Maaf untuk itu."
"Tak apa," Areil mengangkat bahu. Laki-laki itu mendorong tubuhnya untuk berdiri, tidak lagi bersandar pada dinding. Irisnya bertemu dengan iris menenangkan Arthfael. "Yah, kini aku tak tahu harus bagaimana, mengingat kalianlah Pelampau Batas lainnya yang pertama kali kutemui. Omong-omong, apa kalian sedang dalam perjalanan atau semacamnya?"
"Sebenarnya, iya," Arthfael menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi kami berdua terpisah dan kehilangan jejak. Tidak tahu sihir apa yang dipakai, tapi adikku sampai kesulitan mencarinya," terangnya, sedikit melirik Zelda yang terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Areil menggeleng-geleng. "Itu pasti menyulitkan."
"Begitulah."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Kali ini, Arthfael butuh waktu lebih untuk memikirkan jawabannya. Pertanyaan Areil benar-benar menyentaknya. Apa yang akan dia lakukan? Kehilangan jejak tidak seharusnya membuat dirinya luntang-lantung tak tahu tujuan. Tapi, apa? Dia harus bagaimana? Mustahil untuk menyusul karena tidak ada diantara mereka yang dapat membuka portal.
Tanpa menatap lawan bicara, Arthfael akhirnya berkata, "Sejujurnya, kami tidak tahu."
Arthfael bisa merasakan Areil berjengit kaget, mungkin laki-laki itu tidak mengharapkan jawaban demikian dari mulutnya. Arthfael pun menginginkan sebaliknya. Ia ingin melakukan sesuatu.
"Rencana kami adalah menemui Bianne dan kembali ke Everlode. Kami tidak bisa sembarangan mencari Bianne ataupun teman kami karena Apsychos yang bermunculan semakin banyak belakangan ini. Dan kami paham sekali tidak ada yang bisa membuka portal selain garis keturunan Archriver atau mungkin Casthearer," Arthfael melanjutkan. "Mungkin kau punya sebuah rencana yang bisa diceritakan?"
Areil menggeleng, mengangkat kedua tangannya ke udara. "Seperti yang kubilang, Bung. Aku tidak berpegalaman pada hal ini. Seumur hidupku, walaupun aku adalah seorang Penjaga, aku bersembunyi. Aku bahkan belum pernah bertemu Pelampau Batas lain secara langsung."
"Pusaka apa yang kau jaga?"
Merogoh saku celananya, Areil menunjukkan sebuah batu yang berkilau tertimpa sinar lampu jalan yang terbiaskan. Unik. Arthfael merasa Areil terlalu polos—mengabaikan tampilan luar anak laki-laki berambut kemerahan itu yang seperti tokoh laki-laki utama dalam film romansa—untuk dititipkan benda yang berharga seperti itu.
Arthfael kemudian menengadahkan kepalanya, menarik napas, berpikir mungkin cara itu bisa digunakannya agar tenang dan barangkali, mendapatkan sebuah rencana.
Suara hujan mengisi keheningan yang sangat terasa di antara mereka. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mencari celah untuk menyelesaikan semua ini tanpa perlu bertemu banyak Apsychos karena kekuatan yang mereka miliki sedikit.
Petir menyambar. Beberapa menit kemudian hujan malah semakin melebat. Angin kencang meniup pohon-pohon besar di trotoar seolah ingin menerbangkannya. Petir menyambar sekali lagi. Meninggalkan kilat cahaya dan suara bergemuruh kuat di langit.
Zelda menjulurkan tangannya ke air hujan yang menetes deras dari ujung atap toko. Matanya masih memandang kosong ke depan, namun Arthfael dapat melihat sebuah kilatan di sana. Gadis berambut cokelat itu membiarkan telapak tangannya terbuka, merasakan bagaimana aliran air menyusup ke sela-sela jemarinya, jatuh ke tanah.
"Keberadaannya lemah," Zelda mengangkat kepalanya, menatap Arthfael dengan sedikit senyuman. "Tapi aku merasakan sesuatu."
"Apa itu? Pelampau Batas lain?" Arthfael mendadak semangat. Sementara Areil hanya menatap kakak-beradik itu dengan bingung.
Zelda menggeleng. "Aku merasakan Casthearer. Tapi sangat lemah."
"Di mana?"
Jari telunjuk Zelda menunjuk lurus ke depan mereka. Toko swalayan yang mendadak ramai karena hujan.
"Er, kau tidak berpikir seorang Casthearer sedang beli kopi di swalayan sana, 'kan?"
Sebuah tendangan di kaki langsung Arthfael dapatkan. Zelda, sebagai si pelaku penendangan, mendengus. "Tentu tidak. Maksudku, ia berada di arah sana. Pasti lewat jalan itu."
"Yah, kalau begitu, ayo kita terobos hujannya."[]
·
·
·
·
·······················································
············ ~ Bersambung ~ ············
······················································
KAMU SEDANG MEMBACA
The Immortal Heirloom: Darker
FantasíaSetelah terjadi penyerangan di Tempat Perlindungan mereka, para Pelampau Batas--orang-orang yang memiliki kemampuan melebihi manusia biasa--yang tersisa dengan terpaksa harus kembali bertahan hidup di dunia yang sama dengan manusia biasa. Dunia di m...