Nyawa mereka berapi-api seperti nyala lilin, dan dapat dipadamkan semudah lilin juga.
-Cassandra Clare, City of Bones
·§·
Kobaran api di tungku perapian yang tadinya meredup, memercik membesar seiring dengan kelopak mata Roisin yang perlahan berangsur terbuka.
Wanita itu menundukkan kepalanya, menatap satu per satu batu yang berserakan di dekat kakinya, membentuk sebuah tanda yang harus dibacanya dengan teliti.
Dahinya berkerut dalam, lantas menggeleng saat otaknya berhasil menyimpulkan sebuah petunjuk dari posisi batu-batu itu. Petunjuk yang tidak bagus sama sekali. Buruk. Tidak yakin, Roisin mengedipkan matanya dan kembali menekuni batu-batu itu, berusaha membacanya lebih teliti dari sebelumnya. Namun ia tidak bisa menemukan jawaban lain.
Tangan kurus wanita itu bergerak untuk memijat pelipisnya, saat kepalanya tiba-tiba saja mulai berdebum menyakitkan.
Roisin melangkahkan kakinya menjauh perlahan dari perapian, dengan mata yang terpejam rapat demi meredam nyeri yang semakin menusuk di kepalanya. Wanita itu bahkan tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak meringis keras.
Reagan dan Leicah. Dua nama itu terus diteriakkan di kepalanya. Seperti ada rekaman yang berputar di sana, menunjukkan bagaimana kedua gadis itu akan mengalami masa yang sulit--karena dirinya dan kecerobohannya.
"Bu?"
Roisin menoleh ke asal suara. Leicah menyembulkan kepalanya dari balik pintu dan melangkah ke arahnya dengan takut-takut.
"Maaf aku sembarangan masuk. Aku tadinya ingin mengetuk, tapi kudengar kau mengaduh," jelas gadis itu. Mata amber-nya tidak berbohong. "Apa kau baik-baik saja?"
Roisin mengulum senyum kecil meyakinkan. "Aku tidak apa-apa. Kenapa kau belum tidur?"
"Tadinya sudah, tapi aku terbangun," Leicah menjawab pelan dengan nada enggan. Tapi Roisin bisa langsung mengerti apa yang dimaksudkan oleh putrinya itu.
"Aku punya pekerjaan yang harus di selesaikan," jemari Roisin menunjuk tumpukan kertas di meja yang ada di dekatnya. "Tapi, kalau kau sangat ketakutan—"
"Oh, tak apa," sela Leicah, ia melirik sekilas pada kertas-kertas itu. "Aku akan ke kamar Reagan saja. Kurasa dia belum tidur," kata gadis itu sambil mengambil langkah mundur.
"Leicah," Roisin memanggil saat gadis itu sudah hampir menutup pintu. Gadis itu menatapnya dari balik bahu, menunggunya untuk meneruskan bicara. "Jangan masuk tanpa mengetuk lagi." Roisin mengatakannya dengan nada halus, sama sekali tidak terdengar mengancam. Namun Leicah bisa menangkap kalau ibunya benar-benar tidak menyukai tindakannya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Immortal Heirloom: Darker
FantasiSetelah terjadi penyerangan di Tempat Perlindungan mereka, para Pelampau Batas--orang-orang yang memiliki kemampuan melebihi manusia biasa--yang tersisa dengan terpaksa harus kembali bertahan hidup di dunia yang sama dengan manusia biasa. Dunia di m...