TWENTY NINE

1.9K 119 17
                                    

Malam ini Brianna duduk dibalkon dan dia memandang kearah langit. Langit malam ini sangat gelap. Tidak secerah biasanya. Tidak ada bintang, bahkan bulan pun tertutup awan hitam.

Brianna masih menatap kosong ke arah langit. Pikiran Brianna kini tidak karuan. Dia lagi-lagi memikirkan ucapan Cakra beberapa hari lalu. Seperti nya laki laki itu mencoba memperbaiki hubungan mereka yang menurut nya sudah tidak pantas lagi diperjuangkan. Mengapa? Karena hati Brianna sudah tidak mampu menahan rasa sakit setiap kali berada di dekat Cakra.

Suara notifikasi ponsel membuyarkan lamunan Brianna. Kemungkinan hanya grup kelas yang sibuk menanyakan hal yang tidak penting. Ditambah dengan grup kelas semasa Brianna SMP, banyak sekali yang menanyakan keberadaannya. Namun yang paling mencolok adalah nama seseorang yang sedari tadi tidak henti henti mengirim pesan pada nya. Brianna membuka room chat nya dengan orang itu yang tidak lain adalah Cakra.

Na, gue didepan gerbang rumah lo.

Na, bukain please. Disini dingin.

Na, gue bisa ngeliat lo dari bawah sini.

Cewek ga baik melamun ntar kesambet :v

Na. Lo gak mau bukain gerbang buat gue?

Please, sebentar aja, gue mau ketemu sama lo

Lo bahkan ga denger teriakan gue, apa lo pura pura ga denger?

Yaudah kalau ga mau bukain, seenggaknya gue masih bisa ngeliat wajah cantik lo

Gue pulang ya?

Na, lo serius ga mau ketemu gue?

Gpp, gue pulang dulu. Makasih

Brianna menjatuhkan pandangannya kebawah. Cakra sudah memasuki mobil dan duduk di kursi kemudi. Dia ingin mengejar namun anggota gerak tubuhnya tidak bisa digerakkan seperti mati rasa. Mobil mewah itu sudah melenggang sampai melesat dari tikungan di dekat rumahnya. Brianna kembali melihat ponselnya, ada satu vn yang dikirimkan oleh Cakra.

Makasih karena lo udah mau ngeliat gue, walaupun sebentar tapi gue seneng. Gue pulang dulu, lo istirahat aja. Bye

Entah mengapa jemari Brianna mulai menari diatas keyboard ponselnya untuk mengetikkan suatu pesan kepada Cakra.

balik.

Tak sampai 5 menit, Cakra sudah turun dari mobilnya dan menatap sambil tersenyum ke arah jendela Brianna. Gadis itu pun sudah turun dari kamar nya untuk menemui Cakra. Suara gerbang yang dibuka pelan mengisi keheningan antara dua insan tersebut.

"Masuk, Kra."

"Gue disini aja."

"Seenggaknya duduk di teras."

"Nggak usah, gue mau bicara sama lo."

"Aku nggak kuat berdiri lama lama. Kamu juga tahu, kan?"

"Kalau gitu di mobil aja ya. Gue nggak bakal apa apain lo kok."

"Nggak usah deh. Disini aja kalau gitu, cepetan."

Cakra menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. Dan mengulang kegiatan itu dengan berat. Hingga suara helaan napas yang terdengar sangat berat untuk disampaikan membuat keduanya merasa sama sama lelah atas permainan takdir.

"Gue udah nggak ada tempat lagi dihati lo?"

"Jadi kamu datang kesini cuma mau nanya itu, nggak penting."

"Ini penting, Na."

"Apanya yang penting, Kra? Kita udah selesai. Aku sama kamu udah selesai."

"Mungkin bagi lo, kita udah selesai. Tapi bagi gue, ini semua baru permulaan. Lo mau nyerah sebelum memulai, seenggaknya sekarang kita berjuang sama-sama. Gue tahu gue salah, tapi lo juga salah paham. Kita cuma dibodohi sama kesalahan yang kita perbuat sendiri, itu intinya."

"Kasih gue kesempatan Na, gue akan berjuang untuk lo bahagia. Gue nggak akan kisah kita berat sebelah dimana cuma satu pihak yang berjuang. Gue janji Na, gue janji."

"Mendingan kamu nggak usah janji kalau nantinya bakalan dilanggar. Semua orang tahu kalau janji itu cuma penenang."

"Aku cinta sama kamu, Kra. Tapi aku udah nggak bisa lagi sama kamu, karena kepercayaan aku ke kamu udah terkikis setiap kali kamu nyakitin aku sama kenyataan yang kamu sembunyiin."

"But, I love you, Brianna."

"Lupain. Kebahagiaan kita bukan cuma tentang cinta."

"Aku boleh minta sesuatu sama kamu?"

"Selama gue bisa sanggupin gue bakalan ngasih apapun itu."

"Aku mau kamu pergi dari hidup aku, biarkan kisah ini selesai untuk selama-lamanya."

"GUE NGGAK BISA!"

"Tapi setiap kamu ada di dekat aku, aku terus ngerasain sakit!"

Cakra tertegun. Hatinya benar benar sakit mendengar ucapan Brianna.

"Oke kalau itu kemauan lo. Gue akan berusaha wujudin. Gue pulang dulu, lo jangan nangis, gue baik baik aja."


***


Hampa. Hal yang paling Brianna rasakan selama seminggu ini tanpa ada Cakra. Sosok laki laki itu tak pernah tertangkap oleh retina mata nya, layaknya menghilang dari muka bumi. Entah mengapa, kepergian Cakra dari hadapannya semakin memperburuk keadaan hatinya. Seperti ada bagian yang semakin hancur. Seminggu ini sudah Brianna berdiam diri di rooftop. Tempat yang sering dikunjungi Cakra dan teman temannya, dulu.

Brianna melihat notifikasi yang masuk di ponselnya. Nama Vera dan Vero tertera paling atas. Dan dibawahnya, nama Cakra tertera. Laki laki itu mengirim vn padanya sekitar pukul 11 dan belum sempat didengarkan karena Brianna sudah sangat mengantuk.

Lo tahu apa yang paling nyakitin hati gue, disaat lo nyuruh gue untuk menjauh, rasanya sakit Na. Lo dan ucapan lo bagaikan petir yang menyegat hati gue. Do you want to kill me with your blue?

Lagi dan lagi, kala Brianna ingin melupakan segala kenangan dengan Cakra, suara laki laki itu terus-menerus berdengung di telinga nya. Tetesan air mata mulai jatuh seiring dengan langit yang menjatuhkan tangisnya.

"Gue nggak suka hujan, dan tempat ini karena semuanya mengingatkan gue tentang lo, Kra." lirih Brianna. Dia memang sangat takut dengan hujan, apalagi dengan kilatan kilatan biru yang mencekam bercampur dengan gemuruh-gemuruh yang bergejolak akan membuatnya semakin ketakutan.

BBS (1) : CAKRA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang