Kisah Manis

1.1K 42 2
                                    

Sekarang aku melupakan satu hal. Satu hal bahwa kita tak boleh terlalu senang karena kesenangan itu akan berakhir dengan suatu kesedihan. -Ana

•••

"Bunda, aku bantuin masak ya." pinta Ana saat melihat Bunda sibuk menyiapkan makan siang untuk mereka sekeluarga. Bunda menganggukkan kepala dan memanggil Ana untuk mendekat.

"Nah, kamu potong-potong ini ya." Ana menganggukkan kepala saat diberi tugas memotong bawang merah, bawang putih dan beberapa sayuran lainnya. Tak lama Kinnan ikut bergabung untuk membuat menu makan siang mereka.

"Jangan pakai cumi, Bun. Kakak gak suka."

"Kamu suka cumi, Sayang?" tanya Bunda ke arah Ana dan menghiraukan larangan dari sang anak tertua.

"Suka sih, Bun." senyuman Bunda melebar dan Kinnan menundukkan kepala seakan ia kalah di medan peperangan yang ia dan Bunda ciptakan.

"Bunda tega."

"Loh, kan Bunda mau masakin menu spesial buat calon mantu Bunda." pipi Ana seketika memerah karena ucapan Bunda yang ditujukan untuk sang anak tertua yang memasang wajah cemberut.

"Giliran Ana, Bunda pake masak segala, coba yang ke sini Calvin, mana mau Bunda repot-repot masak."

"Emang Calvin cewek?" pertanyaan Bunda mampu membuat Kinnan terdiam dan melangkahkan kaki keluar dapur dengan langkah yang dihentak-hentakkan.

"Kamu jangan dipikirin omongan tadi ya, kita memang biasa seperti itu."

"Iya, Bunda."

Bunda. Entah mengapa saat mengucapkan kata itu hati Ana menghangat, ia seakan memiliki seseorang yang dapat dipanggil dengan sebutan Ibu.

"Kamu suka makan sayur apa?" tanya Bunda sembari tangannya sibuk mengaduk sop di wajan dan menolehkan kepala sejenak ke arah Ana yang sekarang sedang memotong beberapa sayuran untuk dimasukkan ke dalam sop.

"Aku suka banget sama plecing kangkung, Bun. Waktu itu, Bibik buatin pakai resep yang dikasi sama anaknya, eh ketagihan deh sampai sekarang." cerita Ana dengan semangatnya sampai Bunda melihat ada binar di kedua mata Ana dan Bunda tersenyum melihat hal itu.

"Besok-besok Bunda masak plecing kangkung deh buat kamu."

"Yang bener Bun? Asik!" seru Ana dengan heboh sampai ia memeluk Bunda yang dibalas dengan pelukan hangat Bunda.

"Makanya kamu sering-sering main ke sini, ya." perintah Bunda yang dibalas dengan gerakan tangan seperti menghormat oleh Ana.

"Bunda, kenapa pacarku dibawa sih, kan aku juga mau sayang-sayangan." ucapan Dylan membuat Bunda menolehkan kepala dengan cepat dan secepat itulah telinga Dylan dijewer sang Bunda. "Aku salah apalagi sih Bun?"

"Sayang-sayangan, inget kamu masih sekolah, belum lulus juga udah mau sayang-sayangan sama pacar!"

"Loh, emang salah, Bun?"

"Pake nanya lagi!" Bunda menolehkan kepala ke arah Ana dengan senyuman yang berbanding terbalik dengan wajahnya saat menatap Dylan, penuh intimidasi. "Kamu tendang aja ya, kalau Dylan macem-macem."

Ana membalasnya dengan mengacungkan ibu jarinya dengan semangat serta mengembangkan senyuman di bibirnya. Sedangkan Dylan mengerucutkan bibirnya dengan sebal karena aksi Bunda didukung penuh oleh Ana.

"Kok kamu dukung Bunda sih, Yang? Pacar kamu aku atau Bunda?" tanya Dylan dengan tak terima dan dibalas oleh gelak tawa Ana dan Bunda tentunya.

DylanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang