Senang dan Sedih Satu Paket

932 30 4
                                    

Seharusnya aku tidak menggantungkan hidupku kepada orang lain, karena aku tahu, tak ada yang akan berdiri di sampingku sampai akhir. -Ana

•••

"Eh, Jeng. Si anak gadis tetangga sebelah sering keluyuran pas malem-malem tahu." bisik seorang Ibu di tengah gerombolan yang sedang membawa barang belanjaannya, tak lupa ia melirik rumah di sebelah tempat berkumpulnya mereka.

"Masa sih?" ujar seorang Ibu lainnya dengan tak percaya. "Adiknya Radit?"

"Iya, Jeng. Dia selalu pulang pagi loh."

"Ah, yang bener, Bu?"

"Iya, bener. Kemarin ya, saya lihat dia pulang pagi dianter sama cowok." ujar Bu Fitri, ibu-ibu komplek yang dijuluki biang gosip. Para ibu-ibu yang lain mengerubunginya meminta informasi lebih perihal gosip yang ia paparkan.

"Terus ya--" suara deheman membuat para ibu-ibu itu menolehkan kepala ke arah sumber suara dan memalingkan wajahnya serta berpencar menuju rumah masing-masing.

"Dasar ibu-ibu tukang gosip!" seru Ana yang terdengar oleh para ibu-ibu yang melangkah tak jauh dari tempat Ana. Ana mendengus sebal sebelum melajukan mobilnya dengan menekan klakson dengan nyaring saat dua orang ibu berjalan di jalan trotoar dan menghalangi laju mobilnya.

"Tau apa mereka tentang hidup gue?" lirih Ana menitikkan air mata dan sebelah tangannya menutupi dahinya yang mengerut.

Ana melajukan kendaraannya mengelilingi ibukota tanpa berniat ketujuan awal yaitu sekolah. Niatnya sudah menghilang karena ia dicampakkan kekasihnya dan sahabatnya pula, dan tadi ia mendengar hal negatif yang ada dalam pikiran orang lain. Hal itu membuatnya semakin tidak memiliki niat, toh tanpa ataupun belajar sekalipun tak ada pengaruhnya dengan dia.

Ia menyusuri jalanan yang sangat ia kenal, tanpa sadar ia membawanya ke tempat ini, tempat di mana momen bahagia sempat terukir.

"Selamat Pagi, ada yang bisa saya bantu," ujar seseorang tanpa melihat siapa yang berkunjung, saat ia membalikkan badan yang ia lihat sungguh mengejutkannya. Ana dengan senyum lebar yang jarang ia pamerkan kini memamerkannya dengan mudah ke Vio.

"Kak Vio, aku kangen!" Ana menghamburkan dirinya ke dalam pelukan hangat seseorang yang telah ia anggap sebagai kakak sendiri, kakak perempuannya.

"Kakak gak kangen kamu," Ana terburu-buru melepaskan pelukannya dan memanyunkan bibirnya serta hendak meninggalkan toko. Vio yang melihat tingkah kekanakan Ana hanya dapat menariknya kembali ke dalam pelukannya. Karena ia tahu, hanya inilah yang Ana inginkan saat ini.

"Kamu kenapa gak sekolah?" tanya Vio menyelidik saat mereka telah menguraikan pelukan dan ia melihat Ana masih mengenakan seragam sekolahnya. Ana membalasnya dengan cengengesan tanpa mengeluarkan satu patah katapun.

"Aku bantuin jaga toko, ya?" Ana mengedipkan matanya dan memasang wajah menggemaskan yang selalu berhasil saat bersama dengan Radit.

"Tapi, kamu pakai seragam,"

"Aku bisa pakai baju Kak Vio yang di kamar, oke?" Ana dengan seribu sepuluh alasan yang membuatnya mencapai yang ia inginkan tak dapat dicegah oleh siapapun juga. Vio yang pasrah hanya bisa menganggukkan kepala dan mengacak pelan rambut Ana yang tengah memasang senyuman manis.

DylanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang