Perubahan Besar Ana

2.4K 46 8
                                    

Aku tak butuh mereka yang selalu mengalahkan ku, aku hanya butuh seseorang yang mengerti dan menggenggam erat tanganku. -Ana

•••

Dua tahun berlalu menyisakan pahit dan manisnya kehidupan, begitupula dengan Ana yang masih tak bisa melupakan rasa sakit yang pernah ia alami. Setelah kembali dari rumah sakit, ia menjadi Ana yang berbeda, tak ada senyuman di wajah manisnya. Sampai pengumuman kelulusan telah terlewati dan di sinilah ia berada saat ini.

Kota yang sangat jauh dari kota tempat ribuan luka memenuhi sekujur tubuh dan hatinya. Selama dua tahun ini pula, Ana menjalani terapi dan secara rutin melakukan perawatan di rumah sakit.

Kuliah di negara orang tanpa seorangpun kerabat kadang membuatnya sedih, namun di balik itu ia bersyukur karena tidak bertemu dengan orang-orang yang membuatnya terpuruk.

Dua tahun pula menjadi tahun-tahun mengerikan bagi Ana yang saat itu menjalani kuliah di luar negeri sembari bekerja untuk kebutuhan sehari-hari, biaya kuliah dan modal untuk usaha yang akan ia dirikan. Kedua orang tuanya bukan tidak memberikan uang yang cukup padanya, sangat cukup malah. Namun, Ana tak menggunakan uang mereka sepeserpun.

Di sinilah ia berada, berdiri dengan kedua kakinya sendiri di hadapan sebuah bangunan dengan nuansa merah yang berbau kue. Toko kue red velvet miliknya sudah berdiri sejak enam bulan yang lalu. Dengan semua waktu yang Ana punya untuk melakukan semua part time job yang ia bisa lakukan serta diimbangi dengan tugas kuliah yang cukup banyak tak membuat Ana kewalahan dengan semua itu.

Bahkan ia sampai hafal diluar kepala jadwal yang ia lakukan selama satu setengah tahun berada di negeri asing. Pagi sebelum berangkat kuliah ia harus mengantarkan koran dan susu ke rumah-rumah. Sesudah kuliah ia mengambil part time di sebuah mini market dan cafe. Setelahnya ia memasak untuk makan malam dan belajar.

Setiap titik keringat yang ia keluarkan kini menghasilkan sesuatu yang sudah lama ia dan Radit harapkan, kerja kerasnya terbayar sudah. Ana tersenyum puas di hadapan toko kue yang ramai dikunjungi oleh pelanggan siang ini.

Setelah selesai kelas ia bergegas menuju ke toko untuk membantu pegawainya menjalankan toko. Denting bel saat ia memasuki ruangan membuatnya menolehkan kepala dengan nampan yang berisi minuman di tangan kirinya.

Sosok yang selama dua tahun ini tak pernah ia lihat kini menampakkan dirinya di hadapan Ana. Ana membalikkan badan dan menyerahkan nampan berisi minuman itu ke pegawai yang melewatinya. Langkah Ana terhenti saat lengannya dicekal oleh orang yang tak ingin ia temui.

"Na, kita perlu bicara,"

"Gak ada yang perlu gue bicarakan lagi, Lan." Ana menghempaskan cekalan tangannya dan membalikkan badan disertai tatapan sinis pada Dylan dan membalikkan badan tanpa menolehkan kepala ke Dylan yang memandanginya sendu.

Ana memasuki ruangannya dengan cemas. Sesekali ia melirik kaca ruangan yang dapat melihat suasana toko, namun orang dari luar tidak dapat mengetahui sesuatu yang ada di dalam ruangan itu. Dari sana Ana dapat melihat Dylan yang duduk dan memesan sepotong kue red velvet sembari memandang ke arah kantor Ana.

Ana menarik napas panjang dan mengabaikan keberadaan Dylan dengan melihat laporan-laporan keuangan tokonya. Teringat jelas dalam benaknya saat hari di mana keputusan besar itu ia ambil. Ana menghentikan pekerjaannya dan memandang datar ke arah depan.

Semilir angin membawanya melayang jauh ke kejadian dua tahun yang lalu. Pancaran hangat sang mentari mengingatkannya pada kenangan manis yang tak pernah bisa ia lupakan.

Saat itu Ana duduk sendirian di sebuah toko roti yang akhir-akhir ini menjadi langganannya. Ia memandangi bruscetta yang hampir habis dengan tatapan datar, dimakannya sisa bruscetta itu dan mulai beranjak dari duduknya.

Ana menghentikan langkahnya saat sepasang sepatu tepat berdiri di hadapannya, ia mendongakkan kepala dan melihat Dylan yang tersenyum dengan keringat di sekujur tubuhnya. Ana memandangi Dylan datar dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Maaf, Yang," ucap Dylan meminta maaf atas kesalahannya yang membuat Ana menunggunya dengan waktu yang lama.

Ana hendak berjalan melewati Dylan, namun bahunya ditahan oleh sang kekasih yang menampakkan wajah bersalah. Ia menghela napas sejenak sebelum berbalik dan menatap Dylan tanpa minat.

"Maaf, ya. Janji ini yang terkahir kamu nunggu aku, setelah ini aku gak akan biarin kamu yang akan nunggu aku." Berbekal kata-kata manis dan kalimat sakral yang berbunyi kata traktir kue red velvet membuat hati Ana goyah dan berujung pada sebuah meja dengan red velvet yang menggugah seleranya. Ya, kesabarannya hanya seharga kue red velvet, namun ia selalu menyukai suasana dengan red velvet di hadapannya dan juga seseorang yang berada di hadapannya.

•••

Bunyi ketukan pintu menyadarkan dirinya pada kehidupan sekarang dengan dirinya yang berada di kantor toko kuenya dengan Dylan yang sedang menikmati kue serta menunggunya. Tanpa sadar, Ana tersenyum kecil sebelum mengatakan pada seseorang yang berada di luar ruangan itu untuk masuk.

Vio yang ia anggap sebagai saudara perempuannya setelah satu tahun ia menikmati pahitnya negeri orang akhirnya menyusulnya dan tinggal di sebuah apartemen dengannya.

"Kenapa Kak?" tanya Ana tersenyum dan mengikuti langkah Vio yang duduk di sofa dekat dengan sebuah almari yang dipenuhi novel dan buku masakan.

"Di depan ada Dylan," sahut Vio tersenyum hangat dan membuka lebar tangannya yang membuat Ana masuk ke dalam pelukannya. Vio mengusap rambut Ana dan mendengarkan setiap keluhan yang Ana sampaikan saat bertemu dengan Dylan tadi.

"Bagaimanapun juga kamu harus bertemu dengannya dan berbicara dengan baik agar kamu bisa berdamai dengan masa lalu dan melanjutkan kembali kehidupanmu."

Ana terdiam mencerna ucapan Vio yang ia akui benar, namun pikirannya selalu menolak semua hal yang bersangkutan dengan masa lalunya yang kelam.

Vio telah kembali ke party room untuk mendekorasi ruangan dengan bunga-bunga dan kertas warna-warni untuk pesta nanti malam meninggalkan Ana bergelut dengan pikirannya, memutuskan langkah mana yang akan ia ambil.

Keputusan Ana telah matang, ia beranjak dari ruangannya dan menghampiri Dylan yang terdiam dengan cappucino di tangannya, Ana menyadari jika Dylan sedang tak baik-baik saja.

"Ah, hai." sapa Dylan saat menemukan sosok Ana berjalan ke arahnya dan duduk di hadapannya.

"Apa yang mau kamu bicarakan? Aku tak punya banyak waktu." ujar Ana dengan ketus, ia bahkan tak menatap Dylan yang tersenyum sendu melihat perbuahan yang ia rasakan pada diri Ana.

"Aku mau berbicara soal kita, kita dua tahun yang lalu," Dylan tersenyum sendu dan hendak menggenggam tangan Ana, namun Ana lebih dulu menariknya dan memalingkan wajah.

"Sepertinya tidak ada yang per-" ucapan Ana terpotong saat seseorang menepuk pundaknya yang membuat Ana menolehkan kepalanya dan tersenyum dengan lebar saat mengetahui siapa yang menghampirinya.

"Kak Radika! Kenapa ke sini?" Ana bangun dari duduknya dan bergelayut manja pada lengan Radika mengabaikan wajah terkejut dan muram Dylan. Antusias Ana berbanding terbalik saat ia berhadapan dengan Dylan, dalam pikiran Dylan muncul banyak pertanyaan dan yang jelas bukan pertanyaan yang bagus.

•••

End

•••

Kisah Dylan dan Ana sudah berakhir di sini dan akan dilanjutkan dengan kisah Andriana sebagai sekuel dari Dylana.

Terimakasih telah membaca kisah rumit Dylana dan sampai bertemu di kisah Andriana

Masih banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran kalian? Semua akan terjawab dalam sekuel Andriana nantinya

DylanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang