"Kamu darimana saja, Dek?" Tanya Ayah dengan wajah khawatir dan menjitak kepala Dylan sehingga Dylan mengaduh kesakitan.
"Jalan-jalan, Yah," jawab Dylan seadanya. Ia tak ingin menjelaskan lebih lanjut, takut ia keceplosan dan semuanya akan runyam.
"Pasti ngapelin gebetan Adek ya?" Goda Bunda saat melihat senyuman Dylan yang berbeda dari biasanya.
"Yasudah, sana kamu istirahat."
Dylan mencium kedua pipi Bunda dan melangkah menuju kamarnya dengan senyuman yang tak kunjung pudar.Akhirnya dari enam misi, ia hanya berhasil menyelesaikan dua. Setidaknya, misi stalkernya tidak gagal total.
***
Ana baru saja memasuki rumah ketika mendengar Mama yang berteriak kepada Papa mengenai sesuatu hal yang tak di ketahui Ana.
"Seharusnya anak kita masih di sini!"
"Kamu gak bisa menyalahkan dia, sayang,"
"Dia yang salah! Kalau kamu lupa!"
"Sayang, sudah. Nanti ada yang dengar,"
"Biarkan! Aku tidak peduli!"
Ana berjalan dengan cepat menuju kamar dan menutup pintunya dengan tergesa. Ana selalu mendengar teriakan Mama setelah kecelakaan tiga tahun yang lalu.
Peristiwa yang membuat hidup Ana berubah seratus delapan puluh derajat. Ana yang dulu ramah, selalu tersenyum dan sopan terhadap orang lain. Berbanding terbalik dengan Ana yang sekarang, cuek terhadap apapun, tidak pernah tersenyum dan selalu mencari permasalahan pada orang lain.
Satu sayatan ia ukir di bahunya tanpa membuka pakaiannya, tak memperdulikan bajunya yang ikut robek akibat goresan tajam pisau yang mengenai kulit bahunya.
Semua itu ia lakukan hanya sebagai pelampiasan rasa sakitnya. Ana yang sekarang juga di perlakukan berbeda dengan Ana yang dulu. Apalagi Mama, ia memperlakukan Ana seolah Ana bukan anaknya. Bentakan, teriakan, pandangan sinis, semua telah Ana lewati saat Mama berada di dalam satu rumah yang sama dengan Ana.
Dua sayatan ia goreskan dengan pisau yang selalu menemaninya selama ini. Ia tak merasakan sakit, justru ia semakin tersenyum melihat darah mengalir sepanjang dada dan punggungnya.
Apa salahnya? Pertanyaan itu selalu memenuhi pikirannya.
"I miss you so bad, Bro." Ana mengambil foto yang terpajang di meja belajarnya. Foto yang terdiri dari seorang anak perempuan berusia lima tahun yang tengah di gendong di pundak seorang laki-laki berusia dua belas tahun yang tampak tersenyum bahagia.
Tiga sayatan ia layangkan pada bahunya tanpa memperdulikan darah yang terus mengalir atau rasa sakit akibat tajamnya pisau yang menggores kulit bahunya dengan langsung. Ia menitikan air mata, bukan karena sakit akibat goresan pisau, melainkan karena sakit di hatinya.
Raditya Emmanuel Enderson. Seorang mahasiswa lulusan Oxford University dengan nilai yang sangat memuaskan. Anak sulung keluarga Enderson yang sangat di banggakan. Semua orang menyukai Radit yang ramah, selalu membantu dan selalu bersikap sopan terhadap semua orang tanpa terkecuali.
Banyak nilai positif yang di keluarkan Radit terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan rencananya ia akan menikahi tunangannya. Dianna Saphire Alexandra.
Empat sayatan yang membuat senyum Ana makin lebar namun semakin lebar senyumannya, semakin deras air mata yang ia keluarkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/91487019-288-k140197.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylana
Teen FictionAna yang seorang Bad Girl di sekolahnya harus mau merelakan waktunya yang berharga untuk Dylan, seorang Most Wanted di sekolah tetangga. Ana bingung kenapa Dylan selalu mendekatinya, ia selalu tak menanggapi ajakan Dylan setiap mengajaknya pulang be...