Gracia POV
Hari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan untukku. Bagiku, saat-saat sendirian bersama laptop dan secangkir teh hangat lalu mengedit foto-foto hasil hunting pribadi sampai lupa waktu adalah kebahagian sendiri. Bukan untuk dikirimkan ke mana, murni hanya untuk koleksiku sendiri. Kadang kalau lagi bosen atau lagi mumet aku suka ngeliat foto-foto lamaku untuk kesenangan sendiri. Aku bahkan masih menyimpan foto pertama yang aku ambil sebagai fotografer profesional.
Namun—kenyataannya--hari ini—duniaku serasa kacau sekacau-kacaunya.
"Gre, itu gambarnya terangin dikit dong."
"Gre, jangan terlalu banyak shadow, pakai yang natural aja lebih bagus."
"Ihh, jangan kebanyakn efek! Kalau di majalah-majalah internasional justru biar kamera yang berbicara bukan efek!"
"Aaarrrrghhhhh!! Ciiiiiii!!" ucapku setengah berteriak. Setelah bangun dari tidurnya yang kira-kira berdurasi selama satu jam, Ci Shani berdiri di sampingku dan bergabung melihat foto-foto yang sedang kuedit. Aku heran dengannya. Bisa-bisanya loh tidur dengan begitu nyenyak di ranjang orang yang baru dikenalnya. Dan sekarang...
"Udah tidur lagi sana! Jangan ganggu aku!" tukasku kesal.
"Gre, aku ini mau bantuin kamu supaya hasil editan kamu tuh lebih bagus. Liat tuh foto-foto yang sebelumnya, terlalu banyak efek," jawabnya. "Coba kamu liat hasil foto kamu di Majalah K3po, bagus-bagus kan? Enggak kebanyakan efek kayak gini."
"Ya itu kan tim editornya ada yang khusus. Aku ini kan buat aku pribadi doang."
"Tetep aja ada standard-nya gitu, Gre."
"Standard apa? Standard motor ??" balasku.
"Yee—dikasih tau malah ngeyel."
Ci Shani akhirnya mundur beberapa langkah dariku sambil menggerutu tidak jelas. Kubiarkan saja dia kembali sibuk dengan melihat-lihat koleksi buku-ku dan foto-fotoku yang lain, yang penting JANGAN GANGGU AKU!
"Gre."
"Hmmmm?"
"Kamu gak ada foto keluarga besar?"
"Ada di ruang keluarga," jawabku tanpa memalingkan kepalaku sedikitpun.
"Kamu ini orang keturunanan mana sih, Gre?"
"Papaku ada keturunan Eropa sedikit, mamaku ada keturunan Tionghua dan Indonesia," jawabku. Aku tidak mempedulikan tujuan dari pertanyaan Ci Shani, tapi bagiku yang penting jangan mengomentari foto-fotoku lagi.
"Nama belakang keluarga kamu tuh apa sih, Gre?"
"Morrison."
"Ohhh—beda ya," gumamnya.
Entah beda sama apaan aku enggak mau tau juga.
Tok!Tok!Tok!
"Yaaa," kataku.
Pintu terbuka dan mamaku muncul dari sana. "Gracia, Shani, makan siang dulu yuk."
"Yaaaa—" jawabku disusul dengan hembusan nafas panjang. Aku menoleh pada Ci Shani sebagai isyarat agar Ci Shani ikut denganku untuk makan siang. Gak mungkin gak kuajak bukan?
Aku dan Ci Shani sama-sama turun ke bawah. Mamaku baru saja selesai masak dan harumnya masih berasa kuat sampai membuatku lapar.
"Masak apa, Ma?"
"Ayam lada hitam sama sayur capcay."
"Nah gitu dong, Ma. Jangan masak kangkung melulu kenapa sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Thousand Pictures
Fanfiction"Ci Shani, aku gak ngerti kenapa sih Ci Shani berbuat segini baik ke aku? Aku bukan siapa-siapa, kenal Ci Shani aja sama sekali tidak pernah sebelumnya" Sayangnya jawaban dari pertanyaan seorang Shania Gracia itu tidak bisa langsung dia dapatkan. S...