Sudah beberapa hari terakhir Ji Eun mengunjungi Seung Ho secara rutin setelah pulang sekolah. Kondisi tubuh Seung Ho yang sangat lemah membuatnya tak bisa rawat jalan seperti biasanya. Dia tak bisa berbuat apa-apa selain terbaring di rumah sakit, meski seisi negeri membicarakannya. Kabar dia berpacaran juga kabar mengenai dirinya yang lagi-lagi jatuh pingsan menduduki pencarian teratas di SNS. Sebagian mempertanyakan kepastian soal pengakuannya tempo hari, sebagian lagi mengkhawatirkan akan kesehatannya.
Berkat pengakuan Seung Ho tempo hari pun Ji Eun ikut-ikutan tersorot awak media. Wajahnya kini terpampang di mana-mana, namun dia tak peduli, ada hal penting lain yang menjadi prioritasnya. Dia tak ada waktu mengkhawatirkan hal lain selain Seung Ho. Detak waktu tak bisa ia hentikan, maka sebelum terlambat ia harus terus menemaninya hingga ajal menjemput.
***
Ji Eun berjalan di koridor rumah sakit dengan kue tart besar di tangannya. Dia berhenti di depan sebuah kamar inap, namun sebelum melangkah masuk tak lupa ia menyalakan terlebih dahulu lilin berangka delapan belas yang tertancap sempurna di atas kue tart-nya itu. Ji Eun menarik napas panjang, memaksakan senyum agar terukir di bibirnya, dan setelah merasa bisa untuk menyembunyikan kesedihannya, perlahan ia membuka pintu.
"Saengil chukha hamnida, saengil chukha hamnida. Saranghaneun Lee Ji Eun, saengil chukha hamnida♪"
Ji Eun mengakhiri lantunan lagu ulang tahun untuk dirinya sendiri dengan meniup lilin. Kemudian dia membenamkan diri di kursi samping ranjang dan menaruh kue tart di tangannya itu ke atas nakas. "Hadiah, mana hadiah ulang tahunku?" Ji Eun tersenyum.
Seung Ho dengan wajah pucat pasinya hanya mengernyitkan dahi bingung. Dia melempar pandangan pada kalender duduk yang tergeletak di atas nakas, terlihat sebuah bulatan merah yang melingkari di tanggal 15 Mei. Ini memang cukup aneh karena kali ini dia tak menyobek lembaran di bulan Mei itu. Mungkin pada akhirnya dia bisa berdamai dengan kalender, tidak lebih tepatnya berdamai dengan kenyataan pahit yang memang seharusnya ia hadapi. "Ulang tahun? Bukankah masih tujuh hari lagi?" tanya Seung Ho dengan suara serak nan lemah.
Ji Eun menggelengkan kepalanya pelan lalu menelungkupkan kalender meja itu. Perasaan buruk selalu menyergapnya, dia merasa waktu kebersamaannya dengan Seung Ho lama lagu. Dia ragu jika merayakan ulang tahun tepat di tanggal yang semestinya Seung Ho tak lagi ada di dunia ini. Entahlah.
Ji Eun mengerucutkan bibirnya berpura-pura kecewa. "Sepertinya kamu lupa dengan hadiahku, padahal aku membawakanmu hadiah agar kamu tidak bosan."
"Hadiah?"
Ji Eun mengangguk, dia mengambil sebuah mainan rubrik dari dalam tas punggungnya. "Itu bisa mengurangi sedikit rasa bosan."
Seung Ho tersenyum, senang rasanya menerima perhatian dari Ji Eun. Dia membolak-balik mainan rubrik di tangannya, dan alisnya seketika bertaut saat melihat sebuah stiker yang tertempel di bagian sisi rubrik berwarna merah. Saat melihat stiker itu tiba-tiba saja sebuah suara terngiang di belakang telinganya.
"Apa ... anggota keluargamu baru saja meninggal?" tanya seorang gadis dengan sorot mata teduh yang sukses menyihir Seung Ho melupakan kesedihannya sejenak. Entah mengapa rasanya nyaman sekali berada di dekatnya. Aura yang terpancar darinya seakan bisa membuatnya untuk mencurahkan kesedihan, melepas lelah, atau bahkan mengutarakan apa pun yang ia pikirkan.
"Melihat kau diam sepertinya dugaanku benar," tambah gadis itu. "Menangislah, aku tahu betul rasanya ditinggalkan orang yang kita sayangi. Jangan menahannya, menangislah. Kesedihan yang terpendam tidak akan membuatmu maju dan justru mengungkungmu dalam kesengsaraan. Menangislah."
Sebutir air mata jatuh. Seung Ho mengingat jelas kejadian empat tahun silam saat halmeoni berpulang ke hadapan-Nya. Hari itu saat ia duduk menyendiri di tangga besi sisi bangunan rumah sakit, seorang gadis tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya. Gadis itu memberinya sebuah mainan rubrik, persis seperti yang Ji Eun lakukan ini. Benar, stiker di rubrik yang Ji Eun berikan sama dengan stiker di rubrik yang gadis itu berikan empat tahun lalu. Ternyata ... selama ini dia begitu dekat. Takdir ini sungguh menggelikan, bukan?
***
"Seung Ho, kamu yakin tidak akan apa-apa?" tanya Ji Eun untuk ke sekian kalinya. Dia memandang pemuda itu dengan pandangan cemas.
"Iya, jika kamu merasa tidak sehat, kita batalkan saja jadwal hari ini," tambah Jin Ho sama khawatirnya dengan Ji Eun.
"Gwenchana, hyung. Aku bahkan tak pernah merasa sesehat ini," tukas Seung Ho. Dia terdiam sejenak, lagi-lagi mengukir senyum memesona. Namun, anehnya alam sadar Ji Eun berkata bahwa ia tak akan bisa melihat senyum itu kembali.
"Hyung, mianhae geurigo gomawo," tambah Seung Ho pada road manager-nya itu. Begitu banyak hal yang telah ia habiskan bersama Jin Ho selama sepuluh tahun terakhir. Dia sudah seperti keluarga sendiri bagi Seung Ho.
Kerutan menghiasi kening Jin Ho. "Mwoga?"
"Untuk semuanya. Jinjja gomawo."
Perasaan Ji Eun semakin tak enak. Mungkinkah ini sebuah pertanda?
"Kita sambut bintang utama kita hari ini, Yoo Seung Ho!"
Sebuah suara dari pengeras suara membuat Seung Ho terbangun dari duduknya. Dia merapikan sekilas bajunya, menatap sekitarnya lama, lalu beralih menatap Ji Eun—menatap tepat di manik matanya. Dan tanpa disangka-sangka ia langsung menarik Ji Eun ke dalam dekapannya, memeluknya begitu erat yang anehnya lagi justru seperti sebuah salam perpisahan. Padahal Seung Ho hanya akan pergi ke atas panggung untuk menghadiri acara fans meeting. Benar, hanya itu, bukan pergi ke tempat yang Ji Eun sendiri tak mau bayangkan. Tapi kenapa perasaannya mengatakan agar tak membiarkan Seung Ho melepaskan pelukannya? Kenapa?!
"Saranghae," bisik Seung Ho tepat di belakang telinga Ji Eun masih sambil memeluknya, seakan begitu berat jika harus melepas pelukannya.
"Wah, bagaimana kalo kita panggil sekali lagi? KITA SAMBUT, YOO SEUNG HO!!!"
Sebuah panggilan diikuti sorakan yang mempersilakan Seung Ho membuat pemuda itu terpaksa melepas dekapannya. Dia tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya berjalan meninggalkan backstage.
Seung Ho menaiki panggung dengan seulas senyum. Ribuan penggemar yang telah memenuhi seluruh kursi penonton menyambutnya meriah dengan berbagai sambutan pun pertanyaan. Seung Ho duduk di kursi yang telah disediakan tepat di tengah panggung dan selanjutnya pembawa acara mempersilakannya untuk mengatakan sepatah dua patah kata.
"Pertama-tama, terima kasih banyak. Terima kasih telah mendukungku selama ini, telah menyukaiku ... dan bersorak untukku. Terima kasih banyak," ucap Seung Ho lewat microphone seraya membungkukkan kepalanya dalam. Matanya mulai berkaca-kaca. "Aku masih banyak kekurangan, aku ragu apa aku pantas menerima cinta dari kalian. Aku ... hanya bisa membuat kalian khawatir. Maaf." Air mata kini tak lagi bisa terbendung. Kristal bening itu terjun bebas membasahi pipi, membuat sorakan yang sedari tadi mengharu biru kini lenyap begitu saja. Ruangan hening, sepertinya semua merasakan kesedihan yang Seung Ho rasakan.
"Gwenchana! Uljima!"
"Gwenchana! Uljima!"
"Gwenchana! Uljima!"
Semua fans mengucapkan kalimat itu bersama-sama berulang kali. Seung Ho tersenyum penuh haru.
Jinjja gomawo.
Detik berikutnya Seung Ho ambruk bersama teriakan histeris yang mengudara, namun kali ini ia tak akan lagi terbangun di rumah sakit seperti yang biasanya terjadi saat ia jatuh pingsan, tak akan lagi menderita dengan segala macam alat medis. Kali ini dia akan tidur untuk waktu yang sangat lama.
Tuhan, jika kehidupan kedua itu memang ada, izinkan aku bertemu kembali dengan Ji Eun nanti. Amin.
Bersambung...
------------------------------
Semoga dapet feelnya dan gak menye-menye. Jangan dulu hapus dari library besok aku update epilogue~
[2 Januari 2018]

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Tears
FanfictionYoo Seung Ho adalah seorang artis papan atas. Ji Eun sendiri pun tak mengerti mengapa dirinya bisa dekat dengan seseorang yang luar biasa seperti dirinya. Detak waktu terus berlalu. Hingga pada suatu saat Ji Eun menyadari akan adanya sebuah kejangga...