13) About Seung Ho

467 49 6
                                    

Sebelumnya...

"Kondisi pasien akan selalu merasa lelah karena efek samping obat. Jadi saya sarankan untuk tak banyak beraktivitas selama pengobatan berlangsung dan sebaiknya mulai rawat inap agar vital signs pasien terkontrol."

"Baiklah, akan kami bicarakan. Kamsahamnida, dokter Kim," Jin Ho membungkukkan badannya 90 derajat. Pria paruh baya berjas putih yang tak lain adalah dokter spesialis dari Divisi Onkologi Thoraks
itu pun meninggalkan ruangan.

Jin Ho menghela napas kasar dan mengacak rambutnya frustasi. Ia tak kuasa menahan perihnya kenyataan. Setelah beberapa tahun kemarin Seung Ho sempat terpuruk sepeninggalan sang halmeoni, kini kenyataan pahit lainnya harus dia terima. Mengapa hal ini harus terjadi pada anak malang seperti Seung Ho? Apa Tuhan tak kasihan melihat hamba-Nya yang terus menderita.

"Hyung," panggil Seung Ho lemah pada Jin Ho yang sedang berdiri di ambang pintu.

Jin Ho mengambil napas panjang dan dengan segera menutupi kesedihannya, "Wae? Apa napasmu sesak lagi?"

Seung Ho menggelengkan kepalanya, "Aku ingin pulang."

"Tidak bisa. Kau masih harus dirawat."

"Aku sudah tak apa-apa, hyung." Seung Ho tersenyum lemah.

"Tidak, infusmu saja masih setengah labu."

"Aku muak dengan rumah sakit dan aku bisa meminum obat penahan rasa sakit jika ada apa-apa."

Jin Ho menghela napas kasar, Seung Ho selalu keras kepala di saat seperti ini, "Baiklah. Beristirahatlah untuk malam ini, besok pagi kita pulang."

Seung Ho tersenyum lega. Dia jemu bukan main dengan keadaan rumah sakit. Warna putih yang terkesan kaku sepanjang mata memandang, bau obat-obatan khas rumah sakit yang memuakkan, dan terlebih lagi berada di sini membuat Seung Ho sadar bahwa ia sedang sakit. Dia tak mau mengingat-ingat akan dirinya yang tengah sakit keras dan mencoba melawan penyakitnya. Ia ingin menjalani hidup seperti orang biasa, meski itu mustahil untuknya yang seorang public figure.

***

Saat fajar belum sempurna menyiumi rerumputan yang basah, Jin Ho dan Seung Ho diam-diam mengendap keluar dari rumah sakit. Untung saja mereka bisa dengan mudahnya mengelabui para wartawan yang masih menunggu di depan kamar inap.

Mereka pun masuk ke dalam mobil van hitam yang telah terparkir sejak tempo hari di parkiran rumah sakit. Mobil pun melaju. Seung Ho menghirup dalam-dalam udara pagi yang menyegarkan. Akhirnya ia bisa menghirup udara yang biasa ia hirup. Udara yang tidak berbau menyengat dan tentunya gratis. Mungkin ini terasa melebih-lebihkan, tapi bagi Seung Ho hanya dengan bernapas bebas tanpa alat bantuan apapun sudah menjadi anugerah terindah baginya. Kadang kita tak sadar sering menganggap remeh dengan apa yang biasa ada di kehidupan kita. Kita merasa hal itu tak bernilai, tak berharga, dan akan terus abadi. Ketahuilah saat kau kehilangan apa yang biasa ada di kehidupanmu saat itu pula kau akan sadar betapa berharganya hal biasa itu.

"Semoga tak ada wartawan di apartemenmu," ucap Jin Ho memecah keheningan.

Seung Ho tak menggubris dan hanya terdiam sambil memandang ke luar jendela. Menatapi mantel putih yang menutupi sisi jalanan. Ini sudah menginjak akhir Februari menandakan musim dingin akan segera berakhir dan musim semi pun akan tiba. Udara dingin akan tergantikan dengan udara hangat. Putih salju akan tergantikan dengan hijau rerumputan. Waktu terus bergulir tanpa terasa. Kejadian saat itu masih segar dalam ingatan. Seakan baru saja terjadi. Seung Ho ingat itu awal musim dingin di bulan Desember karena euforia hari Natal masih mengudara. Salju pertama mulai turun membasahi puncak kepalanya. Seung Ho menatap ke langit dan bertanya kepadanya. Mengapa harus dia? Dari sekian banyak orang di dunia ini kenapa harus dia? Manusia memang diciptakan dengan masalahnya masing-masing dan yakinlah setiap masalah selalu ada solusinya. Tapi kenapa masalah Seung Ho harus yang begini, ini bahkan di luar kontrolnya. Jangankan solusi, saat hendak maju mengatasinya pun sudah bertemu jalan buntu. Seung Ho tak bisa lakukan apa-apa selain menunggu—menunggu hingga napas terakhir berhembus.

"Hyung," panggil Seung Ho saat ia menemukan sebuah objek yang menarik perhatiannya di balik kaca mobil.

"Mwo?"

"Tolong periksa apartemenku apa ada wartawan di sana atau tidak, lalu kabari aku jika lokasi aman." Seung Ho memakai topi snapback hitam dan masker yang ada di mobil. Tak lupa ia mengantongi ponsel dan dompetnya.

"Kau mau kemana?"

"Aku hanya akan ke mini market."

"Tap--"

"Tenang, aku tidak akan membuat masalah. Turunkan aku di depan."

Jin Ho pun menuruti perintah Seung Ho. Ia menghentikan mobilnya beberapa meter dekat mini market. Gedung apartemen Seung Ho dan mini market ini berada di daerah yang sama. Hanya butuh lima menit untuk pulang. Jadi Jin Ho tak begitu khawatir.

"Annyeong," ucap Seung Ho begitu ia turun dari mobil.

Seung Ho berjalan mendekati objek yang menarik perhatiannya tadi. Objek yang tak lain adalah Lee Ji Eun itu sekarang tengah menatap pada satu titik dengan pandangan kosong. Seung Ho tersenyum jail, terlintas sebuah ide dalam pikirannya.

Brak!

Seung Ho menggebrak meja membuat Ji Eun tersadar dari lamunannya saat itu juga.

"Kkamjakiya!" gumam Ji Eun kaget.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Seung Ho-ssi?" Ji Eun menyidik-nyidik sosok yang duduk di hadapannya. Topi hitam dan masker. Hanya terlihat bagian matanya saja. Benar, dia adalah Yoo Seung Ho. Tak salah lagi.

"Cukup panggil Seung Ho saja lagipula ini bukan pertemuan pertama dan kita sebaya."

"Bukannya kau seharusnya di rumah sakit?"

"Ngapain di rumah sakit?"

"Kau kan kemarin pingsan."

"Pingsan? Tidak, aku sehat."

"Tapi di TV kema--"

"Gotcha!" potong Seung Ho. "Jujur kau sebenarnya sudah mengenaliku, kan, sejak awal?"

Ji Eun mengerutkan keningnya heran. Dia menggelengkan kepalanya, "Ani, aku bahkan baru tahu kau artis saat kita bertemu di sekolah."

"Jinjja?"

Ji Eun mengangguk.

"Kau tidak punya TV?"

"Punya kok."

"Tapi kenapa kau tidak mengenalku? Padahal iklan, film, dan dramaku hampir ada di semua saluran TV."

"Itu karena aku tidak menonton TV."

"Kenapa?"

"Ada alasan untuk itu."

Seung Ho mengangguk-anggukkan kepala, "Kau tidak menonton TV, tapi kau pasti setidaknya pernah melihat wajahku dong di sebuah produk. Lihat bahkan di bungkus ramyeon yang kau makan saja ada wajahku," Seung Ho menunjuk cup ramyeon yang ada di atas meja.

Ji Eun tertegun, ia langsung menatap bungkus ramyeon. Benar saja ada wajah Seung Ho tercetak di sana. Ji Eun baru sadar padahal nyaris setiap hari ia memakannya, "Wah benar juga. Aku baru sadar."

"Heol. Kau beneran baru sadar?"

"Iya. Ternyata kau sangat terkenal rupanya."

Seung Ho tak percaya. Gadis ini beneran dari bumi? Seung Ho sudah malang melintang di dunia entertain sejak belia. Film dan dramanya sudah puluhan. Setiap hari ia mengisi acara di TV dan radio. Di koran, majalah, tabloid, botol sampo, bungkus air mineral, ramyeon, dan bahkan bungkus garam pun ada wajahnya. Kenapa bisa Ji Eun tak mengenalnya? Tak bisa dipercaya.

Bersambung...

---------------------------------------------

Di chapter sebelumnya pada bilang Seung Ho cocok goodboy
sementara tokoh utama di noteku banyaknya badboy😂

Kayaknya next setelah GT selesai Nova akan lanjut FF V BTS aja😊

[31 Agustus 2017]

Golden TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang