Ada alasan untuk setiap orang menggenggam erat memorinya masing-masing. Memori adalah satu-satunya hal yang tidak dapat berubah disaat seisi dunia berubah.
2004
Sachi berjalan di sepanjang koridor dengan kepala tertunduk. Dirinya sibuk merutuki sang paman yang mati-matian ingin menyekolahkannya di SMA elit ini. Belum apa-apa, Sachi sudah minder. Penampilannya sangat aneh jika dibandingkan gadis-gadis yang Sachi lewati tadi. Lihat saja kacamata kudanya, atau rambutnya yang dikepang, juga seragamnya yang kelonggaran. Jangan lupakan roknya yang hampir mencapai betis, dipadu dengan kaos kaki tinggi.
Tiba-tiba saja, dirinya menabrak sesuatu, atau mungkin seseorang hingga tubuhnya oleng dan Sachi sudah pasrah jika harus terjatuh ke lantai. Namun sebelum itu terjadi, tubuhnya berhenti tertarik gravitasi karena keberadaan penyangga di punggungnya. Mungkin tangan. Ya, itu pasti sebuah tangan, pikir Sachi.
Takut-takut, Sachi membuka kedua mata yang tadinya terpejam. Sachi terkesiap saat menemukan seorang pria yang wajahnya berada sangat dekat dengan wajahnya. Oh, dunia dan seluruh isinya tau Sachi tidak pandai berurusan dengan pria.
"Aku tau aku tampan, tapi tanganku mulai sakit menahan bobot tubuhmu."
Kalimat itu membuat Sachi terburu-buru berdiri dan melepaskan diri dari pria di hadapannya yang memandangnya jahil. Sachi menjilat bibirnya pertanda gugup, dan meremas-remas roknya.
"Aku.. itu... maaf.. eh, terima kasih," kata Sachi terbata-bata. Pria di hadapannya bengong menatap Sachi, sebelum akhirnya tertawa. Jenis tawa pria itu adalah menggelegar dan menular, yang membuat siapapun pendengarnya ingin ikut tertawa. Rambutnya yang cukup panjang ikut terlempar ke belakang mengikuti kepala pria itu. Sachi tidak tau apa yang lucu, tapi Sachi suka mendengar tawa pria itu.
"Oh astaga, kamu lucu. Kamu siswi baru ya?" tanya pria itu saat tawanya usai. Sachi mengangguk.
"Bukannya semua disini siswi baru?" tanya Sachi bingung. Ini memang tahun ajaran baru SMA, jadi sudah semestinya semua siswa-siswi disini baru, bukan? Kecuali, ada yang tidak naik kelas. Namun pria di hadapannya menggeleng dan tertawa kecil.
"Maksudku, kamu bukan lulusan SMP sini ya?"
Seolah tersadar maksud pertanyaan pria itu, Sachi mengangguk dan tertawa kecil menutupi kegugupannya.
"Eh, iya. Itu, aku pindahan dari Bandung."
Pria itu mengangguk dan mengamati penampilan Sachi dari atas ke bawah. Sachi semakin gugup.
"Hey, relaks. Aku tidak bermaksud jahat. Siapa namamu?" tanya pria itu seraya mengulurkan tangannya. Takut-takut, Sachi membalas uluran tangan pria itu.
"Sachi," jawab Sachi, kemudian berniat melepaskan tangannya dari pria itu. Namun pria itu menahan tangannya.
"Sachi saja?" tanyanya.
"Maruella Sachi."
Pria itu mengangguk puas.
"Gregory. Gregory Kristian. Sampai jumpa, Sachi."
Kemudian pria yang mengaku bernama Gregory itu berlalu, meninggalkan Sachi yang berdiri mematung, menetralisir detak jantungnya yang tidak karuan.
2018
"Sachi! Buka pintunya!" suara pria yang sudah sangat dikenal Sachi memenuhi pagi Sachi, seperti biasa-biasanya. Sachi sedang kesulitan untuk mengancingkan kemeja barunya, yang sialnya memiliki kancing kecil aneh yang sulit dikaitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
RomanceDari sahabat menjadi sepasang kekasih. Sepasang kekasih menjadi pasangan hidup. Dan dari pasangan hidup, kembali menjadi sahabat. Tadinya, mereka berdua terlalu dimabuk kata cinta. Selamanya, kata mereka. Namun mereka lupa, tidak ada kata selamanya...