Justru karena cinta, kamu mengijinkan dirimu untuk merasakan sakit.
2014
"Aku udah bilang berapa kali, jangan..."
"Jangan terlalu cape. Iya, iya, tau. Tapi aku ini hamil loh, bukan sakit," gerutu Sachi, memotong perkataan Ge. Selama 5 bulan kehamilannya, Ge sangat cerewet. Ge memang suami yang siaga, berlebih siaga malah. Sedikit saja kernyitan pada wajah Sachi bisa membuat Ge terlihat khawatir, sedikit saja Sachi memejamkan matanya bisa membuat Ge menasehatinya panjang lebar, dan sebagainya. Ge bahkan memaksa Sachi untuk mengidam di trimester awal kehamilannya, padahal Sachi tidak ingin apa-apa. Intinya, Ge berubah menjadi menyebalkan selama lima bulan ini.
Seperti saat ini, Sachi hanya sedang menyapu di rumah mereka yang tidak terlalu besar. Namun Ge tiba-tiba pulang dari rumah sakit, kemudian dengan panik merampas sapu di tangan Sachi dan kembali mengomel.
"Sa, aku kan udah bilang kita pake bantuan ART aja," desah Ge seraya menggenggam tangan Ge.
"Ngapain Ge. Aku kan ga ada kerjaan juga di rumah, kenapa harus pakai ART. Buang-buang uang aja."
Ge menghela nafasnya pelan. Sachi tau, uang Ge tidak akan habisnya. Namun Sachi tidak mau membuang buang uang untuk hal yang tidak perlu. Lebih baik uang itu disimpan sebagai tabungan mereka, atau jika memang berlebih dijadikan amal.
"Hanya selama kamu hamil, Sa. Aku khawatir sama kamu, sendirian di rumah gini."
Sachi duduk di sofa, mulai merajuk. Dirinya merasa seperti tahanan. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Menyetir kesana tidak boleh. Semuanya terlarang.
"Aku baik-baik saja, Gregory. Aku tidak kelelahan. Aku tidak kesulitan melakukan apapun," tegas Sachi. Ge duduk di sampingnya dan merangkulnya pelan.
"Sa, apa salahnya nurut sama aku sesekali?"
"Ga mau Ge! Aku bilang ga mau, ya ga mau!"
Hening. Sachi mengatur nafasnya yang terengah karena berbicara dengan nada tinggi tadi, sedangkan Ge mengatupkan kedua bibirnya tipis.
"Maaf, aku hanya terlalu khawatir," ucap Ge pada akhirnya.
Seketika, Sachi dipenuhi rasa bersalah. Sachi sendiri tau, semenjak hamil emosinya seringkali tidak karuan. Bukan sekali dua kali Sachi tidak bisa mengendalikan amarahnya hanya karena hal kecil. Sachi tau kodratnya sebagai istri, tidak seharusnya dia membentak suaminya, apalagi karena kesalahan kecil. Oh, sangat kecil. Kadang hanya karena Ge memintanya makan disaat Sachi mual, Sachi bisa marah besar hingga tidak mau berbicara dengan Ge seharian.
Terkadang, Sachi bisa melihat gurat emosi pada wajah Ge saat Sachi terlalu berlebihan. Terang saja, ego suami mana yang tidak terusik saat dibentak istri hanya karena hal kecil? Namun Ge selalu menahan emosinya dengan baik, memilih menuruti Sachi, bahkan meminta maaf ketika kepala keduanya sudah dingin. Akhirannya, Sachi akan menangis meminta maaf karena merasa bersalah, sedangkan Ge memeluknya, memanjakannya, dan mengatakan itu bukan masalah besar.
Seperti saat ini, Sachi merasakan keinginan kuat untuk menangis.
"Aku jahat, kan Ge?" tanya Sachi, masuk dalam pelukan Ge.
"Mana jahat Sa, baik gini," kata Ge seraya menjawil pelan hidung Sachi. Sachi mulai menangis.
"Loh kok jadi nangis sih Sa? Aku salah lagi?"
Tangis Sachi semakin deras seraya menggeleng.
"Aku takut kamu kesel sama aku, lalu kamu cari cewe lain di luar sana. Itu, kemarin, siapa namanya, dokter cantik itu. Dia kayanya suka sama kamu." Sachi tiba-tiba teringat kehadiran dokter residen baru yang cantik dan jelas tertarik pada Ge. Sachi datang dan memandangnya sinis, lalu saat dokter itu tau Sachi adalah istri Ge, dia hanya bisa menunduk malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
RomanceDari sahabat menjadi sepasang kekasih. Sepasang kekasih menjadi pasangan hidup. Dan dari pasangan hidup, kembali menjadi sahabat. Tadinya, mereka berdua terlalu dimabuk kata cinta. Selamanya, kata mereka. Namun mereka lupa, tidak ada kata selamanya...