Ge terdiam. Entah berapa lama dirinya terdiam. Baru seminggu jelang perceraiannya, dan Ge merasa sudah sekarat.
Sachinya pergi. Entah kemana. Sachi tidak ada dimana-mana, keberadaannya tidak terlacak. Ge sudah lelah memaki dan berteriak pada siapapun yang dikenalnya untuk memaksa mereka memberitahu keberadaan Sachi, tapi semuanya bungkam. Bahkan Meiske dan Robert bungkam. Rasanya, mereka sepakat untuk membunuh Ge perlahan.
Dia memang setuju untuk bercerai, tapi hanya untuk sementara. Dan bukan berarti setuju untuk berpisah dalam arti sesungguhnya dengan Sachi. Hidupnya kacau balau, dia bahkan tidak diijinkan untuk masuk bekerja dengan alasan memerlukan waktu menenangkan diri.
Lelah merasa kosong, Ge pun mengambil kunci mobilnya dan mulai menjalankan mobilnya tak tentu arah. Begitu sampai di jalan raya, Ge sengaja memacu mobilnya dengan kecepatan maksimal, berharap dia mengalami kecelakaan hingga Sachi menemuinya. Sachi masih mencintainya kan? Sachi pasti khawatir jika dirinya kecelakaan, bukan?
Entah berapa lama Ge menantang nyawanya sendiri, Ge sadar usahanya sia-sia. Tidak menemukan ketenangan dimana-mana, tanpa sadar Ge menjalankan mobilnya pada tempat putri kecilnya dimakamkan.
Dengan langkah gemetar, Ge mendekati makan putri kecilnya. Tidak ada satupun hal di dunia ini yang lebih menyakitkan, daripada menyaksikan darah dagingnya sendiri kembali kepada bumi. Ge tidak kuasa menahan air matanya seraya mengelus nisan Abichail.
"Tuhan sayang sama kamu, Nak. Gimana di surga? Nyaman kan, pasti?" kata Ge lirih. Ge berusaha tidak menyalahkan Tuhannya untuk kepergian anaknya, pun menyalahkan Sachi atau dirinya sendiri. Ge percaya, kejadian inipun diijinkan Tuhan terjadi untuk sebuah alasan.
"Maaf, karena gagal mempertahankan mama. Bahkan gagal mencari mama. Kamu jaga mama dari atas sana kan, Abichail?"
Ge tersenyum. Meskipun sakit, ada sebuah ketenangan tersendiri setiap kali mengunjungi makam Abichail.
"Mama bilang, perlu waktu dulu. Tapi nanti, mama akan kembali pada papa. Kamu percaya kan, mama akan kembali?"
"Harus percaya, ya, Nak, seperti papa percaya pada mamamu. Kami mencintaimu."
***
"Jadi, kamu jadikan aku pelarian?" tanya Theresia tenang. Ge sudah tidak tau harus berbuat apa. Seharusnya dia merubah sifat jeleknya sedari dulu, yaitu bertindak sebelum berpikir saat marah. Ketika otaknya kalut tadi dan segera menghubungi Theresia perihal pertunangan mereka, Ge bahkan tidak sadar bukanlah Theresia yang mengangkat panggilan tersebut, melainkan mamanya.
Dan sekarang, segalanya bertambah runyam. Ucapan yang keluar tidak bisa ditarik kembali. Ge pun meminta segera bertemu dengan Theresia keesokan harinya, selepas jam kerja. Ge hampir meledak saat mendapati senyum mengejek di wajah cantik Theresia begitu mereka berhadapan.
"Bukan begitu, tadi.."
"Ah sudahlah, tidak penting. Sekarang bagaimana?"
Ge terdiam dan kehilangan akal. Begitu mama Theresia mendengar kata pertunangan dari Ge, tidak sampai beberapa menit Meiske menghubunginya dengan histeris. Ge jamin, Meiske merasa berhasil kali ini. Dan sekarang, keduanya sudah heboh membicarakan perihal pertunangan mereka hingga Ge memilih bermalam di apartment nya semalam.
"Coba ceritakan, kenapa kamu sampai berbuat demikian," pinta Theresia. Ge mengangkat alisnya, heran akan keberanian Theresia memintanya membuka masalah. Tetapi Ge memang memerlukan teman untuk berbagi saat ini, dan Theresia terlihat bukan teman yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
RomanceDari sahabat menjadi sepasang kekasih. Sepasang kekasih menjadi pasangan hidup. Dan dari pasangan hidup, kembali menjadi sahabat. Tadinya, mereka berdua terlalu dimabuk kata cinta. Selamanya, kata mereka. Namun mereka lupa, tidak ada kata selamanya...