Kenangan Ketiga

635 38 7
                                    

Tidak ada yang pergi daripada hati. Tidak ada yang hilang dari sebuah kenangan.

- Tere Liye

2006

"Sa, temenin aku main basket kan?"

Sachi memandang pria yang berdiri menjulang di hadapannya. Sachi menimbang-nimbang, pasalnya ulangan biologi akan dilaksanakan besok. Semua teman kelasnya juga tau, Sachi dan biologi bukan perpaduan yang baik. Sachi dapat mengotak-atik tatanan alam dalam setiap jawabannya, sebagai contoh, dia bisa memasangkan genus dari kelompok kapang dengan spesies dari kelompok khamir. Penicillium cereviciae, katanya waktu itu, membuat satu kelas menahan tawa sedangkan guru biologi mereka ingin undur diri dari pekerjaannya.

"Besok ulangan bio, Ge," kata Sachi.

"Nanti pulangnya kita belajar bareng. Aku bantu. Ke rumah aku sekalian ya?"

Sachi masih menimbang-nimbang. Dirinya selalu merepotkan Ge, lama-lama dia merasa seperti parasit untuk pria itu.

"Ikut Sa. Kristian ini ga bisa fokus kalo ga ada kamu," kata Dustin, salah satu teman Ge. Ah, kebanyakan teman Ge memang memanggilnya dengan nama belakangnya yaitu Kristian. Awal mula Sachi memanggilnya Ge adalah alasan kepraktisan. Gregory, aneh jika dipanggil Ry, apalagi Go. Pilihan satu-satunya Gre, tapi huruf r ditengahnya membuat Sachi merasa risih. Pertama kali Sachi memanggilnya Ge, pria itu mengerutkan keningnya, kemudian tersenyum dan berkata, "I like that name."

"Nah. Dustin bener. Aku ga fokus kalo ga ada kamu. Ikut ya Sa?" kata Ge seraya mengacak rambut Sachi. Sachi pun mendesah pelan dan mengangguk pada akhirnya, menolak Ge akan membujuknya lebih jauh. Saat membujuk, Ge seringkali melakukan skinship dengannya. Bahkan setelah nyaris 2 tahun bersahabat, Sachi masih agak risi dengan segala skinship yang Ge lakukan. Rangkulan, terkadang kecupan di pipi. Sachi tidak berpikir hal itu lumrah untuk sepasang sahabat, ditambah Sachi merasa jantungnya menari-nari akhir-akhir ini setiap berada di dekat Ge. Itu tanda bahaya. Sachi membuat daftar cara untuk menjauhi Ge, dan tidak satupun terlaksana.

"Good girl!" kata Ge. Ge menunggunya membereskan buku serta tas disaat teman lain sudah pulang. Teman setim basket Ge pun sudah menunggu di lapangan, jadi hanya tersisa mereka berdua. Begitu Sachi selesai, Ge segera merangkulnya untuk menuju lapangan basket. Sachi panas dingin di tempatnya, namun berusaha tenang.

"Sa, kenapa? Kok kaya gugup gitu?" tanya Ge heran. Sachi menggeleng cepat, terlalu cepat.

"Perasaan kamu aja Ge."

Ge menatapnya sejenak, sebelum akhirnya memilih tidak mendebat jawaban Sachi.

"Sayang kamu Sa," kata Ge tiba-tiba. Ge memang sering mengatakan sayang padanya, sebagai sahabat tentu. Sachi tidak mau banyak berharap. Ge merupakan pria popular di sekolahnya, pintar secara akademis, berprestasi dalam bidang basket dan supel. Sachi? Sachi hanya gadis biasa-biasa saja, mendekati culun, yang beruntungnya mendapatkan Ge sebagai sahabat hingga martabatnya naik dimata teman sekelasnya.

"Hmm.."

"Kamu ga pernah bilang sayang aku juga loh, Sa."

"Eh?" Sachi memandang Ge bingung, menyebabkan Ge menggeram gemas dan mencubit pipi Sachi pelan.

"Dasar ga peka."

Obrolan mereka pun terhenti saat Ge harus mulai bermain. Sachi selalu suka menyaksikan Ge bermain basket. Wajahnya yang biasa tengil berubah menjadi serius, ditambah baju basketnya memungkinkan Sachi menikmati otot bisep Ge yang tidak terlalu berlebih. Ah, juga keringatnya yang membuat Ge terlihat... Sachi tidak menemukan kata untuk menjelaskannya.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang