Sachi kembali ke kota ini. Kota penuh kenangan. Suka duka, tawa tangis. Rasanya sudah lama sekali, hampir satu tahun. Tapi Sachi sadar, Sachi tidak bisa terus bersembunyi.
Sachi tersenyum ketika masuk ke dalam kantor barunya. Ia melamar kerja sebagai tim redaksi di sebuah perusahaan majalah yang cukup terkenal. Well, akhirnya Sachi berani benar-benar mengerjakan sesuatu yang merupakan bidang kesukaannya. Selama ini, Sachi tidak pernah berpikir tulisannya cukup baik meskipun Ge berkali-kali berkata Sachi begitu pandai menulis. Namun dengan diterimanya Sachi di perusahaan ini, Sachi merasa sedikit percaya diri.
Sudah hampir dua minggu Sachi bekerja disini. Sachi senang bekerja di kantor ini, selain rekan kerja yang menyenangkan, ruangan kantor yang nyaman, letak kantor ini juga strategis dengan rumah yang ia tempati sekarang.
"Sa, giliran kamu makan siang ya," ujar seorang rekan kerjanya. Terkadang, jika deadline menumpuk, mereka memang harus makan siang secara bergantian. Sachi pun mengangguk, dan segera pergi mencari makan siang.
Sejujurnya, kantin kecil yang terletak di lantai dasar menjual makanan yang cukup enak dan murah. Tetapi Selly, sahabatnya, meneror Sachi sejak ia kembali untuk mencoba sebuah kedai soto bening yang terletak di dekat kantornya. Entah darimana Selly mengetahui letak kedai itu, Sachi tidak pernah tau.
Begitu mengikuti arah maps, Sachi akhirnya sampai di kedai yang Selly maksud. Benar saja, kedai itu cukup ramai. Meski tampilannya kecil dan sederhana, Sachi kurang lebih tau semahal apa mobil-mobil yang terpakir di luar kedai itu.
Sachi pun masuk, dan berusaha mencari tempat duduk.
"Waiting list, ya, Kak," kata seorang pegawai ketika melihat Sachi celingak celinguk. Sachi melongo sebentar, tidak menyangka untuk makan di kedai kecil ini ia harus masuk ke daftar tunggu. Tak ayal Sachi mengangguk juga, dan duduk di tempat tunggu yang sudah disediakan.
Entah berapa lama Sachi menunggu, dia mendengar dirinya menghembuskan nafas lega ketika namanya dipanggil. Sachi berdiri, hendak berjalan mengikuti sang pegawai, ketika sebuah suara yang sangat dikenalnya menahannya.
"Sa?"
Sachi menoleh, kemudian terpaku. Sosok di hadapannya juga terpaku.
Think, Sachi, berpikir! Paksanya pada otaknya. Tetapi nyatanya Sachi hanya diam.
"Ini beneran kamu, Sa!"
Sachi tersenyum lemah, tidak lagi berniat kabur. Sudah terlalu lama, ia harus menghadapi kenyataan.
"Jangan lari lagi, Sa, please," Ge, sosok itu, berkata lirih dari tempatnya berdiri. Ge tidak beranjak sedikitpun. Mungkin takut Sachi akan lari jika pria itu mendekat.
Sachi sesungguhnya ingin lari. Natur pengecutnya tidak bisa hilang. Namun Sachi sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan berubah menjadi lebih kuat.
"Hai, Ge. Lama tidak bertemu."
Dipandangnya wajah pria yang begitu dirindukannya. Yang mengisi mimpi-mimpi pada nyaris tiap malamnya. Yang masih dicintainya hingga rasanya begitu sakit.
Binar jahil itu telah hilang dari mata Ge, tergantikan mata dengan pandangan dewasa yang serius. Namun Sachi tau, kerinduan dibalik mata itu, sama besarnya dengan miliknya.
Dan hari itu, seluruh sandiwara dimulai. Mereka tidak membahas masa lalu. Seolah mereka lupa, mereka pernah hidup satu atap, membagi mimpi yang sama, dan berbahagia bersama. Mereka hanya sepasang sahabat lama, yang terpisah jarak dan waktu. Obrolan demi obrolan, candaan demi candaan dilontarkan untuk menutupi masa lalu keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
RomanceDari sahabat menjadi sepasang kekasih. Sepasang kekasih menjadi pasangan hidup. Dan dari pasangan hidup, kembali menjadi sahabat. Tadinya, mereka berdua terlalu dimabuk kata cinta. Selamanya, kata mereka. Namun mereka lupa, tidak ada kata selamanya...