Seseorang memang harus menjadi munafik untuk merelakan orang yang disayanginya pergi.
- Laili
2007
Ge sedang berada dalam rumah Sachi untuk mengajari Sachi. 3 bulan lagi, mereka akan menghadapi Ujian Nasional. Sachi menjadi ketakutan memikirkan 3 bulan itu sebentar sedangkan Sachi merasa otaknya masih kosong. Maka, resolusinya di tahun 2007 ini adalah lebih rajin dan memperbanyak waktu belajarnya.
Untungnya, Ge menawarkan diri untuk mengajari Sachi tiga kali dalam seminggu di rumah Sachi. Om Sachi, Kitaro, sedang dalam perjalanan bisnis untuk waktu yang cukup lama. Maka Ge seringkali menemani Sachi di rumahnya, bahkan terkadang menginap karena khawatir pada Sachi.
"Ge, coba kamu liat. Itungan aku salah dimana? Kok jawabannya ga ada?" kata Sachi. Ge yang juga sedang belajar mendekati Sachi dan melihat cara hitung Sachi. Sachi menyukai ekspresi Ge saat sedang serius belajar. Dahinya akan berkerut, sedangkan matanya tanpa sadar sedikit menyipit.
"Oh, kamu kurang teliti Sa. Vektor untuk bagian yang ini kamu lupa hitung," kata Ge seraya menunjukkan salah satu bagian dari gambar soal fisika yang sedang dikerjakan Sachi.
"Ah, astaga. Oke oke."
Sachi pun mulai menghitung kembali dan tersenyum puas saat menemukan jawabannya pada pilihan.
"Coba Ge, bener ga?"
Ge mengangguk dan mengusap rambut Sachi. Sachi tidak membenci fisika sebesar Sachi membenci biologi, namun seberapa keras Sachi belajar, nilainya tidak pernah menyentuh angka 80.
"Kalo ini pake cara apa ya Ge?" tanya Sachi lagi. Sachi mulai kesal, karena setiap soal terasa sulit. Lebih kesal lagi saat Ge menjawab dan Sachi menyadari bahwa sebenarnya soal itu tidak sulit, hanya sedikit tricky.
"Nah, yang ini pake Hukum Newton II sayang. Aku udah bilang kamu rangkum dulu rumusnya," kata Ge lagi. Sachi hanya nyengir. Ge memang sudah memintanya merangkum semua rumus Fisika yang penting ke dalam selembar kertas, namun karena rasa malasnya Sachi belum membuat kertas rumus tersebut. Sachi pun mulai fokus pada soal fisika.
"Sa.." panggil Ge.
"Udah kepikiran belum kuliah dimana dan jurusan apa?"
Sachi membeku. Sachi tidak memiliki mimpi, dia selalu mengikuti alur kehidupan tanpa bermimpi. Alasannya sederhana, Sachi merasa dirinya tidak memiliki bakat apapun, jadi Sachi takut bermimpi. Sachi tidak tau ingin kuliah dimana, apalagi mengambil jurusan apa. Sachi bahkan belum memikirkan hingga kesana, padahal pendaftaran kuliah sudah dibuka dari sekarang.
"Belum Ge," jawab Sachi. Ge menggeleng gemas.
"Pikirin dong Sa. Udah deket loh ini."
"Kamu kemana?"
Kali ini Ge memandang Sachi serius.
"Mama minta aku ke Amerika," kata Ge. Sachi terdiam. Amerika? Jauh sekali. Bukankah di Amerika banyak gadis cantik? Dan pastinya lebih pintar dari Sachi? Sachi tau, Ge ingin mengambil jurusan kedokteran. Jurusan yang benar-benar tidak akan cocok dengan Sachi. Sachi terkadang minder. Ge dengan mimpinya yang begitu tinggi, Sachi dengan kebodohannya yang membuatnya jalan di tempat.
"Oh.." Sachi tidak tau harus membalas apa. Membayangkan berjauhan dengan Ge cukup hatinya berdenyut sakit. Astaga, katakan ini cinta masa muda yang menggebu, karena memang seperti itu. Perasaannya untuk Ge begitu menggebu-gebu, hingga Sachi kadang takut dirinya akan meledak karena tidak mampu menampung perasaannya. Ge kemudian menangkupkan tangannya pada wajah Sachi, memaksa Sachi yang menunduk untuk menatap matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
RomanceDari sahabat menjadi sepasang kekasih. Sepasang kekasih menjadi pasangan hidup. Dan dari pasangan hidup, kembali menjadi sahabat. Tadinya, mereka berdua terlalu dimabuk kata cinta. Selamanya, kata mereka. Namun mereka lupa, tidak ada kata selamanya...