Kenangan Kedua

718 48 0
                                    

Memories and thoughts age, just as people do. But certain thoughts can never age, and certain memory can never fade (The Wind - Up Bird Chronicle)

2005

Sachi menerima helm berwarna pink yang disodorkan Ge padanya. Sejak setahun lalu, Sachi selalu pergi sekolah bersama Ge. Ge bahkan membelikannya helm khusus berwarna pink yang katanya tidak akan dipinjamkannya pada orang lain.

Siapa tau, bahwa pertemuan mereka berdua di koridor bukan menjadi pertemuan terakhir. Takdir membawa mereka pada sesuatu yang lain. Sachi terkejut ketika menemukan Ge satu kelas dengannya dari sekian kelas yang ada. Dan tidak bisa lebih terkejut lagi ketika Ge memilih duduk bersamanya dari sekian bangku kosong yang ada. Mulai saat itu, keduanya tidak bisa dipisahkan. Sebagai sahabat, tentunya. Dimana ada Sachi, disana ada Ge. Ge memaksa Sachi menemaninya saat dia latihan basket, saat sedang ada rapat, dan sebagainya.

"Sa, pegangan. Harus ngebut nih kalo ga mau telat," kata Ge saat Sachi sudah duduk diatas motor. Sachi hanya mengangguk dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Ge. Dalam perjalanan, Sachi hanya bisa memejamkan matanya karena rasa takut. Mereka seperti melawan angin, dan Sachi merutuki Ge karena kebiasaannya untuk telat.

Begitu sampai, Sachi segera memukul punggung Ge.

"Kebiasaan!" kata Sachi. Ge hanya meringis dan tertawa.

"Maaf, kemarin nonton bola. Ayo masuk kelas 1 menit lagi loh," kata Ge seraya menggenggam tangan Sachi untuk setengah berlari. Dan mereka sampai di dalam kelas tepat beberapa detik sebelum guru mereka sampai. Teman-teman kelasnya menggelengkan kepala melihat mereka berdua, sedangkan Ge dan Sachi hanya tertawa seperti biasa.

"Aku benci geografi," gerutu Ge saat pelajaran dimulai. Sachi mengangguk.

"Aku juga," kata Sachi. Sebenci-bencinya Ge pada pelajaran, pria itu akan tetap mencatat sedangkan Sachi hanya memperhatikan gurunya dengan tatapan kosong.

"Penjurusan nanti kamu mau ambil IPA atau IPS?" tanya Ge tiba-tiba. Beberapa bulan lagi memang sudah kenaikan kelas. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat.

"IPS lah Ge. Aku mana kuat di IPA," kata Sachi cepat. Ge menatap Sachi, membuat Sachi yang tadinya memperhatikan papan tulis, teralih pada Ge.

"Siapa bilang kamu ga kuat?"

Sachi menghela nafasnya.

"Ge, aku itu ga pinter kaya kamu. Untuk lulus nilai minimal aku harus usaha keras, dimana usaha minimal kamu saja bisa menghasilkan nilai 90," gerutu Sachi. Sachi memang tidak pintar, namun juga tidak terlalu bodoh. Nilainya tidak ada yang dibawah standar, namun juga tidak berada terlalu jauh diatas standar. Berbanding terbalik dengan Ge. Meski kegiatannya banyak, termasuk menjadi kapten basket sekolah, prestasinya tetap bagus. Padahal penampilannya seperti brandalan.

"Tapi nilai kamu cukup untuk masuk IPA, Sa," Ge bersikeras.

"Iya sih."

"Lagian, ada aku. Aku bisa ajarin kamu."

"Hmm.. gimana ya," Sachi mulai bingung. Sejujurnya, Sachi juga tidak menyukai pelajaran IPS. Sachi tidak suka belajar. Dari sekian banyak pelajaran, mungkin hanya sastra yang bisa Sachi ikuti. Oh, Sachi penggila karya sastra. Otaknya yang penuh imajinasi tidak bisa memikirkan angka-angka memusingkan ataupun bahasa latin aneh dari biologi.

"Ayolah, Sa. Masuk IPA aja. Biar kita bareng terus. Kan IPA cuma satu kelas. Aku pasti bantu kamu Sa," kata Ge dengan tatapan memohon.

"Mau banget bareng aku?" goda Sachi. Ge menjitak kepalanya pelan.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang