23-TEKAD

18 4 0
                                    

Arvin kini terduduk di atas kasur, sesekali ia mendengus kasar. Keny, mamanya sedang mengoceh dan memarahinya karena insidan semalam.

"Apa mama bilang, kamu kan yang celaka, mama yakin itu pasti ulah orang yang membunuh Dania," oceh Keny kesal.

"Nggak mungkinlah ma. Bisa aja itu cuma preman penagi duit," bela Arvin yang mendapatkan tatapan tajam dari Keny.

"Kamu tuh yah kalau di bilangin ngeyel terus, pokoknya sekali mama bilang tidak yah tidak. Ingat jangan nyelidikin kasus itu lagi," tegas Keny.

Arvin mendesah pelan, tentu saja ia tidak akan berhenti hanya karena itu, ia sudah mencapai titik akhir, beberapa langkah lagi pelakunya pasti akan tertangkap.

"Tapi ma.."

"Nggak Arvin yuan pratama. Dekali tidak yah tidak."

Keny melenggang keluar kamar, sedangkan Arvin hanya bisa mendengus kasar, bahkan hari ini ia tidak di izinkan oleh mamanya untuk pergi ke sekolah, padahal lukanya tidak banyak dan masih bisa bergerak bebas, tapi tetap saja jawabannya, tidak.

🌼🌼🌼

Sheila menatap papan tulis di depannya datar, tak ada satupun pelajaran yang masuk ke otaknya, fikirannya terus saja tertuju pada Arvin, entah bagaimana keadaan pria itu. Fikirnya.

"Shel..Shel," suara Kirana menyadarkan Sheila dari lamunannya dan segera berbalik menatap sahabatnya itu.

"Apaan sih Na?"

"Heheh nggak kok. Gue tadi cuma nyadarin lo, takut kesambet " cengir Kirana lalu kembali fokus ke pak Mono yang sedang menjelaskan pelajaran Kimia.

Sheila mendengus pelan, entah kenapa ia tetap saja tak bisa tenang walau tadi pagi Dio sudah memberi tahunya bahwa Arvin baik-baik saja dan sudah sadar. Segitu khawatirnya dia.

"Tenang aja dia nggak bakalan kenapa napa. Kan dia batu," Kirana membungkam mulutnya sendiri, sedangkan Sheila menghela nafas berkali-kali.

Kirana hanya memutar bola mata malas saat Sheila menceritakan insiden yang menimpah si batu itu, eh Arvin dengan dramatis. Tapi walaupun begitu sesekali ia bernafas lega setiap Dio mengatakan kepada Sheila bahwa cowok itu tidak apa-apa.

🌼🌼🌼

"Dio, bener Arvin nggak pa-pa?" tanya Sheila sekali lagi.

Dio menghela nafas pelan, entah berapa kali ia harus meyakinkan gadis di hadapannya itu.

"Iya Shel, tadi gue udah nelpon dia kok. Tenang aja, dia nggak bakalan is dead cuma gara-gara di kroyok," jawab Dio menepuk bahu Sheila pelan, berusaha menenangkan.

Sheila mengangguk. "Gue mau jenguk Arvin," pinta Sheila.

Dio berfikir sebentar. Arvin melarangnya memberi tahu keadaan nya kepada orang lain apalagi Sheila karena pasti gadis itu akan ngotot minta menjenguk.

"Ng-nggak usah deh Shel, Arvin nggak izinin," ucap nya merasa tidak enak.

"Kenapa?"

"Lo tahu sendirikan gimana dia ke lo." Rafa yang tadinya hanya diam sambil memakan baksonya lahap akhirnya bersuara.

"Tenang aja sih Shel. Dia baik-baik aja kok," timpal Ivan menenangkan.

Sheila mengangguk pasrah. Dia tidak ingin membuat Arvin marah lagi. Dia akan menunggu besok saja.

🌼🌼🌼

Arvin menghela nafas bosan. Berapa lama lagi ia harus berada di tempat tidur. Sejak tadi Keny melarangnya berbuat apa pun bahkan untuk turun menonton Tv saja tidak boleh.

Ia berdiri menuju meja belajarnya, sesekali berpegangan pada dinding kamar karena beberapa bagian tubuhnya yang masih sakit. Ia mengambil beberapa lembar kertas yang menyiratkan berbagai kejadian.

Ia mendudukkan dirinya di kursi meja belajarnya dan mulai membaca satu persatu kertas yang ada di atas meja, memperhatikan setiap kata dengan seksama, bahkan ada keterangan dari beberapa saksi.

"Saya melihat ada beberapa orang yang sedang berjalan dengan seorang perempuan. Tapi setelah itu saya pergi ke belakang cukup lama, pas saya balik lagi orangnya sudah tidak ada," jelas seorang tukang bakso yang ada di tempat perkara.

Pernyataan lainnya

"Saya mendengar jeritan minta tolong dari seorang perempuan dan saya berlari kesana untuk menolong. Tapi tiba-tiba dari belakang, dua orang bertubuh besar menghalau saya dan membekap saya, setelah itu saya tidak tahu apa yang terjadi karena saya pingsan," jelas salah satu warga.

Matanya kini beralih pada catatan polisi, ia membaca kutipan itu.

"Dari pengamatan yang kami ambil pembunuhan di lakukan oleh beberapa orang. Seorang yang sebaya dengannya sedangkan yang lainnya mungkin anak buahnya yang mempunyai tubuh besar, serta ada satu orang di dalam mobil yang menabrak korban setelah di kroyok."

Rahang Arvin mengeras. Ia tak menyangka bahwa pembunuh itu bisa sekejam itu. Mengeroyok Dania lalu menabraknya yang sudah tak berdaya. Entah apa salah kekasihnya. Dania orang baik, Dania juga tidak pernah mencari musuh selama hidupnya. Ia gadis yang tertutup.

Kini tekatnya semakin bulat untuk menyelidiki kasus ini. Ia berfikir sebentar mungkin kah Ben. Apakah Ben yang juga sempat menyukai Dania menghabisi nyawa gadis itu dengan begitu kejam. Arvin tahu waktu itu Dania memilihnya dari pada Ben, tapi Arvin ingat Ben masih berteman dengan Dania waktu itu bahkan menjaga gadis itu. Jadi Arvin tidak seharusnya menuduh ben kan?

🌼🌼🌼

Sheila membaringkan tubuhnya di kasur. Matanya kini sibuk meneliti tulisan pada kertas kusut yang di dapatnya minggu lalu di rumah Dania. Lagi-lagi ia membacanya dengan seksama. Siapa orang ini?

"Gue tau banget Dania. Dia nggak mungkin lakuin hal kayak gini," gumam Sheila. Matanya kini memburam, mengingat kembali kenangan manis bersama sahabat kecilnya itu.

"Apa gue harus nanya ke Kirana soal ini?tapi kalau dia ternyata nggak tahu, dan malah balik nanya yang aneh-aneh. Karena setahu gue nggak banyak yang tahu soal ini," sekali lagi Sheila bergumam pelan.

"Tapi kan Kirana udah lama satu kelas sama Arvin. Pasti dia tau sesuatu."

"Gue harus dapet bukti lain. Dan satu satunya cara adalah membuka kotak pink milik Dania, bagaimana pun caranya."


Maaf yah kalau agak nggak nyambung, tapi makasih yang udah mau baca.

Oh iya jangan lupa Vote dan komen yahh.

Makasih😊

Because I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang